Tetap Bahagia Tanpa Kehadiran Anak (1)

By nova.id, Selasa, 1 Juni 2010 | 17:52 WIB
Tetap Bahagia Tanpa Kehadiran Anak 1 (nova.id)

Tetap Bahagia Tanpa Kehadiran Anak 1 (nova.id)

"Iman Dharma/nakita "

Hati Rini (37) bagai teriris-iris setiap kali menyaksikan anak-anak bermain dengan lincahnya. Betapa tidak! Hampir 10 tahun menikah dengan Budi, sang buah hati yang dinanti tak jua datang. Tak jarang timbul kecemasan, "Bagaimana bila suatu hari nanti Budi ternyata berubah pikiran dan menceraikan saya dengan alasan tak punya anak?"

Menurut Dr. Joanes Riberu dari FKIP Unika Atma Jaya Jakarta, pemikiran dan kecemasan Rini amat wajar. "Sebab, anak seringkali menjadi salah satu tujuan dari perkawinan." Apalagi dalam masyarakat tradisional sangat diharapkan ada "tunas-tunas" baru yang bisa melanggengkan keturunannya. Jadi, ada-tidaknya anak bisa sangat menentukan kebahagiaan perkawinan

FALSAFAH HIDUP

Padahal, lanjut Riberu, sebenarnya kebahagiaan perkawinan sangat tergantung dari falsafah hidup yang dianut suami-istri bersangkutan. "Baik suami atau istri tentunya punya paham masing-masing. Nah, kalau paham mereka bisa diserasikan, perkawinan tetap bisa berlangsung bahagia dan utuh," tutur lulusan Universitas Salesiana, Roma, bidang Filsafat dan Ilmu Pendidikan ini.

Dalam hal ini, tambahnya, akan sangat membantu bila pasangan menganut paham, perkawinan bukan hanya untuk mendapatkan anak. Dengan kata lain, bila paham dasarnya ialah, "Saya menerima dia apa adanya untuk menjadi pasangan seumur hidup saya, untuk saling membahagiakan." maka punya anak atau tidak, tak akan jadi masalah. "Mereka akan dapat mengatasi situasi tersebut jauh lebih baik."

Apalagi bila sebelum menikah pasangan sudah membuka diri dan berbicara mendalam tentang falsafah masing-masing, sehingga keduanya bisa saling membantu. Artinya, apa yang tak ada pada jenis kelamin yang satu, ada pada jenis kelamin yang lain, sehingga mereka bisa saling melengkapi. "Ini adalah salah satu tujuan perkawinan yang sangat indah walaupun tanpa adanya anak," tandas konsultan perkawinan ini.

Tapi kalau paham dasarnya bukan seperti yang telah disebutkan di atas, bisa jadi perkawinan akan susah langgeng dan bahagia ketika kemudian pasangan tak punya anak. Kendati pun pada awalnya mereka saling mencintai dan saling mencoba menyesuaikan diri.

KONTROL SEBELUM MENIKAH

Falsafah tadi, tegas Riberu, tentu saja harus sudah dibicarakan secara jujur sejak sebelum menikah. Selain masing-masing juga harus paham tentang tujuan perkawinan. "Saya menikah itu untuk apa?" Bila tujuannya memang untuk mendapatkan anak, saran Riberu, sebaiknya sedini mungkin sudah diantisipasi.

Riberu mengingatkan, kebanyakan kegagalan perkawinan adalah ibarat membeli kucing dalam karung. "Kita tak tahu apakah akan mendapat yang sesuai keinginan atau tidak. Nah, mengapa kita tak buat perkawinan tak seperti membeli kucing dalam karung?" Sudah tentu, tambahnya, "Bukan dengan dicoba hidup bersama dulu! Maksudnya, periksa dulu ke dokter untuk mengetahui bagaimana kemungkinan mendapatkan anak."

Nah, lewat pemeriksaan itu bisa diketahui lebih dini sehingga dampak kekecewaan akan bisa dicegah. Pasangan juga bisa mengambil keputusan apakah hubungan tersebut akan diteruskan ke perkawinan atau tidak. "Lebih baik berpisah saat masih pacaran daripada setelah menikah. Sebab, jika dipaksakan pun, akan tetap terjadi ketidakcocokan."