Kok, Curhatnya Sama Orang Lain, Sih?

By nova.id, Sabtu, 15 Januari 2011 | 17:01 WIB
Kok Curhatnya Sama Orang Lain Sih (nova.id)

Kita wajib introspeksi diri bila si kecil kerap bercerita ataupun menumpahkan unek-uneknya pada orang lain. Jangan-jangan karena cara kita merespon yang tak sesuai harapannya.

Awalnya, Ny. Yulia (36) tak begitu peduli kala putra sulungnya, Andi (4) langsung mencari kakeknya sepulang "sekolah" hanya untuk menceritakan pengalamannya hari itu di "sekolah". Tapi setelah beberapa kali ibu dua anak ini minta Andi menceritakan hal yang sama pada dirinya, ternyata, "Andi cuma cerita singkat saja, enggak seru seperti kalau cerita sama kakeknya. Saya kecewa sekali. Saat itu baru saya ngeh kalau selama ini Andi memang lebih sering ngobrol sama kakeknya, sementara kalau saya yang ngajak ngomong, Andi kelihatannya ogah-ogahan dan cuma menjawab seperlunya saja. Duh, rasanya nyesek banget ini dada. Saya merasa enggak dibutuhin oleh anak saya sendiri," tuturnya dengan nada sendu.

Kita pun akan punya perasaan sama bila si kecil lebih suka ngobrol apalagi "curhat" alias menumpahkan unek-uneknya pada orang ketiga. Sekalipun orang ketiga itu adalah kakek-neneknya atau om-tantenya yang masih kerabat sendiri. Sebagai orang tua, ada rasa tak rela, cemburu, dan otomatis terluka.

Tentu wajar-wajar saja bila kita punya perasaan demikian sebagaimana dikatakan dra. Enny Z. Hanum, "Namanya juga orang tua, apalagi ibu. Dia, kan, yang merasakan suka-dukanya mengandung dan melahirkan. Jadi, wajarlah kalau kemudian muncul perasaan-perasaan seperti itu." Namun begitu, ujar psikolog lulusan Fakultas Psikologi UI ini, "seyogyanya orang tua mampu berkepala dingin dalam memecahkan masalah ini."

Soalnya, perilaku si kecil yang demikian bukan tak mungkin lantaran ada sesuatu yang membuatnya merasa tak nyaman untuk berkomunikasi dengan kita. Bisa jadi ekspresi kita, cara bicara kita yang selalu mengkritik dan mengajarinya itulah yang membuatnya "lari" dari kita sebagai orang tuanya. Itulah mengapa, Enny menyarankan kita agar introspeksi diri untuk mengetahui akar permasalahannya hingga bisa diperbaiki.

ORANG ISTIMEWA

Perlu diketahui, si kecil memilih orang ketiga sebagai tempat "curhat" berarti orang tersebut istimewa di matanya hingga ia percaya penuh pada orang itu. "Biasanya karena orang ketiga ini bisa dan mau mendengar obrolan anak, bisa menerima anak tanpa mengkritik atau mengkoreksi," tutur Enny.

Jangan lupa, walau masih usia prasekolah, namun kebutuhan untuk diterima tetap ada, baik oleh orang tua maupun lingkungannya karena berkaitan dengan rasa aman yang dibutuhkannya. Tapi jangan salah sangka, lo, bukan berarti kita tak pernah menerima si kecil seutuhnya. Si kecil juga tahu, kok, dengan pasti kalau kita menerimanya. Hanya mungkin kita memberi respon tak sesuai harapannya.

Bukankah dalam menghadapi segala sesuatu pada diri anak, biasanya orang tua cenderung mengkaitkan dengan unsur pendidikan hingga segala sesuatunya selalu ditanggapi dengan penuh kritik dan koreksi? Tak demikian halnya orang ketiga, entah kakek-nenek, om-tante, atau bahkan tetangga yang jadi idola anak, tak selalu mementingkan unsur pendidikan dalam menghadapi anak."

Nah, disinilah persoalannya. Anak, tutur Enny lebih lanjut, tak selalu butuh kritik. "Ada saat-saat tertentu ia hanya butuh didengarkan omongannya, butuh didengar siapa akunya." Dengan demikian, bila kita tak menunjukkan sikap bisa memberikan sesuatu yang sesuai harapannya, tak heran bila akhirnya si kecil "lari" pada orang ketiga, ya, Bu-Pak.

REM OMONGAN KITA

Lantas, apa yang harus kita lakukan? Saran Enny, kita harus cari tahu mengenai diri anak; kapan ia butuh diberi nasihat dan kritik, serta kapan ia hanya butuh didengar dan dipuji. Misal, si kecil cerita, tadi ia menumpahkan makanan namun tumpahannya sudah dilap dan tangannya pun sudah dicuci. Tentu yang ia harapkan bukan cercaan, 'Makanya kalau makan hati-hati, duduk yang manis!', melainkan pujian bahwa saya melakukan kesalahan tapi saya sudah bisa memperbaikinya.

Selain itu, kita pun harus coba mengerem omongan agar tak selalu mengkritik anak. Bukan berarti tak boleh mengkritik, lo, karena kritik perlu demi kebaikan anak. Hanya perlu dipahami, anak tak seperti orang dewasa yang memahami mana kritik positif dan bukan. Jadi, cara mengkritiknya bukan dengan cercaan, melainkan diberi alternatif atau solusinya.

Misal, "Oh, bagus, ya, anak Mama sudah bisa pilih baju sendiri. Warnanya cerah lagi. Boleh enggak Mama kasih ide? Gimana kalau warna merah ini digabungkan dengan putih?" Dengan begitu, si kecil tak merasa dikritik tapi diberi alternatif. "Jadi, ada unsur penghargaan pada dirinya," tandas Enny.

CARI TAHU KEISTIMEWAANNYA

Seiring dengan itu, pinta Enny, cari tahu juga kenapa si kecil lekat pada orang ketiga; apa, sih, yang dilihatnya dari orang itu? Pelajari pula apa yang menarik hati anak dari dalam diri orang itu. "Bisa jadi kita akan menjumpai, orang ketiga ini lebih punya waktu mendengarkan omongan anak dibandingkan kita sebagai orang tuanya." Bila demikian, mengapa kita tak coba mulai untuk melakukannya? Toh, kita cuma duduk sekian menit mendengarkan omongannya. Enggak sulit, kan? Enny mengingatkan, jangan karena anak masih kecil maka kita menganggap omongannya tak penting hingga tak perlu didengarkan.

"Memang omongannya sering enggak fokus hingga kita jadi kurang sabar mendengarkannya. Tapi anak, kan, juga punya kebutuhan untuk didengarkan omongannya tanpa perlu diberikan solusi." Jangan lupa, ada saat-saat tertentu ia hanya butuh rasa aman dan pembelaan dari orang tua. Mungkin setelah mengalami kejadian tak menyenangkan di "sekolah", misal. Nah, pembelaan yang ia butuhkan dalam arti, "Engkau tetap anakku." Walau prestasimu jelek, misal, engkau tetap anakku. "Ini hal penting, lo, buat anak. Meski nanti kesalahannya dibetulkan atau diluruskan, itu lain perkara. Yang penting, dirinya diterima sepenuhnya dulu oleh orang tua."

Bila kita tak bisa mencari tahu keistimewaan si orang ketiga, saran Enny, komunikasikan dengannya. "Cari masukan dari orang itu kenapa anak kita lebih lekat kepadanya." Jadi, jangan buru-buru malah iri dan memusuhi orang itu, ya, Bu-Pak. Apalagi sampai melarang si kecil selalu datang kepadanya. "Itu bukan penyelesaian yang baik!" tandas Enny, "Bisa-bisa kita malah dimusuhi anak kita."

RAIH KEMBALI SI KECIL

Penting diperhatikan, bila si kecil sudah "berpaling" pada orang lain, kita harus coba "meraih"nya kembali. Soalnya, kita yang tetap harus punya peran dalam kehidupan anak. Kalau tidak, seperti dibilang Enny, bagaimana kita akan memasukkan nilai-nilai dalam kehidupan si kecil?

"Ingat, anak tetap butuh leader; ada yang dilihat dan ada yang mentransfer nilai-nilai buat dirinya. Lagi pula, pendidikan pertama buat anak adalah keluarga. Jadi, orang tualah leader buat anak." Selain itu, bila tak sejak sekarang si kecil "ditarik" kembali, kebiasaannya "curhat" pada orang ketiga bisa keterusan hingga remaja. Jika sudah begitu, akan susah lagi "menggaet"nya karena saat remaja, anak sudah "tergaet" dengan komunitas lain lagi. Nah, agar si kecil "kembali" pada kita, selain dengan cara di atas, Enny pun minta agar kita memperlihatkan pada si kecil bahwa kita bisa, kok, menjadi tempat berbagi dan bersandar buatnya.

"Tunjukkan pada anak, ia bisa bersikap kepada kita seperti ia bersikap terhadap si orang ketiga." Caranya, tak lain dengan selalu menerima anak apa adanya, belajar mendengar, dan bersikap jujur serta terbuka walau kesabaran kita sudah habis. "Kita bisa mulai komunikasi dengan rekayasa problem kita." Misal, "Tadi Bunda lihat sopir bajaj dimarahi sopir taksi. Bunda kasihan, deh, melihatnya." Dengan cara melempar problem duluan, kita memancing pendapat anak.

Selanjutnya, bila kita sudah biasa berbagi cerita dengan anak, lama-lama ia pun terbiasa berbagi cerita pula dengan kita. "Akhirnya, kita pun bisa jadi tempat curahan hatinya." Tentu dengan catatan, kita harus selalu mawas diri agar tak cepat-cepat mengeluarkan opini dan kritik. "Biarkan anak mengemukakan pendapatnya. Jadi, terima dulu pendapatnya."

Kita pun harus sabar bila si kecil cuma menceritakan pengalaman atau kasus teman-temannya, karena biasanya itulah yang ia ungkapkan pada awalnya. Nanti, bila ia mulai terbiasa ngomong dengan kita, barulah digiring untuk menceritakan pengalamannya sendiri. Pokoknya, tekan Enny, bila kebutuhan untuk didengar bisa terpenuhi oleh kita, yakin, deh, si kecil tak berpaling pada orang ketiga lagi.

JANGAN LANGSUNG DIPUTUS

Sebenarnya, tutur Enny, tak ada salahnya si kecil berbagi cerita dengan orang ketiga karena ada positifnya. "Anak bisa belajar berbagai karakter orang-orang di luar rumahnya dan bagaimana ia beradaptasi dalam menghadapi berbagai karakter itu. Jadi, ia belajar menghargai orang lain dan bersosialisasi." Tapi ada syaratnya, lo, orang ketiga tersebut tak bermasalah dan sejalan dengan pola pendidikan kita.

Selain itu, kita juga tak boleh melepaskan tanggung jawab kita sepenuhnya. Ingat, pendidikan anak tetap di tangan orang tua. Jadi, untuk hal-hal yang butuh keputusan orang tua, kitalah yang mengambil peran. Tapi untuk hal-hal yang sifatnya sampingan dan tak perlu peran orang tua, enggak masalah, kok, bila si kecil "lari" pada orang ketiga. Untuk itu, kita harus mampu memilah, mana yang harus kita pegang dan ambil alih, serta mana yang boleh dibiarkan saja pada orang ketiga. Misal, keputusan tentang "sekolah", tentu bukan orang ketiga, kan, yang harus memutuskannya?

Lain hal bila si kecil memilih orang ketiga yang kita rasakan enggak tepat, semisal suka bicara kasar hingga kita takut si kecil jadi terpengaruh. Tapi jangan lantas memutus kelekatan si kecil pada orang itu, lo. "Bagaimanapun kita harus menghargai pilihan anak," ujar Enny. Justru kalau kita langsung melarangnya, apalagi disertai mencerca si orang ketiga, "anak akan merasa sebagian dari kritikan terhadap orang itu adalah celaan buat dirinya juga. Ia akan merasa, ia salah dalam memilih orang." Yang terbaik, anjur Enny, ambil alih peran orang itu secara perlahan.

"Kalau saatnya anak hendak ke sana, kita coba tarik perhatiannya agar ia tak ke sana. Misal, dengan mengajaknya melakukan permainan yang ia sukai." Pendeknya, tarik perhatian si kecil dengan hal-hal menyenangkan yang bisa dilakukannya di rumah bersama kita, termasuk jadi pendengar yang baik buatnya.

Nah. bila ia sudah mulai terikat dengan rumah, lama-lama kebutuhannya pada orang ketiga makin berkurang hingga akhirnya ia pun tak "lari" lagi ke luar rumah untuk "curhat". Mau tak mau kita harus panjang sabar, ya, Bu-Pak, karena butuh waktu untuk membuat si kecil "kembali" pada kita.  

Indah Mulatsih/nakita