Tips Menghadapi Si Kecil Yang Syok

By nova.id, Rabu, 12 Januari 2011 | 17:02 WIB
Tips Menghadapi Si Kecil Yang Syok (nova.id)

Bagaimanapun, kematian ibu pasti menggoncang kehidupan anak. Dampaknya juga tak membedakan anak lelaki atau perempuan, maupun usia kecuali bayi. Jikapun ada anak yang terkesan amat tegar dan berekspresi biasa-biasa saja, boleh jadi lantaran ia memang masih buta soal kematian.

Sementara syok tidaknya seorang anak dan berapa besar pengaruhnya, sangat tergantung karakter dan pola kebiasaan anak, komunikasi atau kehangatan hubungan ibu-anak, serta kedekatan dengan sosok ayah. Itu sebabnya, "Anak yang lengket dengan ayah umumnya tak kelewat terpukul. Apalagi bila kepedulian ayah melebihi porsi yang diberikan si ibu," tutur Ieda. Tapi bila ayah cuek, si kecil bisa syok berat, lo, Pak. "Ia sangat kehilangan, terlebih bila hubungannya dengan ibu selama ini cukup dekat."

Untuk mengobati luka batinnya butuh waktu dan "jaminan" kasih sayang orang lain di luar ibunya. Soalnya, kehilangan orang yang dicintai dan mencintai bukan perkara gampang buat anak usia batita dan balita. Mereka, kan, sudah mengenali ibunya dan punya kenangan tersendiri yang tak akan pernah pupus begitu saja. Jadi, kita harus menghargai kenangan mereka terhadap ibu. Biarkan ia menyimpannya di sudut hatinya yang paling istimewa. Itu sebabnya, anak-anak yang selagi kecil ditinggal ibunya, pasti senang sekali mendengar cerita membanggakan tentang ibunya. Sebaliknya, ia pasti sedih sekali bila orang lain menyampaikan hal-hal kurang menyenangkan tentang almarhumah.

Nah, agar si kecil tak syok berlarut-larut dalam kehampaan dan rasa kehilangannya, tarik ia ke dunia realita. Caranya, beri penjelasan sederhana, bila perlu berulang-ulang, sesuai bahasa dan usia anak. Mereka pun akan lebih terbantu memahami kematian ibu lewat bermain semisal main meninggal bohongan lengkap dengan ritual penguburan, karena bermain merupakan miniatur kehidupan buat anak.

Sampaikan padanya, semua orang pasti akan meninggal, namun hanya Tuhanlah yang tahu dan berhak menentukan saat ajal tiap manusia. Secara perlahan, kenalkan mereka dengan dunia agama untuk memupuk keimanannya, terlebih bila anak sudah bisa diajak omong. Jelaskan sedemikian rupa agar anak tak "menuduh" Tuhan sebagai sosok kejam yang berlaku tak adil pada dirinya atau malah menyalahkan diri dan lingkungan karena kematian tersebut membuatnya tak sempat diasuh/dirawat dan didampingi ibunya. Kemudian secara bertahap, biarkan anak mengerti bahwa mereka yang sudah meninggal tak akan pernah kembali. Dalam hal ini kita perlu menjaga anak dari pengaruh buruk tayangan sinetron yang mengangkat kisah-kisah bangkit dari kubur. Jangan sampai anak punya gambaran menakutkan tentang alam kematian, "Ih, ibuku bisa jadi hantu seperti itu."

Soal, bagaimana nanti ia mengembangkan perilakunya, antara lain ditentukan angan-angan, penerimaan, dan interaksinya dengan dunia sekitar; apakah adaptif atau kompensatif. Yang adaptif biasanya memungkinkan anak mengembangkan kemandirian alias tak bergantung pada nasib atau siapa pun. Soalnya, ia mampu beradaptasi dengan kenyataan dirinya memang tak punya ibu dan tak mau tenggelam dalam keterbatasannya. "Saya memang tak punya ibu, tapi hidup harus berjalan terus," begitu prinsipnya. Dengan kata lain, bagaimana ia akan menuai hasil tumbuh-kembangnya sangat tergantung dari banyak hal. Di antaranya dengan siapa ia berinteraksi selama perjalanan panjang hidupnya.

JELASKAN SEBAB KEMATIAN

Menurut Ieda, kita tak perlu menutup-nutupi penyebab kematian sang ibu pada anak, termasuk bila ibu meninggal saat melahirkan. "Jelaskan dengan bahasa sederhana mengenai prosedur di RS dan perjuangan semua pihak yang berusaha menolong." Namun jangan sekali-kali melontarkan ungkapan bernada menyalahkan pihak tertentu apalagi anak semisal, "Ibumu meninggal dulu itu karena melahirkan kamu." Ungkapan begini terbilang sadis dan bisa "membunuh" karena sama sekali tak memikirkan perasaan atau reaksi anak. Bukankah anak akan didera rasa bersalah berkepanjangan?