Selain itu, kita pun harus coba mengerem omongan agar tak selalu mengkritik anak. Bukan berarti tak boleh mengkritik, lo, karena kritik perlu demi kebaikan anak. Hanya perlu dipahami, anak tak seperti orang dewasa yang memahami mana kritik positif dan bukan. Jadi, cara mengkritiknya bukan dengan cercaan, melainkan diberi alternatif atau solusinya.
Misal, "Oh, bagus, ya, anak Mama sudah bisa pilih baju sendiri. Warnanya cerah lagi. Boleh enggak Mama kasih ide? Gimana kalau warna merah ini digabungkan dengan putih?" Dengan begitu, si kecil tak merasa dikritik tapi diberi alternatif. "Jadi, ada unsur penghargaan pada dirinya," tandas Enny.
CARI TAHU KEISTIMEWAANNYA
Seiring dengan itu, pinta Enny, cari tahu juga kenapa si kecil lekat pada orang ketiga; apa, sih, yang dilihatnya dari orang itu? Pelajari pula apa yang menarik hati anak dari dalam diri orang itu. "Bisa jadi kita akan menjumpai, orang ketiga ini lebih punya waktu mendengarkan omongan anak dibandingkan kita sebagai orang tuanya." Bila demikian, mengapa kita tak coba mulai untuk melakukannya? Toh, kita cuma duduk sekian menit mendengarkan omongannya. Enggak sulit, kan? Enny mengingatkan, jangan karena anak masih kecil maka kita menganggap omongannya tak penting hingga tak perlu didengarkan.
"Memang omongannya sering enggak fokus hingga kita jadi kurang sabar mendengarkannya. Tapi anak, kan, juga punya kebutuhan untuk didengarkan omongannya tanpa perlu diberikan solusi." Jangan lupa, ada saat-saat tertentu ia hanya butuh rasa aman dan pembelaan dari orang tua. Mungkin setelah mengalami kejadian tak menyenangkan di "sekolah", misal. Nah, pembelaan yang ia butuhkan dalam arti, "Engkau tetap anakku." Walau prestasimu jelek, misal, engkau tetap anakku. "Ini hal penting, lo, buat anak. Meski nanti kesalahannya dibetulkan atau diluruskan, itu lain perkara. Yang penting, dirinya diterima sepenuhnya dulu oleh orang tua."
Bila kita tak bisa mencari tahu keistimewaan si orang ketiga, saran Enny, komunikasikan dengannya. "Cari masukan dari orang itu kenapa anak kita lebih lekat kepadanya." Jadi, jangan buru-buru malah iri dan memusuhi orang itu, ya, Bu-Pak. Apalagi sampai melarang si kecil selalu datang kepadanya. "Itu bukan penyelesaian yang baik!" tandas Enny, "Bisa-bisa kita malah dimusuhi anak kita."
RAIH KEMBALI SI KECIL
Penting diperhatikan, bila si kecil sudah "berpaling" pada orang lain, kita harus coba "meraih"nya kembali. Soalnya, kita yang tetap harus punya peran dalam kehidupan anak. Kalau tidak, seperti dibilang Enny, bagaimana kita akan memasukkan nilai-nilai dalam kehidupan si kecil?
"Ingat, anak tetap butuh leader; ada yang dilihat dan ada yang mentransfer nilai-nilai buat dirinya. Lagi pula, pendidikan pertama buat anak adalah keluarga. Jadi, orang tualah leader buat anak." Selain itu, bila tak sejak sekarang si kecil "ditarik" kembali, kebiasaannya "curhat" pada orang ketiga bisa keterusan hingga remaja. Jika sudah begitu, akan susah lagi "menggaet"nya karena saat remaja, anak sudah "tergaet" dengan komunitas lain lagi. Nah, agar si kecil "kembali" pada kita, selain dengan cara di atas, Enny pun minta agar kita memperlihatkan pada si kecil bahwa kita bisa, kok, menjadi tempat berbagi dan bersandar buatnya.
"Tunjukkan pada anak, ia bisa bersikap kepada kita seperti ia bersikap terhadap si orang ketiga." Caranya, tak lain dengan selalu menerima anak apa adanya, belajar mendengar, dan bersikap jujur serta terbuka walau kesabaran kita sudah habis. "Kita bisa mulai komunikasi dengan rekayasa problem kita." Misal, "Tadi Bunda lihat sopir bajaj dimarahi sopir taksi. Bunda kasihan, deh, melihatnya." Dengan cara melempar problem duluan, kita memancing pendapat anak.
Selanjutnya, bila kita sudah biasa berbagi cerita dengan anak, lama-lama ia pun terbiasa berbagi cerita pula dengan kita. "Akhirnya, kita pun bisa jadi tempat curahan hatinya." Tentu dengan catatan, kita harus selalu mawas diri agar tak cepat-cepat mengeluarkan opini dan kritik. "Biarkan anak mengemukakan pendapatnya. Jadi, terima dulu pendapatnya."
Kita pun harus sabar bila si kecil cuma menceritakan pengalaman atau kasus teman-temannya, karena biasanya itulah yang ia ungkapkan pada awalnya. Nanti, bila ia mulai terbiasa ngomong dengan kita, barulah digiring untuk menceritakan pengalamannya sendiri. Pokoknya, tekan Enny, bila kebutuhan untuk didengar bisa terpenuhi oleh kita, yakin, deh, si kecil tak berpaling pada orang ketiga lagi.