Memang, dengan ber-SMS, tembok pembatasnya lebih longgar. "Orang bisa iseng pada yang bersangkutan tanpa perlu bertemu, tanpa perlu melihat bahasa tubuh, ekspresi dan banyak pertimbangan lainnya. Hingga, kala ada kebutuhan untuk mengobrol, gosip atau lainnya tanpa ada bukti yang terlihat ataupun terdengar, kecuali tampak memencet-mencet ponselnya tanpa diketahui dikirim ke mana, segala sesuatunya bisa tersembunyi."
Walaupun demikian, tetap tak dibenarkan mengirimkan SMS mesra karena bisa menimbulkan interpretasi yang salah bagi yang menerima ataupun yang membacanya. "Kecuali pada si pengirim yang betul-betul sudah dikenal pasangan kita." Bahkan, kalau kita tahu persis aslinya bagaimana dan sehari-hari bagaimana, kita dapat SMS jorok dan kita forward ke pasangan, itu tak masalah. "Buat kita dan pasangan bisa jadi menyegarkan dan jadi bahan lucu-lucuan saja."
Kalau pada kolega kerja, klien, teman, tentu sebaiknya tak membuat SMS tercetak yang sifatnya pribadi. Ini harus diperhatikan karena sudah menyangkut etika. Karena memang kalau bicara etika, tak boleh bicara yang melantur-lantur seperti itu. Bukan hanya soal SMS, tapi kalau sekadar iseng apa pun namanya, dalam etika pergaulan tak boleh begitu, harus berhati-hati.
Bisa saja, kan, suami/istri dari pasangan yang dikirimi SMS itu pun membandingkan dengan dirinya, "Saya kalau tidak ada apa-apanya sama orang tersebut, tidak akan membuat SMS seperti itu pada orang lain." Jadi dia akan menggunakan standar dirinya.
SULIT MEMBUKTIKAN
Yang jelas, papar Enny, akan sulit untuk membedakan apakah ada suatu hubungan istimewa atau tidak antara pasangan kita dengan si pengirim SMS tersebut karena tak ada fakta atau buktinya. Misal, pada SMS yang berbunyi, "Kok, tadi tidak datang, Say? Kan, aku tunggu!", bisa saja pasangan mengatakan, "Iya memang saya menerima SMS seperti ini, tapi saya tidak datang ke tempat itu." atau "Tidak tahu siapa yang kirim SMS karena tadi HP dipinjam teman," dan banyak alasan lainnya. "Jadi memang pembuktiannya yang fair agak susah. Begitu pula dengan mengeceknya."
Begitu pun bila ada kata-kata "I Love You" pada HP pasangan, tetap tak bisa dilihat buktinya secara kasat mata. "Karena pasangan kita pun tak bertemu langsung atau membaca ekspresi wajah, dan lainnya. Sementara orang mengatakan 'I love you' itu, kan, perlu penegasan yang tak sekadar kata-kata, dia harus bisa mengekspresikannya, apakah dengan cara bicaranya yang halus, bahasa tubuhnya, atau sikapnya yang mengayomi. Semua itu, kan, tak terbaca pada SMS. Hanya sampai tahap gombal saja. Jadi mungkin masih sah saja, tak ada bukti kalau mereka ada apa-apa."
Lain hal kalau kemudian dari SMS itu ditindaklanjuti dengan bentuk-bentuk perhatian, semisal sering janji bertemu dan lainnya, hingga hubungan pun jadi berlanjut. "Nah, kalau sudah demikian, bisa saja jadi mengembangkan hubungan yang mengarah pada selingkuh. Selanjutnya, SMS hanya untuk memperkaya hubungan itu." Jadi, ingat Enny, SMS itu bukan sebagai penyebab selingkuh tapi hanya sekadar ajang komunikasi. "Untuk sampai terjadi selingkuh itu, kan, tergantung orangnya. Mungkin ada yang memang punya riwayat seperti itu, bisa saja terjadi."
Namun demikian, bila memang suami/istri merasa curiga karena isi SMS yang dianggap serius, maka bisa ditanyakan pada pasangannya, "Apa maksudnya ini dan arahnya ke mana?" Kalau si pasangan mengatakan cuma iseng, tapi bagaimanapun juga ada batas-batas yang tak boleh dilanggar, yaitu tak boleh terlalu berani atau terlalu vulgar. "Karena itu merupakan suatu ketidakpantasan, yang mana harusnya kalimat-kalimat mesra itu disampaikan hanya kepada pasangan masing-masing."
SEBAIKNYA SALING MENGINGATKAN
Bila SMS itu dari kacamata suami/istri jadi tak etis atau tidak dalam adab yang bagus, tentunya masing-masing harus saling mengingatkan pasangannya bahwa SMS itu bisa menimbulkan interpretasi yang macam-macam dari penerima lawan jenisnya. "Pasangannya itu sendiri pun harus tahu, dong, norma dalam etika pergaulannya. Begitupun dalam hal SMS." Tegas Enny, pokoknya kembali lagi harus sadar diri pada fungsi, tujuan, dan kebutuhan apa yang harus dilakukan dengan SMS.
Sebaiknya suami/istri juga bisa minta pada pasangannya untuk tidak meladeni atau membalas SMS yang tak terlalu perlu. "Kalau sekadar memberi informasi bisa saja dengan menanggapinya singkat, hanya mengirimkan ucapan terima kasih atau thanks saja sudah cukup." Kalau ternyata si pengirim terus mengirim SMS mesra alias pasangan merasa diteror SMS mesra oleh pengirim yang sama, bisa saja kemudian ganti nomor telepon atau tidak menerima nomor-nomor tertentu.
Pengirimnya, kalau ia memang peka, tutur Enny, tentunya tahu jika SMS-nya tak ditanggapi, sebetulnya ada pesan suatu penolakan atau tak mau membalas SMS dan di-SMS, apa pun alasannya. "Dengan begitu sebetulnya suatu message bahwa dia tak mau terlibat dengan SMS itu. Yang mengirim juga harusnya punya kewajiban untuk membuat SMS yang tak menimbulkan interpretasi menyimpang ke mana-mana bagi si penerimanya."
Bila kemudian kejadian dari SMS tersebut, orang yang sering mengirim SMS ingin membuat clear dengan pasangan si penerima SMS misal, maka sebaiknya tak perlu ditanggapi pula.
Ada baiknya juga, kalau suami/istri mendapatkan hal itu dari orang lain, sebaiknya dihapus saja. "Kalau dia memang tak ada apa-apa dengan pengirim SMS, tentunya dia pun akan bersikap terbuka pada pasangannya. Tapi sebenarnya dalam hal ini, persoalannya itu bukan pada masalah SMS-nya tapi pada perilaku orangnya. Jadi, agar tak sampai menimbulkan perkara dan memicu pertengkaran, sebaiknya hapus saja berita-berita yang tak diperlukan. Juga tak meladeni atau menanggapi kembali berita-berita yang tak perlu." Lebih aman begitu, kan, Bu-Pak.
Dedeh