3. Jangan menunjukkan reaksi berlebihan.
Sekali lagi, pahami bahwa remaja tengah mengalami aneka perubahan dalam waktu yang bersamaan. Harap dimaklumi betapa sulitnya remaja melakukan berbagai penyesuaian saat emosi mereka sendiri terombang-ambing sedemikian rupa. Emosi mereka jadi mudah tersulut dan gampang meledak-ledak.
Mereka butuh waktu untuk mulai belajar memilah-milah segala persoalan menggunakan nalarnya. Di saat intens mengalami perasaan yang bergolak, anak jadi lebih sering menunjukkan reaksi berlebihan di saat mereka anggap orang tuanya kesal atau marah. Kalau Anda mengalami hal serupa, cobalah kiat-kiat berikut.
Menghitunglah setidaknya sampai hitungan ketiga sebelum Anda angkat bicara atau membalas reaksinya yang meledak-ledak. Selanjutnya bicaralah dengan penuh kehati-hatian agar tidak ada yang terluka hatinya.
Tetaplah bersikap tenang. Ambil napas dalam-dalam dan lakukan secara perlahan.
Lambatkan langkah dan gerak-gerik Anda sertai hargai suasana penuh ketenangan. Ingat, remaja sebetulnya juga amat membutuhkan waktu untuk berproses.
Turunkan nada suara Anda dan bukan malah meninggikannya.
Klarifikasikan berbagai emosi yang tengah Anda rasakan. Riset menunjukkan bahwa remaja mengalami kesulitan saat dituntut untuk mengidentifikasi emosi. Hingga jangan heran kalau mereka sering salah menginterpretasikan kelelahan atau kekecewaan yang dialami orangtua dengan kemarahan. Jadi, biarkan anak tahu apa yang sebenarnya Anda rasakan.
Tahan lidah Anda. Tak ada yang mampu membuat remaja (atau siapa pun) lebih cepat berputar haluan ketimbang lontaran kritik pedas maupun komentar-komentar yang bernada menghakimi.
Ambil waktu sejenak. Tak perlu malu untuk mengatakan, "Mama/Papa perlu waktu untuk memikirkannya."
4. Lalui "perang" dengan sikap bijak dan hati-hati.
Pada dasarnya di masa ini remaja akan lebih mudah menunjukkan sikap menentang dan mengingat-ingat segala hal yang mereka anggap tidak adil. Mereka tak segan-segan beradu argumentasi untuk memperlihatkan siapa jati diri mereka.