Seringkali orang tua menjadi pengambil keputusan buat anak karena dianggapnya anak belum tahu apa-apa. Padahal, sejak kecil anak justru harus dilatih memilih sendiri karena merupakan bekal dalam mengambil keputusan penting saat dewasa kelak.
Jadi, Bu-Pak, bila si kecil tak pernah dilatih memilih sendiri, kelak ia akan sulit dalam mengambil keputusan-keputusan yang lebih besar. Soalnya, tutur dra. Betty DK Zakianto, MPsi., ia tak pernah merasa yakin dengan kemampuannya, ragu pada dirinya, dan tak pernah bisa mengambil inisiatif. "Penghargaan pada dirinya jadi kurang karena ia tak yakin dirinya sebenarnya mampu."
Tentunya keadaan demikian akan mempengaruhi kariernya kelak. Bila di tempat kerjanya nanti ia mempunyai bos yang bisa memahaminya, sih, enggak masalah; tapi kalau ia ketemu atasan yang menuntutnya harus bisa mengambil keputusan dengan cepat, maka keadaan ini akan mempengaruhi prestasi kerjanya.
Bisa-bisa ia tak pernah dipromosikan untuk menduduki jenjang karier lebih tinggi, sehingga kariernya pun tak berkembang. Dalam pergaulan dengan teman-teman, ia akan selalu mengekor pendapat temannya terus, tak pernah berinisiatif secara spontan; apa-apa terserah pendapatnya.
"Kalau terus-menerus begitu, teman-temannya, kan, akhirnya juga akan jengkel; ini, kok, plinplan banget, sih." Jadi, perkembangan konsep dirinya pun akan semakin negatif karena ia selalu menganggap dirinya rendah atau kurang.
SABAR DAN SIAP MENTAL
Itulah mengapa, Betty menekankan, anak harus diajarkan dan dilatih memilih atau mengambil keputusan sendiri. Selain, kemampuan tersebut memang tak begitu saja dimiliki anak sejak lahir, melainkan harus diajarkan dan dilatih. "Orang tua harus terus-menerus mengajari dan melatihnya dalam kegiatan keseharian di rumah."
Tentu saja, ini bukan pekerjaan mudah, "dibutuhkan kesabaran tersendiri dalam membantu anak membuat keputusan atas pilihannya." Apalagi tak jarang, kala kita meminta ia memilih, mikirnya lama sekali. Selain, dibutuhkan pula kesiapan mental orang tua untuk memberi kesempatan anak.
"Banyak, lo, orang tua yang tak siap, terlalu cemas, dan khawatir anaknya tak bisa membuat keputusan yang benar, sehingga akhirnya orang tualah yang membuat keputusan atas pilihan tersebut."
Ketidaksiapan orang tua juga disebabkan anggapan bahwa anak masih kecil sehingga belum tahu apa-apa, jadi belum waktunya membuat keputusan sendiri. Terlebih lagi, sejak zaman dulu, kala orang tua masih kecil pun selalu diputuskan oleh orang tuanya. Tak heran bila setelah besar dan punya anak, hal itu pula yang dilakukannya pada sang anak.
Tak jarang pula, sikap orang tua sebagai pengambil keputusan bagi anak didasari oleh harapannya. "Orang tua mengharapkan apa yang ia inginkan akan dilakukan oleh anaknya," tambah dosen pada Fakultas Psikologi UI ini.Padahal, orang tua seharusnya sadar dan bisa mengendalikan diri bahwa anaknya bukanlah dirinya.
MELALUI KEGIATAN SEHARI-HARI
Sebenarnya, melatih anak memilih sendiri sudah bisa dimulai saat anak mulai bisa diajak bicara. Tapi, toh, belumlah terlambat jika Ibu-Bapak baru memulainya sekarang kala anak berusia prasekolah. Nah, untuk memulainya harus dimulai dari bagaimana orang tua membentuk kepribadian anak.
Menurut Betty, kita melatih anak agar mampu memilih sendiri berkaitan dengan melatihnya mengambil keputusan besar kelak dan pembentukan konsep dirinya. "Jadi, untuk membentuk pribadi yang lebih positif; bagaimana ia bisa menerima dirinya dan menghargai apa yang ada dalam dirinya."
Disamping tentunya melatih anak memikirkan sesuatu, mengajak ia memahami situasi dan hal-hal di sekelingnya. Misal, saya harus pergi ke "sekolah", maka baju mana yang pas untuk itu. Adapun cara melatihnya melalui kegiatan sehari-hari di rumah karena anak memerlukan pengalaman yang diperoleh dari kegiatan terus-menerus dalam kesehariannya.
"Mulailah dari hal-hal sederhana dulu seperti memilih baju, makanan, atau mainannya." Minta ia memilih apa yang hendak dimakannya untuk sarapan, misal, apakah nasi goreng atau roti dengan selai. Atau, kala jalan-jalan ke toko buku, minta ia memilih buku yang hendak dibelinya, dan sebagainya. Selain itu, "bisa juga dengan sering mengajak anak melakukan permainan yang ada kaitannya dalam pengambilan keputusan." Misal, permainan ular tangga dan catur yang membuatnya harus memilih langkah mana yang harus diambilnya.
ASAL TAK BERBAHAYA
Kendati demikian, bukan dalam segala hal anak harus dilatih memilih dan mengambil keputusan sendiri. Untuk hal-hal tertentu, terutama yang kompleks dan sulit, tentulah ia masih tetap memerlukan kebijaksanaan dan keputusan terbaik dari orang tua. Misal, memilih "sekolah".
Anak usia ini, kan, belum saatnya diminta memilih sendiri "sekolah"nya. Lain hal kalau ia sudah remaja. Jadi, Bu-Pak, sepanjang masalahnya sederhana dan sesuai porsi anak, biarkanlah ia memilih dan memutuskannya sendiri. Dengan begitu, Bapak-Ibu memberinya kesempatan untuk pengembangan kepribadiannya. Yang penting diperhatikan, pilihan tersebut berbahaya atau tidak.
Misal, memilih mainan yang tajam sehingga bisa melukainya, "tentu orang tua tak boleh membiarkan; menjadi hak prerogatif orang tua untuk melarangnya." Tapi jika pilihannya tak berbahaya, ya, biarkan saja. Dalam bahasa lain, orang tua pun harus yakin bahwa pilihan yang dibuat anak adalah sesuatu yang positif atau tak berbahaya bagi anak. Yang paling baik lagi bila orang tua juga menanyakan alasan ia memilihnya dan menghargai alasannya itu. Misal, "Kenapa Kakak memilih mainan ini? Menurut Kakak, apanya, sih, yang bagus? Apa karena manik-maniknya atau warnanya terang?" Dengan demikian, anak akan lebih merasa bangga dan percaya diri bahwa orang tuanya menghargai pilihannya, sehingga konsep dirinya pun berkembang positif.
Indah Mulatsih.