Hasil riset terbaru menunjukkan, bayi yang memperoleh ASI lebih dari 4 bulan berisiko mengidap penyakit jantung di usia dewasa.
Riset tersebut dilakukan peneliti Inggris terhadap 331 orang dewasa berusia 20-an. Hasilnya, mereka yang mendapatkan ASI lebih dari 4 bulan menunjukkan pengerasan pembuluh darah yang lebih dari biasanya, yang merupakan salah satu indikator awal penyakit jantung. Sebelumnya, hasil statistik American Academy of Pediatrics juga menunjukkan, di antara pria yang lahir awal 1900-an dan mendapat ASI selama setahun atau lebih memiliki rata-rata penyakit jantung dan pembuluh darah lebih tinggi.
Temuan yang dipublikasikan dalam British Medical Journal edisi 17 Maret itu tentulah amat mengejutkan. Bukankah selama ini kita tahu, ASI merupakan makanan yang terbaik bagi bayi? ASI mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan bayi untuk tumbuh kembang optimal. ASI juga mengandung bermacam zat anti infeksi hingga bayi tak mudah kena penyakit. Bahkan, ASI bisa meningkatkan kecerdasan. Sekitar 10 peneliti telah membuktikan, anak-anak yang mendapat ASI eksklusif memiliki IQ lebih tinggi. Itulah mengapa, para ibu dianjurkan memberikan ASI pada bayinya, malah ASI eksklusif alias cuma ASI tanpa tambahan makanan lain selama 6 bulan.
Namun dengan adanya hasil riset tersebut, apakah berarti kita harus memberikan ASI tak lebih dari 4 bulan? Nanti dulu! Soalnya, si pemimpin riset, Paul Leeson, pun tak mengingkari keuntungan ASI. Malah, kata peneliti di Institute of Child Health, London, ini, keuntungannya jauh lebih besar dibanding dampak buruk yang muncul dalam jangka waktu lama. Hanya saja, ia mengingatkan, keuntungan dari pemberian ASI yang lebih lama harus pula dipertimbangkan dengan segala kemungkinan dampak buruknya. Jadi?
MENCEGAH BERBAGAI PENYAKIT
Menengok sejarahnya, konsep ASI eksklusif baru diekspos WHO/UNICEF pada 1990. "Jadi, sebelum tahun itu, terlebih di tahun-tahun kelahiran orang-orang yang diteliti tersebut, pemberian ASI eksklusif belum banyak yang tahu," kata dr. Utami Roesli, SpA, MBA dari RS Sint Carolus, Jakarta. Itu sebab, pakar ASI eksklusif ini meragukan, apakah orang-orang yang diteliti itu memang diberikan ASI eksklusif.
Padahal, lanjutnya, pemberian ASI eksklusif justru banyak keunggulannya. "Pada penelitian yang dilakukan tahun 1990 terhadap bayi-bayi yang diberikan ASI dan susu botol ditemukan, justru bayi-bayi yang diberikan susu botol berisiko mengalami gangguan jantung dan paru-paru, juga tersedak dan kesukaran menelan. Sementara menyusui dapat membantu mengatasi masalah tersebut," tuturnya.
Belum lagi penelitian yang dilakukan Dr. Matthew dkk. terhadap bayi-bayi prematur dan telah dipublikasikan dalam Pediatrics Journal pada 1991, menunjukkan ASI justru mengurangi kemungkinan gangguan jantung, bukan malah meningkatkan.
Pemberian ASI, tambah Utami, juga bisa mencegah berbagai penyakit lain seperti kanker, asma, leukemia, diabetes, atritis. "Bahkan, si ibu sendiri, dengan menyusui dapat mengurangi kemungkinan terkena kanker payudara, penyakit yang di dunia internasional dikatakan sebagai pembunuh nomor satu." Bukan cuma itu, pemberian ASI juga bisa mencegah kanker rahim dan kanker indung telur.
KANDUNGAN LEMAKNYA BEDA
Memang, diakui Utami, bayi yang mendapat ASI memiliki konsentrasi kolesterol lebih tinggi dalam darah. Sekalipun demikian, metabolisme kolesterolnya lebih efisien. "Namun perlu diketahui, lemak yang terkandung dalam ASI adalah asam lemak ikatan panjang yang tidak jenuh, hingga mudah dicerna oleh tubuh bayi. Dan ini, kenapa lebih mudah dicerna bayi karena ada enzimnya.'' Jadi, tegasnya, kadar kolesterol anak yang mendapatkan ASI eksklusif ini lain, hingga tak berisiko terkena serangan jantung karena metabolisme badannya mampu beradaptasi dengan kolesterol tinggi.
Sebagai contoh, dua anak memiliki kolesterol sama. Namun yang satu mendapatkan ASI eksklusif dan satunya lagi tidak. "Nah, pada anak yang mendapat ASI eksklusif, kadar kolesterol tinggi ini, tak berbahaya karena metabolisme badannya sudah terbiasa dengan kolesterol tinggi. Sedangkan anak yang tak mendapat ASI eksklusif, metabolismenya biasa, hingga kolesterol dengan kadar tersebut menjadi masalah. Inilah yang dikatakan bisa berisiko terkena penyakit jantung," papar Utami.