Ingin Bertahan Walau Suami Semena-mena

By nova.id, Senin, 18 Januari 2010 | 00:26 WIB
Ingin Bertahan Walau Suami Semena mena (nova.id)

Ibu Rieny yang terhormat, Saya ibu rumah tangga (30) bersuamikan seorang pria berusia 37 tahun, sulung dari lima bersaudara. Kami punya seorang anak yang ikut mertua di kota lain. Kami memulai rumah tangga dalam suasana serba prihatin. Seiring berjalannya waktu, kami bisa membeli rumah dan mobil. Suami selalu mendahulukan kepentingan adik­adik dan keluarganya. Ia menghabiskan hampir separuh isi harta yang kami miliki untuk membuka sebuah toko, yang kemudian diberikan secara cuma­cuma pada adik lelakinya yang baru menikah. Setahun kemudian, suami membeli tanah dan membangun rumah yang cukup mewah untuk ibu dan adik­adiknya yang belum menikah. Herannya, kepada ibu dan adik­adik saya, suami tidak pernah peduli, Bu. Dalam kondisi keuangan yang masih morat­marit, suami mulai selingkuh, judi, dan mabuk­mabukan. Ia pernah selingkuh dengan wanita yang statusnya istri dan ibu dua orang putra, bahkan mereka berencana menikah namun gagal, karena si wanita lebih mempertahankan rumah tangganya. Lalu, dengan seorang pramuniaga kafe, dan seorang anak SMU (mungkin masih berhubungan sampai kini). Saya pernah memergoki suami menghubunginya melalui HP. Akibatnya, saya tidak diizinkan menyentuh HP-nya lagi. Ia selalu membawanya kemana pun pergi, bahkan saat pergi mandi sekali pun. Saya tidak punya keberanian untuk melawan atau sekadar minta penjelasan, karena semua keputusan ada di tangan suami. Selama sembilan tahun perkawinan, entah sudah berapa kali suami menghabiskan harta untuk memuaskan hobi judinya. Suami selalu menjual mobil dan meninggalkan utang. Sempat memang, semua utang dapat dilunasi dan mobil dibeli lagi, tapi hanya berlangsung sebentar. Selanjutnya, ia berjudi lagi, utang lagi, menjual mobil lagi (sudah 3 mobil yang dijual), sampai puncaknya saya merasa tidak sanggup lagi menjadi sapi perah untuk menutupi hutang­hutangnya, sementara toko sangat sepi. Ibu pasti bingung, kenapa ya, ada seorang manusia yang bodoh seperti saya. Bisanya cuma diam dan menangis, tanpa berusaha membicarakannya dengan suami. Sebetulnya, pernah saya coba bicarakan baik­baik, tetapi suami bilang saya tidak berhak melarang semua kegiatan dan hobinya, karena ibu yang melahirkannya pun tidak melarangnya. Ia bohong, Bu. Dulu, ibu mertua selalu menegur dan menasihatinya, tapi sekarang tidak lagi karena saya larang. Pasalnya, begitu ibu mertua meletakkan telepon di seberang, maka sayalah yang bakal menjadi sasaran kemarahan suami. Jika marah, suami tidak mau menegur saya. Awalnya, saya tidak tahan didiamkan seperti itu. Tetapi, karena sudah terlampau sering, saya pun jadi terbiasa. Bahkan pernah, kami saling diam selama hampir tiga bulan, tidur pun di kamar terpisah. Hubungan suami-istri sangat jarang kami lakukan. Tapi, jauh di lubuk hati, dalam setiap doa saya selalu mohon agar suami segera menyadari semua kesalahannya dan bertobat. Bu, dulu suami sangat memanjakan dan menyayangi saya. Saya berharap, kami dapat memulai semuanya dari awal lagi. Apakah ini mungkin tercapai? Tolong berikan jalan keluarnya, ya Bu. Terimakasih. Ibu sedih di X

Bu Sedih yang terhormat, Benar sekali kalau Anda bayangkan saya bertanya-tanya, "Apa ya yang menyebabkan Anda bertahan dalam perkawinan ini?" tetapi tentu saja Anda tidak perlu terlalu pusing memikirkan bagaimana pendapat orang lain tentang gaya perkawinan Anda, karena toh Anda yang menjalaninya, bukan? Ini hidup Anda, jadi Anda berhak penuh untuk menentukan apakah akan mempertahankan atau tidak meneruskan perkawinan Anda. Masalah baru akan timbul kalau Anda sendiri juga heran, kenapa kok Anda tetap bertahan dalam perkawinan yang, kalau cerita Anda ini benar, sudah tak ada apa-apa lagi yang bisa dikatakan enaknya, nikmatnya atau positifnya, kecuali kenangan masa lalu ketika ia belum terkena wabah-wabah meresahkan ini. Kenapa saya katakan demikian? Karena, kalau Anda saja tidak tahu kenapa Anda melakukan suatu tindakan tertentu, atau tidak melakukan hal tertentu, inilah waktunya Anda untuk duduk dan bertanya serius pada diri sendiri: Apa sebenarnya yang aku mau dari sebuah perkawinan? Bukankah hampir semua yang kita lakukan di dunia ini adalah untuk memenuhi kebutuhan yang kita rasakan? Kenapa kita minum? Karena haus. Kenapa makan, karena lapar. Mudah sekali jawabannya, karena ini 'cuma' menyangkut kebutuhan fisik. Tetapi, kalau kita sudah bicara perkawinan, maka ini adalah sebuah kebutuhan psikologis, yang muncul karena manusia tak mungkin bisa memenuhi kebutuhannya seorang diri! Dan kalau sudah bicara tentang sesuatu yang psikologis sifatnya, tidak bisa tidak, unsur subyektivisme pasti masuk. Satu orang dengan orang lain akan punya perasaan yang berbeda tentang hal yang sama, demikian pula dengan sebuah perkawinan. Kenapa saya menikah, jawabannya pasti tidak 100 persen sama dengan jawaban yang Bu Sedih berikan bila ditanyai pertanyaan yang sama, bukan? Nah, makin kenal kita akan kebutuhan kita, biasanya akan makin besar pula peluang kita untuk berhasil menerima kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam perkawinan kita. Sungguhpun manusia memang unik dan berbeda, munculnya perasaan tentang kebutuhan-kebutuhan diri tentu tumbuh dan berkembang seiring dengan kehidupan itu sendiri. Faktor lingkungan di mana kita dibesarkan, tingkat pendidikan dan pengalaman yang kita punyai, akan sangat mempengaruhi bagaimana kita mengerti, menghayati dan akhirnya menjabarkannya dalam perilaku untuk mencapainya. Cara kita belajar yang paling mudah tentu adalah dengan meniru. Kalau orang tua punya pola perkawinan tertentu, kita kemudian punya gambaran di benak kita untuk menirunya. Sikap Ibu terhadap Ayah misalnya, kemudian, karena terdidik di bangku sekolah, kita lalu bisa melihat: "Ah, yang ini enggak aku tiru ah, karena dampaknya tidak baik," misalnya. Bisa juga ada acuan lain yang kita peroleh dari bacaan, film, ataupun di keluarga teman dan kenalan kita. Nah, Anda tentu juga punya sebuah pola tentang perkawinan, bukan? Bagaimana gambarannya? Apa yang perlu diperlihatkan dan dilakukan seorang suami untuk dapat dikatakan "baik" oleh seorang istri? Biasanya, selain acuan di atas, kita mencari tahu pula bagaimana sih profil pola keinginan kebanyakan orang tentang perkawinannya? Nah, dari pengalaman selama ini, kebanyakan perempuan ingin terpenuhinya perasaan AMAN dalam perkawinannya. Beda benar dengan yang laki-laki biasanya inginkan, yaitu rasa NYAMAN . Perasaan aman sendiri perwujudannya bisa berbeda-beda untuk setiap orang, dan ini pun biasanya dipengaruhi oleh bagaimana situasi keluarga tempat ia dibesarkan. Seorang anak yang hidup dalam rumahtangga serba naik­turun dalam susah dan senang karena ayahnya yang pedagang selalu untung dan rugi dalam skala besar, akan punya "mimpi" tentang rasa aman dalam wujud, "Biar deh penghasilan tidak sebesar Papa kalau sedang untung, yang penting ada penghasilan tetap." Karenanya, ia lebih memilih seorang pegawai ketimbang pedagang, karena pegawai ada gajinya. Anak yang besar dalam keluarga dimana ibunya selalu mengalah, melindungi ayah dan membiarkan ayah berperilaku sekehendak dirinya, mudah sekali merasa "tertantang" oleh sosok yang menyerupai ayahnya ini. "Kalau dulu ibuku bisa, kenapa saya tidak bisa?" Nah, mengenali hal-hal ini dalam hidup kita amatlah penting, karena acuan-acuan di dalam benak kita inilah yang perannya sangat penting bagi proses pengambilan keputusan kita tentang peristiwa penting dalam kehidupan, termasuk mengenai perkawinan. Bu Sedih, untuk netral-nya, mari kita pakai saja kriteria sebuah perkawinan yang didambakan banyak perempuan, yaitu yang bisa memberi rasa aman. Apakah Anda merasa "aman" kalau bangun tidur sudah harus berpikir, berapa ya omzet toko-ku hari ini? Berapa pula harus disisihkan untuk membayar utang si Koko? Apakah Anda bisa merasa aman bila tahu pasti bahwa suami bisa semena-mena memperoleh kebutuhan seksnya, sementara Anda disentuh pun tidak. Adakah rasa aman yang bisa diperoleh dari sosok yang tidak bisa kita percayai kemampuannya memimpin rumah tangga? Ketika sudah mendapatkan bukti-bukti pendukung jawaban kita, biasanya keraguan terbesar untuk membuat keputusan, apakah semua ini layak dilanjutkan atau tidak, muncul dari 3 hal, yaitu tak tahu harus mulai dari mana, rasa takut akan perubahan status, dan takut situasi dan kondisi malah akan makin buruk dari sebelumnya, kalau membuat keputusan yang salah! Harus mulai dari mana? Tentu saja dari diri sendiri, karena perkawinan melibatkan dua orang. Suami harus mau tahu (saya ulangi harus mau tahu, bukan sekadar tahu saja!) bagaimana perasaan Anda sebagai dampak dari perbuatannya. Di sini, Anda butuh keberanian untuk mempertanyakan HAK Anda untuk memperoleh rasa AMAN dan juga NYAMAN dari suami. Bukan dia saja yang boleh mengumbar nafsunya, kan? Nafsu berjudi, berselingkuh dan nafsu untuk melecehkan Anda sebagai istrinya! Yang kedua, perubahan status. Taruhlah Anda memutuskan untuk bercerai, banyak perempuan yang berada di titik ini lalu mundur kembali karena tak kuat membayangkan: "Aduh jadi janda ngeri, ya?" Padahal, lingkungan terdekat pasti tahu persis kenapa Anda membuat keputusan ini, bukan? Apalagi mereka yang terkait dengan hutang-hutang suami. Tanpa Anda memasang "iklan" pun, orang sudah tahu bahwa bercerai adalah keputusan yang Anda ambil karena suami memang tak bisa menjalankan perannya sebagai suami yang bertanggung jawab! Yang ketiga, bagaimana kalau keputusannya salah? Coba perhatikan kehidupan orang-orang besar atau sosok yang bahagia di dalam perkawinanya, Bu Sedih. Mereka bukanlah orang yang tak pernah dilanda masalah, tetapi yang membuat mereka berbeda sebenarnya 2 hal saja. Yang pertama, mereka tidak muluk-muluk amat menghadapi kehidupan, sehingga mereka sadar bahwa lebih penting melakukan daripada melakukan dengan baik. Ini sama sekali bukan berarti kita boleh melakukan sesuatu secara asal-asalan. Sebaliknya, kalimat ini hendak mengajarkan pada kita untuk memulai saja sesuatu yang sudah menjadi keputusan dan tidak perlu menunggu sampai kita benar-benar dapat melakukannya dengan baik, karena saat kita putuskan untuk melakukannya, proses belajar akan berlangsung dan kita pun makin lama akan makin baik melakukannya. Tegaslah pada suami, tak usah menunggu harus bisa bicara segalak ibu tiri yang ada di sinetron yang memakai peri-perian itu! Sekali Anda coba dan ada hasilnya (walaupun mungkin belum sebesar yang diharapkan), maka ini akan membuat Anda yakin bahwa Anda dapat melakukannya, dan mencoba lebih tegas lagi. Yang kedua adalah akan lebih baik melakukan sesuatu walaupun hasilnya tak kita ketahui secara pasti, ketimbang tidak melakukannya sama sekali. Ketika kita mencoba, barulah kita berpeluang untuk tahu apakah hasilnya seperti yang diinginkan atau tidak. Selama kita hanya berandai-andai saja di dalam benak, tak ada jaminan bahwa apa yang kita pikirkan itu benar adanya! Karena itulah, bila menyangkut hal yang penting dalam kehidupan, kita justru perlu berpikir, keputusan seperti apa yang dampaknya permanen alias sukar diubah, dan mana yang bisa makin lama makin memperbaiki apa-apa yang harus diperbaiki. Langsung bercerai misalnya, bukanlah sesuatu yang bijaksana bila kita lakukan tanpa upaya apa-apa. Bicara baik-baik tentang perasaan Anda, bersikap lebih tegas, mulai menyisihkan uang untuk dana pribadi dan kebutuhan anak, serta kalau perlu tak usah membeli barang-barang yang berpeluang untuk dijual atau digadaikan dengan mudah, ini semua perlu dilakukan walau belum tentu hasilnya akan membuat perkawinan bertahan. Paling tidak, kalau kelak toh harus bercerai, Anda sudah "puas" karena ikhtiar sudah maksimal. Mudah-mudahan Anda makin bisa mengenali kebutuhan Anda tentang sebuah perkawinan sekarang ini, dan tak takut untuk memulai, apa pun itu, asalkan tetap ditujukan untuk mempertahankan hak Anda, rasa aman Anda, serta rasa nyaman Anda dalam ikatan perkawinan ini. Mulailah Bu, sekarang juga, dan dari diri sendiri dulu! Mudah-mudahan dengan ditambah kekuatan doa Anda, Tuhan segera menurunkan jawaban atas semua yang Anda minta padaNya. Amin.