Seharusnya, kata Yati, hal ini juga sudah diantisipasi sejak sebelum menikah. "Kan, kalau istrinya punya karakter dominan, tentunya sudah dia ketahui sejak masa pacaran. Kalau ia merasa tak cocok dengan karakter ini, kenapa diteruskan untuk kawin?"
JADI CUEK
Apa reaksi yang muncul dari perasaan tersiksa tersebut? Bisa macam-macam. "Mungkin awalnya si suami merasa tak enak, tapi lama-lama justru keenakan. Dia pikir, biar saja semua-semua dikerjakan istri sehingga bebannya ringan."
Bisa pula suami menjadi cuek, "Karena perasaan mengalah yang dipendam berlarut-larut, tak dikomunikasikan, akhirnya ia jadi pasif. Namun pasif yang agresif." Misalnya, "Bodo amat dengan genteng yang bocor. Terserah kamu. Kan, biasanya kamu yang ngatur." Jadi, di balik kecuekannya ada perasaan marah, tertekan, dan kesal sehingga ia lalu memasa-bodohkan semuanya. Biar genteng bocor di depan matanya sekali pun, ia tak ambil pusing.
Di pihak lain, istri akan beralasan, "Saya melakukan semua ini karena dia tak melakukan apa-apa. Saya jadi gemas. Saya ingin segalanya cepat beres. Tapi setiap kali saya mengingatkannya agar membawa mobil ke bengkel, memanggil tukang, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya, dia diam saja. Dia tak melakukan apa-apa. Ya, sudahlah, terpaksa saya kerjakan sendiri."
Nah, menurut Yati, masalah pun timbul. Jika itu yang terjadi, sarannya, segera cari solusinya. "Komunikasi harus dijalankan." Bila pasangan mengalami kesulitan untuk memulai komunikasi, anjurnya, mintalah bantuan pihak ketiga. Entah itu konselor perkawinan atau orang yang dihormati. "Nah, di situ mereka harus mau membuka diri, maunya kamu apa dan maunya aku apa. Jadi, seperti orang yang bernegosiasi." Namun, Yati mengingatkan, janganlah keburu marah atas keinginan pasangannya. Bukankah itu untuk kebaikan berdua?
Jika kesepakatan sudah dicapai, jalankanlah. "Beri waktu untuk melaksanakannya, karena untuk mengubah diri bukan hal gampang." Tentukan kesepakatan waktu secara bersama, apakah perlu sebulan atau 3 bulan. Misalnya, "Kalau dalam waktu sebulan kamu masih cuek juga, bagaimana? Apa yang mesti kita lakukan?" Dengan kata lain, bicarakanlah!
Jika waktu yang telah ditentukan sampai batasnya, lakukan evaluasi. Bisa saja, di saat ini, timbul keributan. Tapi tak apa, yang penting cari jalan keluarnya. "Dengan dibukanya jalur komunikasi, masalah pasti akan teratasi. Jangan malah didiamkan saja dengan harapan si pasangan akan mengerti perasaannya."
Padahal, lanjut Yati, kalau kita tak mengungkapkan apa yang kita inginkan, bagaimana pasangan akan tahu apalagi mengerti? "Unek-unek itu harus dibuka. Paling bagus kalau ada rapat keluarga, minimal 2 minggu sekali. Apalagi kalau anak-anak sudah mulai agak besar. Karena anak-anak justru biasanya malah bisa memberikan kontribusi yang baik sebab mereka berada di luar, sehingga bisa lebih obyektif."
ANAK BERONTAK
Yati mengingatkan, bila semua masalah tak pernah dibicarakan, akan tetap tinggal menjadi masalah. "Mungkin untuk sementara akan hilang, tapi lantas jadi pasif agresif. Ia cari kesibukan lain di luar, dan sebagainya." Lagipula, tambahnya, orang yang merasa tertekan dan tekanan itu dalam waktu lama, bisa mengakibatkan stres. "Dampak stresnya bisa luber ke mana-mana, termasuk jadi galak di kantor tadi."
Selain itu, anak-anak pun bisa kena dampaknya. "Jangan lupa, anak-anak sangat peka. Kalau bapak-ibunya ada masalah, mereka bisa merasakannya." Jadi, bila ayahnya merasa tertekan di rumah, maka anak-anak pun akan merasa tak aman.
Di samping itu, dalam pembentukan kepribadiannya, anak biasanya melakukannya dengan imitasi. Pada anak lelaki, ayah merupakan father figure buatnya. Sementara anak perempuan akan berimitisi dengan ibu. Nah, dengan memiliki ayah yang submissive dan ibu yang dominan, maka bukan tak mungkin si anak lelaki akan jadi submissive pula dan yang perempuan ikutan dominan seperti ibunya. "Karena anak belajar dari orang tuanya, walau sebenarnya anak juga punya karakter sendiri-sendiri. Kalau karakternya memang kuat, bisa jadi ia tak meniru ayah-ibunya."
Dampak lainnya ialah si anak bisa menjadi tak respek pada ayahnya. Ia menganggap ayahnya tak bisa apa-apa. Akan bertambah buruk bila si anak sudah bisa menyerap omongan/komentar orang tentang keluarganya. Ia akan memberontak, "Kok, bapakku enggak seperti bapak yang lain?" Bentuk pemberontakannya bisa berbeda-beda pada setiap anak. Ada yang lalu jadi tak menurut pada sang ayah dan hanya patuh pada ibu.
Kalau sudah begitu, orang tua harus melakukan koreksi. Misalnya, pihak ayah melakukan introspeksi diri dan ibu harus berani mencoba memperluas wawasan suami dalam arti mengajak suaminya berdialog. "Pada anak pun harus ditanamkan, apapun juga, ia harus hormat pada orang tuanya."
Lakukan hal itu bersama pasangan. Dengan kata lain, dalam menegakkan aturan di rumah, orang tua harus berada dalam satu front, "Tunjukkan pada anak, bahwa ayah dan ibunya satu 'kubu'." Kalaupun si anak masih ragu, katakan padanya, "Bukannya Bapak nggak bisa apa-apa, tapi Ibu yang enggak sabaran." Nah, tak sulit, kan?
Indah