Melatih Anak Memilih Sendiri

By nova.id, Jumat, 17 Desember 2010 | 17:01 WIB
Melatih Anak Memilih Sendiri (nova.id)

Sebenarnya, melatih anak memilih sendiri sudah bisa dimulai saat anak mulai bisa diajak bicara. Tapi, toh, belumlah terlambat jika Ibu-Bapak baru memulainya sekarang kala anak berusia prasekolah. Nah, untuk memulainya harus dimulai dari bagaimana orang tua membentuk kepribadian anak.

Menurut Betty, kita melatih anak agar mampu memilih sendiri berkaitan dengan melatihnya mengambil keputusan besar kelak dan pembentukan konsep dirinya. "Jadi, untuk membentuk pribadi yang lebih positif; bagaimana ia bisa menerima dirinya dan menghargai apa yang ada dalam dirinya."

Disamping tentunya melatih anak memikirkan sesuatu, mengajak ia memahami situasi dan hal-hal di sekelingnya. Misal, saya harus pergi ke "sekolah", maka baju mana yang pas untuk itu. Adapun cara melatihnya melalui kegiatan sehari-hari di rumah karena anak memerlukan pengalaman yang diperoleh dari kegiatan terus-menerus dalam kesehariannya.

"Mulailah dari hal-hal sederhana dulu seperti memilih baju, makanan, atau mainannya." Minta ia memilih apa yang hendak dimakannya untuk sarapan, misal, apakah nasi goreng atau roti dengan selai. Atau, kala jalan-jalan ke toko buku, minta ia memilih buku yang hendak dibelinya, dan sebagainya. Selain itu, "bisa juga dengan sering mengajak anak melakukan permainan yang ada kaitannya dalam pengambilan keputusan." Misal, permainan ular tangga dan catur yang membuatnya harus memilih langkah mana yang harus diambilnya.

ASAL TAK BERBAHAYA

Kendati demikian, bukan dalam segala hal anak harus dilatih memilih dan mengambil keputusan sendiri. Untuk hal-hal tertentu, terutama yang kompleks dan sulit, tentulah ia masih tetap memerlukan kebijaksanaan dan keputusan terbaik dari orang tua. Misal, memilih "sekolah".

Anak usia ini, kan, belum saatnya diminta memilih sendiri "sekolah"nya. Lain hal kalau ia sudah remaja. Jadi, Bu-Pak, sepanjang masalahnya sederhana dan sesuai porsi anak, biarkanlah ia memilih dan memutuskannya sendiri. Dengan begitu, Bapak-Ibu memberinya kesempatan untuk pengembangan kepribadiannya. Yang penting diperhatikan, pilihan tersebut berbahaya atau tidak.

Misal, memilih mainan yang tajam sehingga bisa melukainya, "tentu orang tua tak boleh membiarkan; menjadi hak prerogatif orang tua untuk melarangnya." Tapi jika pilihannya tak berbahaya, ya, biarkan saja. Dalam bahasa lain, orang tua pun harus yakin bahwa pilihan yang dibuat anak adalah sesuatu yang positif atau tak berbahaya bagi anak. Yang paling baik lagi bila orang tua juga menanyakan alasan ia memilihnya dan menghargai alasannya itu. Misal, "Kenapa Kakak memilih mainan ini? Menurut Kakak, apanya, sih, yang bagus? Apa karena manik-maniknya atau warnanya terang?" Dengan demikian, anak akan lebih merasa bangga dan percaya diri bahwa orang tuanya menghargai pilihannya, sehingga konsep dirinya pun berkembang positif.  

Indah Mulatsih.