Tentu saja, menghadapi si kecil yang pintar cari alasan-alasan diperlukan sikap bijaksana, bukan malah kita memarahi atau ngotot-ngotot dengannya. Yang terbaik, menurut Mitha, cari tahu apakah perilaku si kecil yang demikian karena ia memang sedang melewati tahapan perkembangannya ataukah sekadar beralasan yang dicari-cari.
Caranya, perhatikan kebiasaan si kecil. "Jika memang karena perkembangannya, maka alasan tersebut berlaku pada semua orang dan pada semua hal yang ditawarkan kepadanya. Jadi, sama orang tuanya maupun pembantunya dan orang lain, ia akan bersikap seperti itu." Misal, "Aku enggak mau makan pakai daging, maunya pakai telur." Giliran sudah dibuatkan telur, ia bilang, "Aku enggak mau telur ceplok, maunya telur dadar." Nah, hal ini juga terjadi kala si kecil disuruh makan oleh pengasuhnya, neneknya, omnya, tantenya, dan seterusnya.
Namun bila perilakunya itu hanya berlaku pada hal-hal dan orang-orang tertentu, berarti ada relasi yang tak sesuai atau ada kebutuhan-kebutuhan si kecil yang tak terpenuhi. Misal, tiap disuruh menggosok gigi selalu tak mau dan banyak alasannya. Boleh jadi lantaran ia tak suka rasa odolnya atau sikat giginya terlalu besar. Untuk itu, kita perlu tanyakan, "Ade maunya odol yang mana?" Jika setelah ganti odol, ia masih tak mau juga, kita bisa bilang, "Oke, hari ini Ade boleh enggak gosok gigi, tapi besok pagi harus gosok gigi!"
Jika perilakunya ini sudah menjadi sesuatu yang di luar kemampuan kita dan kelihatan sekali kalau ia terlalu mencari-cari alasan, saran Mitha, kita perlu bertindak tegas. Jadi, kalau besoknya ia tetap tak mau juga menggosok gigi, katakan, "Kalau begitu, Ade tak boleh makan cokelat lagi, jadi tak perlu menggosok gigi lagi." Dengan cara ini, kita menempatkan ia pada situasi yang proporsional. Ia jadi berpikir, "Wah, aku enggak bisa makan cokelat lagi, padahal aku suka sekali cokelat." Hingga ia pun akhirnya tak bisa semena-mena mengemukakan alasan-alasan yang sangat tak beralasan.
Jadi, tak perlu buru-buru marah ataupun menuduh si kecil cuma cari-cari alasan, tapi kembalikanlah pada diri kita: apakah kita telah memfasilitasi semua kepentingannya? "Kalau kita sudah memfasilitasi semuanya dan mempertimbangkan kepentingan anak tapi ia masih juga cari-cari alasan, barulah kita bisa berpikir, oh, ini ada sesuatu yang tak beres pada dirinya. Berarti ia hanya mencari-cari alasan belaka," bilang Mitha.
JANGAN LUPAKAN RITUALNYA
Pendeknya, Bu-Pak, kita perlu menggali lebih lanjut tiap kali anak beralasan. "Pancing ia dengan pertanyaan-pertanyaan hingga akhirnya kita bisa menemukan apa sebenarnya yang ia inginkan." Dengan cara ini, kita juga sekaligus mengajarinya belajar tentang hubungan sebab-akibat. Hingga, lama-kelamaan si kecil pun berani mengemukakan pendapatnya, bukan lagi alasan yang dibuat-buat.
Lagi pula, dengan kita "mencecarnya" lewat pertanyaan-pertanyaan, kalau alasan yang ia kemukakan memang merupakan kebutuhannya, ia pasti akan menjawab dengan tepat. Namun bila hanya sekadar alasan dan asal ngomong, biasanya ia takkan bisa menjawab alasan sebenarnya itu apa. Dengan demikian, ia akhirnya memahami bahwa dirinya tidak bisa asal bicara saja.
Selain tentunya kita pun harus melihat keadaan anak kala ia mengemukakan alasannya. Misal, mungkin ia tak mau tidur karena kurang nyaman dengan lampu yang menyala atau kipas anginnya terlalu besar atau AC-nya kurang dingin, atau karena siangnya ia sudah terlalu lama tidur. "Jadi, semuanya harus dilihat, jangan langsung menyalahkan anak," tegas Mitha.
Termasuk ritual keseharian anak pun harus dilihat. "Jika setiap harinya sebelum tidur ia dibacakan buku cerita, misal, tapi kini ia langsung disuruh tidur, ya, jelas ia takkan mau."
Bila ini yang terjadi, berarti kita harus tetap melakukan ritual tersebut, walaupun mungkin hanya satu buku cerita yang kita bacakan karena kita sudah kelewat lelah. "Oke, akan Bunda bacakan buku ceritanya, tapi satu saja, ya!"
Jika setelah itu, ia tetap belum mau tidur, saran Mitha, minta ia tetap diam di tempat tidur, tak boleh turun atau main lagi. "Tadi, kan, Ade sudah bilang iya untuk dibacakan satu buku cerita saja. Jadi sekarang Ade harus tidur." Dengan begitu, secara tak langsung kita pun telah mengajarinya untuk bersikap konsekuen atas apa yang telah ia sepakati.
Kalau kita bisa tegas, bilang Mitha, tanpa kita harus melotot atau marah-marah pun, si kecil juga akhirnya akan belajar, "Oh, sekarang waktunya tidur. Apa pun alasan yang aku kemukakan,karena ini waktunya tidur maka aku harus tidur." Bagaimanapun, anak juga butuh aturan, kan? Asalkan kita melakukannya dengan konsekuen dan sabar, "lama-lama anak pun bisa menghentikan perilakunya itu. Justru kalau kita enggak sabar hingga berteriak atau mencubit, misal, ia akan mematuhi aturan kita hanya untuk sementara. Jadi, pada saat itu ia mau menurut, tapi di lain waktu ia akan mengulangnya lagi."
Pendeknya, Bu-Pak, lakukan kompromi yang mendidik dari kita kepada si kecil, bukan kompromi yang selalu mentolerir segala sesuatunya. Dengan begitu, ia jadi tahu alasannya masuk akal atau tidak dan bisa atau tidak dilakukan. Jika pun tak bisa dilakukan, ia tahu kapan hal itu baru bisa dilakukan.
Achmad Suhendi/nakita