Mengenal Hemofilia Lebih Dekat

By nova.id, Jumat, 20 April 2012 | 10:05 WIB
Mengenal Hemofilia Lebih Dekat (nova.id)

Anggapan bahwa hemofilia adalah penyakit menular, dibantah oleh Prof. Dr. Djajadiman Gatot, Sp.A (K), dari Divisi Hematologi-Onkologi,Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FKUI-RSCM. Menurut Djajadiman, hemofilia merupakan penyakit gangguan pembekuan darah akibat kekurangan salah satu faktor pembekuan. Penyakit ini, 70 persen diturunkan dari orangtua dan merupakan penyakit gangguan pembekuan yang terbanyak ditemukan di dunia. Sementara sisanya sebanyak 30 persen belum diketahui penyebabnya.   Penurunan penyakit ini diperoleh dari ibu yang memiliki carier atau pembawa sifat  (obligate carier) hemofilia, di mana pada dua kromosom X yang dimiliki ibu, salah satunya tidak normal atau cacat. "Hanya pria sajalah yang menderita penyakit ini karena jika kromosom X-nya rusak, mereka tidak memiliki kromosom X pengganti," ujar Djajadiman di acara "Upaya Menghilangkan Kesenjangan dalam Penanganan Hemofilia" yang berlangsung di RSCM Kencana, Kamis (12/4) lalu.

Lebih lanjut, Djajadiman menyatakan bahwa seorang perempuan diperkirakan sebagai pembawa sifat hemofilia apabila ia memenuhi salah satu dari tiga kriteria. Yaitu, ayahnya penderita hemofilia, mempunyai saudara lelaki penderita hemofilia, dan memiliki lebih dari satu anak lelaki penderita hemofilia.

Sifatnya yang herediter, membuat gejala klinis hemofilia bisa timbul sejak bayi dan tergantung pada berat penyakitnya. Gejala klinis yang sering terjadi adalah pendarahan abnormal yang letaknya dalam. Contohnya pendarahan sendi (hemartrosis), pendarahan otot atau jaringan lunak lain (hematot) dan dapat juga terjadi dalam kulit ekimosis (biasanya ditemukan pada bayi yang mulai merangkak), pendarahan hidung, saluran kemih, serta pendarahan otak.

Prof. Dr. dr. Karmel L Tambunan, SpPD-KHOM, FACTH, yang menangani penderita hemofilia anak menjelaskan, hemofilia berat biasanya terjadi secara spontan tanpa rudapaksa (trauma) pada lutut dan otot. Hemofilia sedang kadang-kadang bisa spontan dan bisa terjadi pendarahan berat jika ada trauma atau operasi. Sedang hemofilia ringan umumnya baru terjadi pendarahan bila terjadi operasi atau trauma saja.

Nah, jika terjadi pendarahan seperti hemartrosis, misalnya, segera lakukan tindakan RICE. RICE adalah rest yaitu mengistirahatkan sendi yang mengalami pendarahan, ice yaitu mengompres bagian yang berdarah dengan es, compression yaitu menekan atau bebat bagian tersebut, dan elevation yaitu meninggikan posisi sendi atau angkat sendi yang mengalami pendarahan.

Setelah dua jam, barulah lakukan pengobatan komprehensif, yaitu dengan memberikan faktor atau obat pembekuan sesuai dengan faktornya masing-masing. Faktor pembekuan yang biasanya diberikan adalah kriopresipitat (bagian plasma yang dibekukan) atau faktor yang dimurnikan (komersil). Sebisa mungkin jangan memberikan aspirin atau obat lain yang dapat mengganggu pembekuan darah kepada penderita hemofilia. Karmel juga menyarankan agar penanganan hemofilia dilakukan secara komprehensif dan multidisiplin oleh ahli-ahli terkait, seperti hematologi, bedah tulang dan gigi, patologi klinik, fisioterapi, bagian infeksi, gizi, psikoterapi, terapi okupasional, transfusi darah, dan lain sebagainya.

Terkait mahalnya pengobatan hemofilia yang termasuk pengobatan seumur hidup (long life treatment), Karmel dan Djajadiman menyarankan agar masyarakat tak mampu memanfaatkan jaminan kesehatan dari pemerintah, seperti Jamkesmas, Jamkesda, Gakin, dan ASKES.

Tahun lalu saja, untuk 77 orang penderita hemofilia dewasa yang terdaftar di RSCM, pemerintah sudah memberikan dana santunan melalui jaminan kesehatan sebesar Rp 3,042 milyar. Oleh karena itulah, Karmel menghimbau kepada para dermawan atau donator untuk bisa berpartisipasi membantu penanganan hemofilia di Indonesia. 

Ester Sondang