Suami Pisahkan Dari Si Buah Hati

By nova.id, Senin, 19 Oktober 2009 | 00:13 WIB
Suami Pisahkan Dari Si Buah Hati (nova.id)

Bu Rieny yang terhormat, Saya ibu dari 2 orang anak, laki­laki 4 tahun dan perempuan 3 tahun. Saya menikah di usia yang sangat muda, karena kecelakaan (married by accident, MBA). Dari dulu, orang tua saya menentang hubungan kami, terutama ibu saya. Pasalnya, kami beda keyakinan, dan menurut Ibu, suami tidak punya tata krama, orangnya seenaknya sendiri. Setelah menikah, saya dan suami sering sekali bertengkar, nyaris setiap bertemu kami pasti bertengkar. Suami selalu curiga tanpa alasan jelas. Kami memang tinggal berjauhan, Bu, dia di Jakarta dengan orang tuanya dan saya di kota X dengan orang tua saya juga, sehingga kepercayaan di antara kami sangat kurang. Pada suatu hari, kami bertengkar hebat. Tak lama, anak pertama dia bawa pergi. Katanya, sekadar mau diajak jalan­jalan, tapi nyatanya dia bawa pergi tanpa pamit dan izin saya. Hati saya sakit, pedih, sedih, marah pokoknya campur-aduk. Bagaimana tidak, anak yang sudah terbiasa dengan saya, tiba­tiba harus berpisah. Ibu saya lebih sedih lagi, karena anak itu sangat dekat dengan beliau. Setelah kejadian itu, saya mencoba menghubungi suami secara baik­baik, meski hati saya masih jengkel dan sakit hati. Saya mengalah, meminta maaf dan meminta dia bicara baik­baik sambil membawa anak saya ke kota X. Namun, suami ngotot tetap ingin anak saya ikut dia. Intinya dia tetap tidak mau diajak bicara baik­baik, malah saya yang disuruh datang ke Jakarta. Akhirnya, saya mencoba mengalah dan bersabar. Saya berangkat ke Jakarta. Ibu mertua yang pada awal pertemuan masih biasa-biasa saja, belakangan menuduh saya main dukun. Saya dicaci-maki dan dikatai yang tidak­tidak di depan saudara­saudara saya. Kami semua tidak diberi waktu sedikit pun untuk bicara, karena ibu mertua memaki saya tanpa henti. Malah, suami menantang saya untuk bercerai dan mau lapor polisi segala. Saat itu juga, anak saya dibawa lari keluar. Saya coba mengejar, namun di depan pintu, ibu mertua sudah menghadang sambil coba mendorong dan mencegah sampai saya terjatuh ke selokan. Kancing baju saya sampai lepas semua. Malu sekali rasanya, Bu. Mereka tidak punya rasa kasihan sedikit pun, meski mereka tahu saya ingin bertemu dan memeluk anak saya. Saya menangis sejadi­jadinya, namun mereka tetap tak peduli. Semenjak kejadian itu, saya tak patah semangat. Saya coba telepon untuk bertemu anak saya, tapi selalu gagal karena saya tidak diperbolehkan bicara dengan anak saya. Alangkah sakitnya hati ini, Bu. Suatu hari, suami telepon, dan saya mencoba bicara baik­baik, memohon agar anak saya di bawa ke kota X. Namun, dia malah mengatakan, "Yang pengangguran saja ke sini, emangnya saya pengangguran." Coba, Bu, bagaimana dia bisa bicara demikian tanpa merasa bahwa selama ini sayalah yang mengurus dan memberi nafkah ke-2 anak saya. Sepeser pun ia tak keluar duit. Dia juga bilang, kalau nanti dibawa ke kota X, pasti tidak boleh dibawa lagi, karena adat istiadat di rumah saya memang begitu. Pertanyaan saya, apakah anak saya masih ingat saya dan keluarga di kota X ya Bu, mengingat tidak ada komunikasi dan pertemuan di antara kami. Bagaimana agar saya bisa mendapatkan anak saya lagi? Rasanya saya tak rela dia ikut keluarga ayahnya di Jakarta. Ibu mertua saya itu tidak baik menurut saya. Saya takut perkembangan anak saya seperti neneknya, yang kalau marah seperti hilang akal dan hobi melontarkan kata-kata kotor. Sebenarnya saya ingin cerai, tapi saya harus mengurus hak perwalian anak ke Pengadilan Negeri Jakarta, dan itu butuh banyak biaya, selain berdampak buruk pada psikologis anak saya nantinya. Anak saya sudah memasuki usia sekolah. Apakah kalau belum punya Akte Kelahiran dia bisa sekolah? Karena selama ini suami tak pernah mengurus Akte Kelahiran, padahal saya sudah suruh mengurus. Apakah Akte Kelahiran bisa dibuat/dipalsukan tanpa sepengetahuan saya? Apakah perkawinan saya ini sudah bisa dianggap sah, karena hanya dilakukan di gereja katolik, belum di kantor Catatan Sipil. Walaupun saya terus meminta, tapi ibunya malah mengatakan, "Ngurus di Kantor Catatan Sipil itu ribet dan sulit." Itulah juga yang membuat suami tak pernah mengurus di Kantor Catatan Sipil. Tolong bantu saya Bu, agar semua masalah lekas rampung dan anak saya bisa kembali pada saya, serta status saya pun jelas. Terima kasih. Ibu Muda di X

Ibu muda yang terhormat, Saya punya seorang kenalan yang pernah bersuamikan seorang pejabat. Saya katakan pejabat, karena di propinsinya, suaminyalah orang pertama di perusahaan tempatnya bekerja. Maka, tidak heran bila lingkup pergaulannya pun orang-orang penting di sana. Sementara, ia sendiri juga memiliki profesi, tidak usah saya sebutkan di sini, tetapi terhormat, walau gajinya sedikit dan tentu saja berbeda benar dengan gemerlap dunia saat ia menjadi "nyonya pejabat." Pekerjaan ini tidak pernah ia lepaskan karena ia tidak mengejar materi yang sedikit itu, melainkan kepuasan bila bisa membuat dirinya bermanfaat untuk orang lain. Setelah usia perkawinan yang ke-5, ia memutuskan untuk mengadopsi anak, karena ia tak kunjung hamil. Nah, setelah ada anak itulah, suaminya mulai aneh dan makin lama makin semena-mena memperlakukan dirinya, bahkan akhirnya terbiasa memukul. Ia selalu menyalahkan si istri yang menurutnya mandul, sementara bila diajak ke dokter selalu menolak. Ketika anaknya duduk di bangku SD, teman ini memutuskan untuk bercerai karena ternyata suaminya sudah menikah di bawah tangan dan punya anak dengan wanita lain. Perceraian ini ditentang keras oleh suami, keluarga kedua belah pihak, maupun teman-teman dekat pasangan ini karena tentu akan menjatuhkan "gengsi" mereka. Akan tetapi, ia memutuskan tetap bercerai, dan dengan kekuasaannya, suami bisa membuat pengadilan tidak menjadikannya berhak mengasuh anaknya. Dari sisi ekonomi, jelas ia tidak bisa menyaingi suami, dan entahlah rekayasa apalagi yang dibuat saat itu, tetapi ia bersikukuh, cerai! Benar-benar ia tidak diizinkan berhubungan dengan anaknya, dan ketika ia pamit pada anaknya, si anak yang memang amat cerdas sudah mempertanyakan: "Mengapa Mama membiarkan saya dengan Papa saja? Saya, kan, lebih ingin ikut Mama?" Saat itu, ia memberi penjelasan yang tentu saja tak sepenuhnya bisa diterima si anak, bahkan si anak kemudian percaya bahwa ibunya memang tega meninggalkan dirinya. Ini yang mau saya sampaikan pada Anda, Ibu muda, karena teman ini berpendapat bahwa bila ia bertahan mengambil anak ini, ia toh tidak bisa memberikan lingkungan tumbuh-kembang yang baik untuk anaknya, karena ayahnya yang ringan mulut dan tangan itu. Sementara, terhadap si anak, ayahnya sangat luar biasa sayangnya. Akan tetapi, agar ia selalu bertemu dengan anaknya, ia putuskan untuk paling sedikit 2 kali seminggu berdiri di depan sekolah anaknya, membuat anaknya tahu bahwa ibunya ada di seberang jalan, memerhatikan dirinya. Sekuat tenaga ia menahan diri untuk tidak mendatangi si anak, apalagi memberinya makanan atau apa saja, karena kalau ini ia lakukan, mantan suaminya pernah mengancam akan memindahkan anaknya dari sekolah itu. Mendekati ujian SD, pada tahun ke-4 ia cuma menonton anaknya di tepi jalan, anak itu tiba-tiba menghampiri dirinya dan memeluk erat-erat dirinya sambil mengatakan bahwa setelah tamat, ia ingin ikut ibunya, karena ia sekarang tahu bahwa ibunya benar-benar sayang padanya. Si anak bilang ia selalu menantikan hari di saat ibunya menanti di seberang jalan. Apa kata teman saya? Dia mengatakan, jangan lakukan apa yang ayahmu tak suka, karena kalau kau dihukum, Mama tak ada di sana untuk membelamu. Tetaplah bersama Ayah, yang penting kau tahu Mama sangat menyayangimu. Dengan tegar ia mengatakan hal yang sebenarnya jauuuuh dari apa yang ada di dalam hatinya, karena kata dia pada saya, ia paham benar bahwa dengan kelebihan harta ayahnya dan kekuasaan yang ada padanya, anak ini punya peluang belajar yang lebih baik ketimbang kalau anak ini hidup dengan dia yang serba pas-pasaan itu. Kini, si anak sudah mahasiswa dan pendidikan rupanya mengajarkannya untuk makin berani berpendapat, sementara adik tirinya yang cukup banyak membuat ayahnya tidak terlalu keras lagi terhadap keinginan anak ini untuk bersama ibunya. Di waktu-waktu tertentu, ia sudah boleh tinggal di rumah ibunya untuk beberapa hari, dan teman saya ini amat bahagia. Penderitaannya untuk benar-benar tidak menjamah anaknya yang bisa membuat suaminya "nekad" memutuskan sama sekali peluangnya untuk melihat anaknya, kini berbuah manis. Tahukah Ibu Muda bahwa teman saya ini amat yakin anaknya akan datang mencari dirinya, karena di setiap pertemuan maupun ketika ia berdoa usai sembahyang, ia selalu menghadirkan anaknya di hatinya dan membisikkan bahwa "Mama sangat sayang padamu." Ia percaya dengan seluruh keyakinannya bahwa bila kita mengikrarkan cinta dan kasih sayang pada anak dengan tulus dan jujur, maka getar-getar cinta ini pun akan tertangkap dan terasakan oleh si anak. Mungkin Anda akan bilang, kok, sabar amat, sih? Menurut saya, inilah yang dinamakan taktik untuk meraih kemenangan dan bukan sekadar untuk berkonfrontasi dengan sosok yang jelas-jelas punya uang dan kekuasaan untuk meluluhlantakkan seorang ibu yang tidak berdaya. Lebih penting lagi, ia juga sudah lama sekali memaafkan suaminya yang dianggapnya tidak pernah berkembang kedewasaannya dalam mengekpresikan cinta dan komitmen, karena belakangan ia tahu bahwa mantannya itu tak pernah tidak punya selingkuhan. Saya ceritakan ini pada Anda untuk menunjukkan bahwa bila kita tahu apa yang kita mau, maka langkah-langkah berikutnya dalam hidup dapat kita tata untuk mencapai apa yang kita inginkan tadi. Dan bukan "gebrakan-gebrakan seketika" yang hanya menghasilkan rasa sakit hati dan dilecehkan orang lain saja. Bu Muda, kasus Anda harus saya katakan dengan jujur, jauh lebih kompleks daripada teman saya tadi. Apa agama Anda kini? Apakah tetap seperti suami, atau dulu Anda hanya sekadar ingin mendapatkan status sebagai istri saja, karena telanjur hamil? Saya anjurkan Anda datang ke pemuka agama yang dianut suami, di kota Anda saja, dan tanyakan bagaimana hukum agamanya menjelaskan kedudukan Anda dan anak Anda. Kalau di Islam, saya tahu bahwa Penghulu di KUA sudah otomatis berfungsi sebagai pencatat perkawinan kita sehingga secara hukum, ini diakui oleh negara. Tanyakan, bagaimana status Anda dan anak Anda di dalam agama yang dianut suami. Tetapi, bila Anda kini Islam (kembali), maka datanglah ke pemuka agama Islam dan tanyakan bagaimana status perkawinan Anda dengan adanya kenyataan bahwa kini Anda adalah Islam. Anak memang benar harus memiliki Akte Kelahiran untuk masuk sekolah, dan sebenarnya Anda membuang waktu kalau merisaukan apakah ia bisa memiliki Akte atau tidak. Ini, kan, Indonesia, Bu? Negara dimana kita bisa memperoleh apa saja yang kita mau asal ada uang. Saya setuju bahwa Anda perlu memperoleh kejelasan status, karena itu jangan cepat percaya pada apa kata orang atau kata suami Anda. Cari kejelasan pada pihak yang memang berwenang memberi informasi. Berhentilah menjadikan anak Anda sebagai "sarana" untuk melampiaskan rasa tak suka pada mertua ataupun suami. Fokuskan pikiran Anda pada keyakinan bahwa anak ini butuh rasa aman dan perasaan bahwa ia disayang oleh orang-orang terdekatnya, dengan demikian Anda bisa (berpura-pura) baik pada suami dan keluarganya sehingga bisalah memperoleh informasi tentang anak Anda. Perpisahan ini saja sudah memberi rasa tak nyaman pada anak, bukan? Jadi, jangan ditambah lagi-lah dengan menjadikannya "alat" untuk berseteru dengan suami and his gang. Kalau Anda bisa menahan diri untuk mencari tahu secara baik-baik, menitipkan anak pada neneknya, dan berkata-kata positif, saya, kok, percaya, lama-lama mereka akan makin tahu bahwa Anda benar-benar hanya ingin dekat dengan anak, dan bukan "merebut"nya dari suami. Bersabar, mengendalikan diri, sembari tidak lupa mengumpulkan informasi yang benar, inilah langkah awal yang harus Anda lakukan, Ibu Muda. Selanjutnya, setelah gambaran konsekuensinya jelas, baru bicarakan pada suami, apa yang Anda harapkan dari perkawinan ini. Kalau ini semua Anda lakukan, saya yakin Anda tak akan dimaki-maki dengan kata kotor, karena toh Anda tidak menghubungi mereka dengan emosi yang meluap-luap, bukan? Suasana Natal dan Tahun Baru, bukankah akan menjadi latar belakang yang tepat bagi sebuah caese fire alias gencatan senjata, dan akhirnya perdamaian dengan suami dan keluarganya? Sementara itu, jangan lupa untuk selalu membisikkan kata-kata cinta pada anak, walaupun ia tidak berada di dekat Anda. Lekatkan ia terus di hati, maka anak Anda pun pasti akan merasakan pancaran kasih sayang Mamanya. Salam sayang. ***