"Sebaiknya tak usah disesali dan saling menyalahkan, apalagi sampai berniat menggugurkannya. Terima saja dan segera lakukan adjustment. Cepat sesuaikan diri dan bikin antisipasi. Kan, tidak sekarang hamil, besok lahir. Masa kehamilan 9 bulan cukup, kok, untuk melakukan adjustment," jelas Dra. Henny Eunike Wirawan, M.Hum dari Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara, Jakarta.
Bila memang kendala utama faktor keuangan misalnya, ya mulailah mencari cara mengatur dana atau mencari tambahan penghasilan. Buka usaha di rumah, misalnya. Hal lain yang seringkali juga terjadi, istri jadi agak mengabaikan kehamilannya.
"Ini mungkin karena syoknya terlalu lama. Harus diingat, selama pasangan suami-istri aktif berhubungan seksual, kehamilan bisa terjadi kapan saja. Itulah kehidupan. Kan, enggak mungkin juga tidak berhubungan seksual. Yang penting ada plan B," saran Henny.
Jika istri terlalu lama memikirkan kehamilannya yang "sundul" ini, bisa-bisa janin di dalam kandungan akan merasa tertolak. Padahal ia tak tahu apa-apa. Ia tidak bersalah.
Janin di dalam kandungan bisa terpengaruh, karena memang ada kontak batin antara ibu dan anak. Apa yang dirasakan calon ibu bisa juga dirasakan janin di dalam kandungan.
Dari penelitian, janin usia 5 bulan sudah bisa mengingat, mendengar, dan merasakan situasi di luar kandungan. "Ia bisa merasakan perasaan ibunya. Ibunya sedih dan menangis melulu, ia bisa merasakan. Jangan salahkan anak kalau setelah lahir ia jadi anak cengeng." Berbagi TugasPembagian tugas suami-istri juga harus dikomunikasikan dan disepakati. Ini juga perlu dibicarakan sebelumnya. Apakah istri harus mengerjakan semuanya sendiri, atau perlu pembantu atau baby sitter. "Kayaknya sih, tetap harus dibantu, karena agak sulit mengurusi 2 anak sendirian," lanjut Henny.
Sebaiknya bikin daftar tugas apa saja yang harus dilakukan, lalu dibagi. Misalnya, suami membuat susu atau mengganti popok di malam hari, atau bertugas mengurusi anak pertama, sementara istri mengurusi baby baru.
"Itu sebabnya kenapa anak pertama biasanya lebih dekat ke ayah. Sebab, ketika anak kedua lahir, ayahlah yang lebih banyak merawat anak pertama. Intinya, peran suami mestinya memang harus lebih optimal."
Jika suami tak bisa banyak membantu, sebaiknya gunakan asisten, entah itu pembantu rumah tangga yang dilatih, baby sitter, atau anggota keluarga lain.
Mengomunikasikan komitmen dan kesepakatan memang perlu kebesaran hati. "Bukan berarti saat membantu urusan domestik, suami jadi lemah kedudukannya atau turun martabatnya. Tapi, ayah masa kini lebih terbuka dan bersedia mengurusi yang "lucu-lucu", kok, ketimbang ayah zaman baheula (dulu)," kata Henny.
Hasto Prianggoro