Toleransi GlukosaDi usia 40 tahun ke atas, pria lebih rentan terhadap penyakit degeneratif dan penyakit yang berhubungan dengan gangguan metabolisme, seperti diabetes, hipertensi, dan kolesterol tinggi.
Pemeriksaan yang dilakukan di usia ini biasanya termasuk pemeriksaan toleransi glukosa, selain pemeriksaan standar seperti disebut di atas. "Tes toleransi glukosa ini untuk melihat respon kelenjar pencernaan terhadap adaptasi gula (karbohidrat) yang kita asup," kata Dr. Abdul Haris Tri Prasetyo, Sp. PD.
Misalnya, pada orang normal, setelah makan sejam pertama, kadar gula harus bisa menyesuaikan dengan nilai normal. "Makan sepiring nasi, sejam berikutnya dicek, angkanya berapa. Misalnya diperoleh angka 160, padahal normalnya 140. Ini artinya toleransi terhadap karbohidrat atau glukosa mulai terganggu. Nah, di jam kedua dicek lagi. Jika angkanya naik, padahal harusnya turun, ini warning bahwa respons terhadap karbohidrat mulai menurun," jelasnya.
Pada kondisi begini, pasien harus mulai mengubah pola hidupnya. Misalnya makanan harus mulai dibatasi, mengurangi makanan yang manis-manis, menambah porsi olahraga, dan sebagainya. Selain toleransi glukosa, bagus juga dilakukan treadmill untuk melihat respon jantung terhadap aktivitas fisik.
Di usia 50 tahun, selain sejumlah pemeriksaan di atas, pemeriksaan lain yang diperlukan adalah pemeriksaan prostat. Selain pemeriksaan prostat, jantung juga perlu diperiksa lebih jauh.
Bila perlu, treadmill ditambah dan dilakukan echocardiography. Jika ada yang terasa tak nyaman di daerah dada, bisa dilakukan kateterisasi jantung. Pemeriksaan di usia 50-60 tahun idealnya juga dilakukan setahun sekali.
Di usia 60, pemeriksaan MCU-nya masih sama. Biasanya lebih banyak ke arah kardiovaskuler. "Nilainya juga sudah berubah. Di usia lanjut harus lebih hati-hati. Kalau perlu dilakukan scanning kepala," kata Abdul Haris.
Risiko SendiriHasil MCU kemudian akan dibaca oleh dokter dan didiskusikan dengan pasien. "Pasien berhak dan wajib tahu. MCU ini, kan, semacam rapor kesehatan. Enggak cuma yang nilainya jelek, yang bagus pun harus di-share. Dokter harus memberi tahu apapun hasilnya," kata Abdul Haris. Setelah itu, pasien harus menindaklanjuti sesuai hasil.
"Misalnya, olahraga teratur minimal 3 kali seminggu, makan makanan bergizi secara teratur, perbanyak konsumsi serat. Jangan lupa istirahat cukup dan pola hidup sebaiknya tidak berlebihan," lanjutnya.
Pada pria, di Jakarta khususnya, masalah kesehatan yang muncul kebanyakan adalah kolesterol tinggi. "Ini karena kita jarang berolahraga, waktu habis di jalan. Berangkat pagi pulang malam, makan pun nggak karuan," lanjutnya
Banyak terjadi, usai MCU dan dirujuk untuk tes ulang atau penanganan lanjutan, orang malas datang dengan beragam alasan, dari belum punya waktu luang hingga takut mengidap penyakit tertentu.
Prinsipnya, papar Abdul Haris, bila ada kondisi anomali (kelainan), ya harus dibenahin. Jika pasien tidak bersedia, itu akan menjadi risiko sendiri. Risiko yang dihadapi pun ternyata tak bisa dianggap sepele.
Contohnya diabetes. "Kalau hasil chek up jelek, harus dibenahin. Pasalnya, diabetes bisa komplikasi ke mana-mana. Bisa ke mata, jantung, otak, ginjal, kaki, saraf, pokoknya semua organ bisa kena," papar Abdul Haris.
Hasto Prianggoro