Kemukakan pada pasangan bila hal itu mengganggu dan ingatkan pasangan bagaimana etika berkomunikasi dengan orang lain.
"Ma, tolong, ya, nanti kalau ada HP-ku bunyi dijawab, aku lagi tunggu pesan," pinta suami yang tengah di kamar mandi. Tapi kemudian, si istri pun iseng membuka menu-menu yang ada di HP (Handphone) itu. Begitu dia buka menu "Baca Pesan", tampak SMS (Short Message Services) berbunyi, "Kok, tadi enggak datang, sih, Say! Kan, ditunggu, lo." Ada juga bunyi, "Nanti, kalau proyek kamu bisa goal, aku cium, deh!"
Kaget, awalnya itulah biasanya yang terjadi. Selanjutnya, muncul pula kecurigaan dan cemburu pada pasangan. Apalagi kalau kemudian ketahuan SMS seperti itu sering berdatangan di HP pasangannya.
Memang, aku Dra. S.Z. Enny Hanum, bisa saja SMS digunakan untuk pesan-pesan romantis. Karena, bagaimanapun SMS merupakan media komunikasi yang sangat praktis. "Dengan SMS, seseorang bisa menyampaikan suatu pesan secara cepat tanpa perlu bicara langsung, dapat memotong jalur birokrasi, bisa dibaca kapan saja karena tercetak di ponsel, dan biaya penggunaannya pun murah."
Karena kepraktisan dan kepopuleran SMS itulah, maka isi SMS bisa sangat beragam. Bisa berupa informasi atau berita-berita yang berkaitan dengan pekerjaan, kabar penting dari rumah, kata-kata bijak, nasehat, makian, konyol-konyolan, sampai joke yang mengarah dengan bahasa mesra dan berani, bahkan mungkin vulgar.
"Orang bisa dengan tenang mengirimnya kepada siapa pun tanpa ada yang tahu alias tersembunyi. Dengan SMS, orang bisa berkomunikasi secara bebas, tanpa ada perasaan malu atau rikuh, berbeda bila harus menyampaikannya secara langsung, misalnya ungkapan-ungkapan mesra yang vulgar. SMS bisa melewati batas-batas yang selama ini membatasi kita dalam berkomunikasi," tambah Enny.
SALAH INTERPRETASI
Namun demikian, Enny mengingatkan, SMS dengan kata-kata mesra, apalagi dengan kalimat yang jelas menunjukkan keintiman, misalnya, "I miss You" atau "I Love You," bila sampai terbawa ke rumah bisa menimbulkan interpretasi yang berbeda pada suami/istri. Terlebih bila dia punya pandangan tertentu terhadap pasangannya. Misal, istri yang tak pernah menemukan suaminya bercanda yang konyol dan jorok, tapi lalu dia menemukan SMS seperti itu dalam ponsel suaminya, maka ada perasaan heran pada dirinya. "Apakah ini suami saya yang sebetulnya ataukah memang ada suatu hubungan istimewa yang lain?"
Dia tentu berpikirnya sudah menduga yang macam-macam, "Apakah ada sesuatu yang istimewa antara si pengirim SMS dengan pasangannya ini, karena, kok, bahasa yang digunakan itu bahasa yang harusnya ditujukan pada orang-orang yang istimewa." Apalagi bila pasangannya tak terbiasa masuk dalam dunia kerja yang seringkali unsur nonformalnya lebih mencuat atau tak terbiasa dengan joke-joke mesra dan vulgar, tentu saja dia jadi terheran-heran dan bertanya-tanya, "Kok, orang itu bisa SMS seperti itu, emangnya dia siapa?"
Suami/istri mungkin saja berpikir demikian karena dia punya norma-norma bagaimana berkomunikasi dengan orang lain yang bukan pasangannya. "Kalimat-kalimat mesra itu, kan, harusnya istimewa dan diberikan kalau dia punya hubungan khusus atau harusnya itu ditujukan pada pasangannya." Jadi, wajar jika akhirnya isi berita di SMS itu menimbulkan pertanyaan atau interpretasi berbeda pada si suami/istri.
Selain itu, SMS yang terlalu mesra, berani atau vulgar, kalau bukan pada pasangannya, berkesan pula tak ada rasa menghargai. Apalagi kalau SMS itu dari teman sekantor, kolega kantor, ataupun sekretarisnya, misal. "Berarti ada suatu ikatan yang lebih dekat atau tak ada rasa penghargaan atau hormat sama sekali." Padahal, tak demikian etika berhubungan antarteman sekantor.
Jadi, kembali lagi pada etika, bagaimana hubungan kerja, hubungan personal antarpribadi itu. "Memang mungkin SMS-nya itu sifatnya sekadar iseng atau jail, bukan yang sifatnya officially." Namun tetap saja harus tahu batas-batasnya dalam SMS. SMS sama saja berkomunikasi dengan orang lain, jadi norma-normanya sama saja dengan berkomunikasi secara langsung. Bukankah di dalam berkomunikasi, kita pun punya norma-norma bagaimana berkomunikasi dengan orang lain yang bukan pasangannya? "Kalimat-kalimat mesra itu, kan, harusnya istimewa dan diberikan kalau dia punya hubungan khusus atau hanya pada pasangannya."
Memang, dengan ber-SMS, tembok pembatasnya lebih longgar. "Orang bisa iseng pada yang bersangkutan tanpa perlu bertemu, tanpa perlu melihat bahasa tubuh, ekspresi dan banyak pertimbangan lainnya. Hingga, kala ada kebutuhan untuk mengobrol, gosip atau lainnya tanpa ada bukti yang terlihat ataupun terdengar, kecuali tampak memencet-mencet ponselnya tanpa diketahui dikirim ke mana, segala sesuatunya bisa tersembunyi."
Walaupun demikian, tetap tak dibenarkan mengirimkan SMS mesra karena bisa menimbulkan interpretasi yang salah bagi yang menerima ataupun yang membacanya. "Kecuali pada si pengirim yang betul-betul sudah dikenal pasangan kita." Bahkan, kalau kita tahu persis aslinya bagaimana dan sehari-hari bagaimana, kita dapat SMS jorok dan kita forward ke pasangan, itu tak masalah. "Buat kita dan pasangan bisa jadi menyegarkan dan jadi bahan lucu-lucuan saja."
Kalau pada kolega kerja, klien, teman, tentu sebaiknya tak membuat SMS tercetak yang sifatnya pribadi. Ini harus diperhatikan karena sudah menyangkut etika. Karena memang kalau bicara etika, tak boleh bicara yang melantur-lantur seperti itu. Bukan hanya soal SMS, tapi kalau sekadar iseng apa pun namanya, dalam etika pergaulan tak boleh begitu, harus berhati-hati.
Bisa saja, kan, suami/istri dari pasangan yang dikirimi SMS itu pun membandingkan dengan dirinya, "Saya kalau tidak ada apa-apanya sama orang tersebut, tidak akan membuat SMS seperti itu pada orang lain." Jadi dia akan menggunakan standar dirinya.
SULIT MEMBUKTIKAN
Yang jelas, papar Enny, akan sulit untuk membedakan apakah ada suatu hubungan istimewa atau tidak antara pasangan kita dengan si pengirim SMS tersebut karena tak ada fakta atau buktinya. Misal, pada SMS yang berbunyi, "Kok, tadi tidak datang, Say? Kan, aku tunggu!", bisa saja pasangan mengatakan, "Iya memang saya menerima SMS seperti ini, tapi saya tidak datang ke tempat itu." atau "Tidak tahu siapa yang kirim SMS karena tadi HP dipinjam teman," dan banyak alasan lainnya. "Jadi memang pembuktiannya yang fair agak susah. Begitu pula dengan mengeceknya."
Begitu pun bila ada kata-kata "I Love You" pada HP pasangan, tetap tak bisa dilihat buktinya secara kasat mata. "Karena pasangan kita pun tak bertemu langsung atau membaca ekspresi wajah, dan lainnya. Sementara orang mengatakan 'I love you' itu, kan, perlu penegasan yang tak sekadar kata-kata, dia harus bisa mengekspresikannya, apakah dengan cara bicaranya yang halus, bahasa tubuhnya, atau sikapnya yang mengayomi. Semua itu, kan, tak terbaca pada SMS. Hanya sampai tahap gombal saja. Jadi mungkin masih sah saja, tak ada bukti kalau mereka ada apa-apa."
Lain hal kalau kemudian dari SMS itu ditindaklanjuti dengan bentuk-bentuk perhatian, semisal sering janji bertemu dan lainnya, hingga hubungan pun jadi berlanjut. "Nah, kalau sudah demikian, bisa saja jadi mengembangkan hubungan yang mengarah pada selingkuh. Selanjutnya, SMS hanya untuk memperkaya hubungan itu." Jadi, ingat Enny, SMS itu bukan sebagai penyebab selingkuh tapi hanya sekadar ajang komunikasi. "Untuk sampai terjadi selingkuh itu, kan, tergantung orangnya. Mungkin ada yang memang punya riwayat seperti itu, bisa saja terjadi."
Namun demikian, bila memang suami/istri merasa curiga karena isi SMS yang dianggap serius, maka bisa ditanyakan pada pasangannya, "Apa maksudnya ini dan arahnya ke mana?" Kalau si pasangan mengatakan cuma iseng, tapi bagaimanapun juga ada batas-batas yang tak boleh dilanggar, yaitu tak boleh terlalu berani atau terlalu vulgar. "Karena itu merupakan suatu ketidakpantasan, yang mana harusnya kalimat-kalimat mesra itu disampaikan hanya kepada pasangan masing-masing."
SEBAIKNYA SALING MENGINGATKAN
Bila SMS itu dari kacamata suami/istri jadi tak etis atau tidak dalam adab yang bagus, tentunya masing-masing harus saling mengingatkan pasangannya bahwa SMS itu bisa menimbulkan interpretasi yang macam-macam dari penerima lawan jenisnya. "Pasangannya itu sendiri pun harus tahu, dong, norma dalam etika pergaulannya. Begitupun dalam hal SMS." Tegas Enny, pokoknya kembali lagi harus sadar diri pada fungsi, tujuan, dan kebutuhan apa yang harus dilakukan dengan SMS.
Sebaiknya suami/istri juga bisa minta pada pasangannya untuk tidak meladeni atau membalas SMS yang tak terlalu perlu. "Kalau sekadar memberi informasi bisa saja dengan menanggapinya singkat, hanya mengirimkan ucapan terima kasih atau thanks saja sudah cukup." Kalau ternyata si pengirim terus mengirim SMS mesra alias pasangan merasa diteror SMS mesra oleh pengirim yang sama, bisa saja kemudian ganti nomor telepon atau tidak menerima nomor-nomor tertentu.
Pengirimnya, kalau ia memang peka, tutur Enny, tentunya tahu jika SMS-nya tak ditanggapi, sebetulnya ada pesan suatu penolakan atau tak mau membalas SMS dan di-SMS, apa pun alasannya. "Dengan begitu sebetulnya suatu message bahwa dia tak mau terlibat dengan SMS itu. Yang mengirim juga harusnya punya kewajiban untuk membuat SMS yang tak menimbulkan interpretasi menyimpang ke mana-mana bagi si penerimanya."
Bila kemudian kejadian dari SMS tersebut, orang yang sering mengirim SMS ingin membuat clear dengan pasangan si penerima SMS misal, maka sebaiknya tak perlu ditanggapi pula.
Ada baiknya juga, kalau suami/istri mendapatkan hal itu dari orang lain, sebaiknya dihapus saja. "Kalau dia memang tak ada apa-apa dengan pengirim SMS, tentunya dia pun akan bersikap terbuka pada pasangannya. Tapi sebenarnya dalam hal ini, persoalannya itu bukan pada masalah SMS-nya tapi pada perilaku orangnya. Jadi, agar tak sampai menimbulkan perkara dan memicu pertengkaran, sebaiknya hapus saja berita-berita yang tak diperlukan. Juga tak meladeni atau menanggapi kembali berita-berita yang tak perlu." Lebih aman begitu, kan, Bu-Pak.
Dedeh