Epilepsi: Pentingnya Membuang Stigma (1)

By nova.id, Kamis, 21 Maret 2013 | 08:02 WIB
Epilepsi Pentingnya Membuang Stigma 1 (nova.id)

Epilepsi Pentingnya Membuang Stigma 1 (nova.id)

"Foto: Dok. NOVA "

Namun, masih banyak PE yang belum terdata karena banyak yang malu mengakui mereka sebagai penyandang epilepsi. Sebagian besar masyarakat masih menganggap epilepsi sebagai penyakit kutukan. Stigma buruk pada PE inilah yang harus dihilangkan, sehingga PE dapat hidup sejajar dengan masyarakat lainnya tanpa merasa rendah diri. 

"Belum diketahui penyebab pastinya, namun diduga terdapat beberapa faktor ikut berperan, misalnya perawatan ibu hamil, keadaan waktu melahirkan, trauma lahir, kekurangan gizi dan penyakit infeksi," kata dr. Fitri Octaviana, Sp.S, M.Pd.Ked., Ketua Perhimpunan Penanggulangan Epilepsi di Indonesia (PERPEI) Jakarta, saat seminar tentang epilepsi di Jakarta beberapa waktu lalu.

Mengenal Bangkitan

Apa sebetulnya epilepsi? Menurut Dr. Suryani Gunadharma,Sp.S (K), epilepsi merupakan suatu penyakit yang disebabkan pelepasan muatan listrik berlebihan dan berkala dari sekelompok sel di otak. Ini menyebabkan PE menunjukkan gejala hanya pada saat serangan. Di luar serangan, performa PE seperti keadaan kesehariannya.

"Inilah yang membuat penyakit ini unik, sehingga sering disalahartikan dengan kesurupan, kerasukan, kegilaan, dan lain sebagainya. Sebagian besar PE dapat terkontrol dengan obat anti epilepsi, dan hanya  sebagian kecil yang sulit terkontrol. Tanpa pengobatan yang tepat, akan timbul gangguan fungsi  otak yang lebih berat , yang akan menyebabkan semakin seringnya serangan," lanjut Suryani.

Hal penting yang perlu dipahami dokter dan masyarakat adalah mengenal bangkitan epilepsi dan membedakannya dengan bangkitan nonepilepsi. Bangkitan epilepsi merupakan bangkitan berulang yang terjadi tanpa provokasi, tanpa sebab yang akut (misalnya trauma kepala). Di samping itu, terdapat bermacam-macam bentuk bangkitan epilepsi, tergantung bagian otak mana yang diserang, bisa berbentuk bangkitan umum (menyerang seluruh bagian otak) atau bangkitan parsial/fokal.

Banyaknya macam bangkitan inilah yang seringkali mengakibatkan kesalahan diagnosa epilepsi yang membawa konsekuensi kesalahan pengobatan. Di samping itu, "Pasien kadangkala tidak dapat menceritakan bangkitan yang dialaminya, dan dalam hal ini memerlukan bantuan saksi mata yang melihat kejadiannya," lanjut Suryani.

Dokter harus cermat dalam mengevaluasi dan menegakkan diagnosa epilepsi. Edukasi dan sosialisasi tentang epilepsi terhadap dokter umum juga harus secara berkala dilakukan untuk menghindari kesalahan diagnosa. Apabila ditemui kasus epilepsi yang sulit diatasi, dokter harus merujuk pada dokter spesialis. Ini penting mengingat jika epilepsi terdiagnosa secara dini, maka terapi epilepsi juga dapat dilakukan secara dini dan hasil yang didapatkan akan semakin baik.

Penyandang epilepsi harus patuh terhadap pengobatan dan perlu memahami bahwa pengobatan epilepsi bersifat jangka panjang . Selain itu, PE dihimbau untuk kontrol ke dokter secara teratur. Pasalnya, jika tidak diterapi, epilepsi dapat mengakibatkan semakin luasnya area kerusakan otak yang berdampak pada menurunnya fungsi otak. 

Secara umum, kualitas hidup PE dipengaruhi oleh faktor medis, faktor sosial, dan faktor individu. "Masyarakat yang memiliki anggota keluarga penyandang epilepsi diharapkan dapat memotivasi mereka untuk patuh terhadap pengobatan, menjalankan pola hidup sehat serta segera membawa PE berkonsultasi ke dokter jika muncul keluhan," himbau Suryani. Hasto Prianggoro