"Kerasnya" Didikan ala China

By nova.id, Rabu, 8 Februari 2012 | 01:18 WIB
Kerasnya Didikan ala China (nova.id)

Kerasnya Didikan ala China (nova.id)

"Foto: Getty Images "

Para ahli selalu menyarankan agar orangtua memberikan kebebasan bertanggung jawab bagi anak-anak. Saat anak berprestasi, orangtua dianjurkan memberikan penghargaan. Namun Amy Chua "membantahnya" lewat buku Battle Hymn of the Tiger Mother yang ia tulis. Amy yang menyebut dirinya sebagai "ibu China" percaya bahwa hanya orangtua (ibu) yang tahu apa yang terbaik untuk anaknya. Alhasil, semua keputusan yang menyangkut anak berada di tangannya. Kedua anaknya, yaitu Sophia dan Lulu bisa dibilang tidak mempunyai hak memilih atau hak menolak.

Bukan tanpa alasan pula Amy menerapkan pola asuh ala China. Amy meniru pola asuh orangtuanya yang merupakan imigran China di Amerika Serikat. Buktinya, menurut Amy, anak-anak para imigran China maupun orang China sendiri memang banyak yang sukses. Namun bisakah pola yang sama diterapkan saat ini?

Beda Zaman, Beda Tantangan

Menurut Vera Itabiliana K. Hadiwidjojo, Psi., apa yang dihadapi orangtua Sang Ibu ketika membesarkannya tentu berbeda dengan apa yang dihadapi Sang Ibu dalam membesarkan anaknya sendiri. "Era waktunya juga berbeda dan banyak hal yang berubah. Mulai dari nilai-nilai sosial sampai teknologi sehingga tantangan dalam pengasuhan anak pun berbeda," ujar psikolog yang akrab dipanggil Vera ini. Contohnya menonton televisi, "Dulu mungkin lebih mudah membatasi jam menonton televisi karena pilihan channel TV tidak sebanyak sekarang".

Karenanya, dari sudut pandang Vera, menerapkan cara Amy Chua pada zaman sekarang sangat sulit dibayangkan. "Dengan perbaikan asupan gizi, pemberian stimulasi yang lebih kaya, dan sebagainya, membuat anak-anak sekarang lebih kritis sehingga akan sulit jika orangtua menerapkan cara-cara mirip diktator," jelas Vera. Meski demikian, tak berarti juga orangtua harus permisif atau lemah menghadapi anaknya, "Tetap perlu ada batasan-batasan tegas yang mengarahkan perilaku anak."

Beri Pilihan

Menanggapi prinsip Amy yang menganggap bahwa ibu tahu yang terbaik untuk anak, Vera menanggapinya dengan bijak, "Ibu memang figur yang paling dekat dengan anak dan sudah semestinya paling mengenal anak." Tak heran jika ibu seringkali mengarahkan anak agar mendapatkan yang terbaik.

Amy Chua pun begitu. Si Sulung Sophia diharuskan belajar piano dan biola untuk Si Bungsu Lulu. Mereka berlatih lebih dari enam jam sehari, tak terkecuali saat berlibur ke luar negeri. Amy tak segan meminjam piano di hotel dan menyuruh Lulu berlatih di kamar hotel. Jika ada konser, latihan semakin intens. Tidak ada kehidupan sosial di luar jam sekolah. Bahkan jam olahraga pun "dicuri" agar waktu berlatih bisa lebih lama. Sakit pun tak membuat Sophia dan Lulu cuti sejenak dari latihan.

Padahal kita tahu segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik dan seringkali hasilnya tidak maksimal. "Anak juga membutuhkan waktu untuk bermain dan bersosialisasi serta refreshing," ujar Vera. Apalagi, dalam bermain dan berteman, anak juga belajar banyak hal.

Meski pada akhirnya Sophia dan Lulu memang mencintai alat musiknya dan tampil di konser bergengsi, kemungkinan besar rasa ini timbul karena mereka tidak memiliki pilihan. "Bisa jadi demikian. Sama saja dengan anak yang tidak mempunyai aktivitas lain selain nonton televisi, dia akan menonton televisi terus," kata Vera.

Apalagi anak yang terbiasa dididik cara keras (satu arah/otoriter) memiliki dua kemungkinan. Antara menjadi pemberontak atau menjadi "Yes Man". Terlepas pada kecintaan akan alat musiknya masing-masing, Si Bungsu Lulu memang menjadi pemberontak sementara Sophia menjadi amat sangat penurut. Setelah sekian lama melakukan "pemberontakan kecil" Lulu berani menolak berlatih biola dan malah beralih ke tenis.

Memahami "Yang Terbaik"

Anak bisa saja belum terlalu matang untuk memilih dan orangtua hanya menginginkan yang terbaik untuk anak. Namun akan sangat disayangkan jika orangtua justru menutup kemungkinan anak untuk berkembang di bidang lain. Ingat, orangtua tidak selalu tahu yang terbaik. "Seringkali kita atau orangtua hanya "merasa" tahu yang terbaik," ujar Vera.

Bicara mengenai makna terbaik pun agak sulit. Bagi Vera, "Bukan terbaik namanya jika anak menjalaninya dengan terpaksa dan tidak bahagia. Akan sia-sia juga jika seorang ibu memaksakan anak untuk menjalani sesuatu yang menurut sang ibu adalah hal terbaik."

Jalan tengah sebelum menentukan yang terbaik untuk anak adalah dengan menanyakan pada diri sendiri dulu sebelum mengungkapkan sesuatu pada anak. "Apakah ini kemauan pribadi saya atau memang untuk kepentingan anak? Selain itu kenali anak dan banyak mendengarkan anak sehingga orangtua juga tahu apa keinginan anak," papar Vera.

Pertanyaan ini pula yang dituliskan oleh Amy di bab-bab terakhir bukunya. Pemicunya, Lulu marah besar di Moskow sampai hati Amy terluka. "Saya membayangkan berjam-jam dan bertahun-tahun kerja keras, pertengkaran, sakit hati, dan kesengsaraan yang telah kami derita. Untuk apa?"

Menilik pengalaman Amy Chua, terlihat betapa pentingnya memberikan anak kesempatan untuk didengar dan memilih, "Anak membutuhkan kesempatan untuk membentuk konsep diri dan kehidupannya sendiri sehingga dia pun berhak untuk melihat pilihan-pilihan apa saja yang ada". Tugas ibu, lanjut Vera, adalah memaparkan pilihan tersebut dan konsekuensinya sehingga anak tidak salah pilih.

Sebenarnya daripada memaksakan kehendak, masih ada cara lain supaya orangtua dan anak bisa mencapai win-win solution. "Komunikasi yang baik di mana orangtua atau ibu dapat menyampaikan apa yang diharapkan dari anak tapi juga membuka peluang bagi anak untuk menegosiasikan keinginan-keinginannya," ujar Vera.

Artinya, orangtua harus mengutarakan harapan untuk anaknya disertai alasannya. Contohnya, mengatakan "Ibu khawatir sekali kalau kamu belum sampai di rumah selepas pukul delapan malam" daripada, "Pokoknya kamu tidak boleh pulang malam-malam." Dengan demikian, anak tidak mempersepsikan harapan sebagai batasan atau larangan.

Belajar dari Kegagalan

"Orangtua China menuntut nilai sempurna karena mereka yakin bahwa anak mereka mampu mendapatkannya," tulis Amy Chua dalam bukunya. Baginya nilai A- adalah kegagalan yang memalukan atau seapik apa pun permainan musik kedua anaknya, selalu saja ada "cacat" yang terdengar oleh Amy. Profesor di bidang hukum ini percaya, hasil sempurna akan membuat anak-anaknya lebih kuat dan lebih termotivasi. Padahal menurut Vera, anak juga membutuhkan apresiasi atas usahanya dalam mencapai sesuatu, "Tuntutan yang terlalu tinggi akan membuat anak merasa tertekan dan kehilangan kepercayaan diri."

Meski demikian, Vera tak setuju jika anak dibiarkan tak belajar dari kesalahannya. "Saya setuju anak perlu belajar dari kesalahan. Jadi orangtua sebaiknya "don't rescue too much". Anak harus belajar mandiri termasuk belajar dari kesalahannya sendiri agar dia tahu bagaimana melakukannya dengan benar," ungkap Vera. Misalnya seorang ibu yang bersusah payah kembali pulang untuk mengambilkan PR (pekerjaan rumah) anaknya yang ketinggalan di rumah, padahal Si Anak sudah diingatkan. Akibatnya, anak menjadi tidak belajar untuk lebih cermat menyiapkan PR-nya. "Toh akan ada orang lain yang menyelesaikan masalahnya," ucap ibu dua anak ini.

Saat anak mengalami kegagalan, orangtua juga harus menerima sebagai pembelajaran anak bukan kegagalan Anda sebagai orangtua. Yang sering terjadi adalah orangtua merasa gagal juga. "Orangtua menanggapinya terlalu emosional. Anak mendapatkan nilai buruk dalam ujiannya, ibu merasa kurang becus membimbing anak belajar," tutur Vera. Intinya jangan menghukum diri sendiri ketika anak mengalami kegagalan. Ingat, sebagai orang dewasa dari mana Anda mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, atau bagaimana melakukan sesuatu dengan benar? "Itu semua karena orang dewasa termasuk orangtua telah melewati pengalaman hidup baik pengalaman berhasil maupun pengalaman melakukan kesalahan," pungkas Vera.

 Astrid Isnawati