Jangan Paksa Si Kecil Mengaku Salah

By nova.id, Minggu, 13 Februari 2011 | 17:01 WIB
Jangan Paksa Si Kecil Mengaku Salah (nova.id)

Dengan demikian, perbuatan manipulatif yang dilakukan si kecil di usia ini bukan dalam pengertian sebagaimana yang dilakukan orang dewasa. Ingat, anak balita masih dalam tahap proses belajar mengerti hal-hal baik dan buruk. Hingga, kemampuannya berbohong pun masih sangat terbatas.

SIKAP ORANG TUA

Baik Pipit maupun Kak Seto sama-sama menganjurkan agar orang tua introspeksi diri. "Sebelum mengubah anak, orang tua harus mengubah diri sendiri dulu," kata Kak Seto. Jadi, kita harus mengubah semua aktivitas kita yang cenderung memojokkan si kecil, ya, Bu-Pak. "Dengan begitu, anak akhirnya akan betul-betul merasa aman, hingga ia pun berani untuk jujur. Bukankah kejujuran itu sangat dihargai oleh orang tuanya?"

Begitu pun bila ternyata kitalah yang menjadi sumber peniruan anak, "orang tua harus segera memperbaikinya," ujar Pipit. Misal, kalau kita salah, kita mengakuinya dan meminta maaf. Pun seandainya harus minta maaf pada anak. "Dengan demikian, anak belajar, 'Oh, kalau aku salah enggak perlu aku tutup-tutupi. Aku tinggal minta maaf. Ibu juga kalau salah sama aku minta maaf, kok.'." Tentu anak pun harus tahu, setelah ibu minta maaf, ibu tak pernah mengulangi kesalahannya lagi. "Jangan malah melakukan kesalahan yang sama dan minta maaf lagi. Kalau seperti itu, yang akan dingat anak adalah ternyata minta maaf itu enggak ada artinya."

Dalam memberi hukuman, kita juga harus koreksi, "sudahkah pemberian hukuman yang kita lakukan itu proporsional? Kalau gara-gara ia memecahkan piring lantas dihukum dengan berdiam seharian penuh di gudang, itu sama sekali enggak proporsional. Bukankah tujuan kita menghukum anak agar perbuatan yang dilakukannya tak terulang lagi?" Hukuman yang tak proporsional, terang Pipit, membuat pesan kita tak sampai ke anak dan anak pun akan bertanya-tanya, "Apa salahku? Begitu saja, kok, dihukum berat begini." Nah, yang ia ingat bukan kesalahannya dalam memecahkan piring, melainkan harus masuk ke gudangnya.

Akan berbeda hasilnya bila kita mengajak si kecil untuk duduk bersama dan mengajaknya bicara. Misal, "Jadi, Kakak enggak salah, ya? Yang salah si Mbak, karena taruh piringnya terlalu ke pinggir. Lo, kalau main bola di dapur itu apa enggak salah? Bagaimana kalau saat main bola, lalu bolanya melenting ke piring dan membuat piringnya jatuh?" Dengan cara ini, si kecil akhirnya sadar dan melihat permasalahan secara lebih luas.

Namun kita juga harus menunjukkan hal yang benarnya, lo. Misal, "Kalau Kakak main bola di dalam rumah, nanti akan kena perabotan. Jadi, lebih baik mainnya di halaman saja. Namun kalau bolanya hanya sekadar dipegang-pegang atau digelinding-gelindingkan di karpet yang engga ada TV-nya maupun perabotan lain, itu baru boleh." Dengan demikian, anak sekaligus diajarkan untuk memandang permasalahan bukan dari sudut akunya saja, tapi juga dari sudut orang lain.

Selain itu, dengan mengajaknya bicara, kita pun bisa berdialog secara efektif. Hingga, anak akan merasa dihargai, diberi kesempatan untuk bicara, boleh mengutarakan semuanya. Sekaligus kita juga mendapat masukan banyak tentang diri anak. Kita jadi bisa mengerti perasaan-perasaan si kecil.

Itu sebab, Pipit dan Kak Seto menganjurkan, orang tua sebaiknya terus berusaha memahami anak. Terlebih karena kemampuan kognitif si kecil masih terbatas, ya, Bu-Pak.

Hal lain yang penting diperhatikan, anak berhak untuk salah. Karena melalui kesalahan, ia akan belajar lebih efektif. Sebaliknya, "anak yang tak pernah diberi hak untuk salah tak akan menjadikan kesalahan itu sebagai guru, tapi sebagai sumber bencana yang harus ditutup-tutupi."

Nah, sekarang sudah enggak marah dan khawatir lagi, kan, Bu-Pak?

Indah/Achmad Suhendi/nakita