Susah Lepas Dari Mantan Pacar

By nova.id, Jumat, 2 Oktober 2009 | 03:40 WIB
Susah Lepas Dari Mantan Pacar (nova.id)

Bu Rieny yth,Saya adalah seorang ibu (usia 37 tahun) dari tiga anak (tertua 12 tahun bungsu 7 tahun). Hidup saya nyaris sempurna. Saya dan suami sama-sama lulusan S2, dan bekerja dengan penghasilan yang lebih dari cukup. Kami juga punya beberapa usaha yang memberi tambahan penghasilan yang lumayan. Saya dan suami menikah karena perjodohan. Pada saat itu orangtua kami resah karena sampai usia saya 22 tahun saya tidak memiliki pacar. Sebetulnya saya pernah berpacaran cukup lama dengan seorang lelaki, namun putus ketika saya duduk di semester 1. Sejak saat itu saya tidak pernah tertarik dengan lelaki mana pun, sampai akhirnya orangtua mencarikan jodoh untuk saya. Sejak menikah hidup saya berjalan tanpa hambatan, walaupun saya tidak pernah benar-benar mencintai suami saya seperti saya mencintai mantan pacar saya. Sampai pada suatu hari di tahun 1997 tanpa sengaja saya bertemu dengan bekas pacar saya. Sejak itu hubungan kami kian tak terpisahkan. Kedekatan kami bukan karena nafsu, tetapi perasaan saling membutuhkan. Dialah shoulder to cry on, someone to rely on (tempat mencurahkan kesedihan dan tempat bersandar). Kami berdua sudah seperti soulmate. Kebutuhan untuk tetap berhubungan sudah seperti candu yang mempengaruhi seluruh sendi kehidupan saya. Kebetulan aktivitas kami memungkinkan untuk sering bertemu. Sampai suatu saat, saya harus keluar dari pekerjaan karena mengikuti suami yang harus pindah ke J. Pada saat itu saya sudah sampai pada pemahaman bahwa hubungan kami sangat tidak masuk akal. Kami sama-sama telah menikah dan punya anak. Kami sama-sama sadar bahwa apapun yang kami lakukan, tidak akan mengembalikan keadaan seperti semula. Akhirnya kami berpisah, sambil sama-sama menguatkan. Setelah itu saya memutuskan untuk melupakan dia dan kembali sepenuhnya pada keluarga. Masa-masa itu sangat sulit saya lalui. Dua kali saya masuk rumah sakit, dengan diagnosa yang tidak jelas. Saya sangat stres. Suami sangat bingung melihat keadaan saya. Tapi ketetapan hati saya sudah bulat, saya harus melupakannya, betapapun itu sangat menyiksa saya. Masalah tidak berhenti sampai di situ. Pada tahun 2005 kembali saya secara kebetulan berkomunikasi dengan dia lagi. Ternyata 8 tahun tidak cukup bagi kami untuk melupakan perasaan ini. Cinta kami kembali bergelora. Kami tidak pernah bertemu, tetapi telepon, email, sms, berjalan dalam frekuensi yang sangat tinggi. Sungguh, Bu, untuk saat ini saya tidak sanggup lagi berpisah darinya. Meski saya bahkan tidak bisa menemukan alasan logis yang bisa membenarkan hubungan kami, tetapi setiap hari kami saling menelepon, berbagi cerita. Itu saja. Tidak ada sentuhan fisik, tidak ada gelora nafsu. Tapi kerinduan yang luar biasa, kenangan masa lalu yang tidak pernah bisa benar-benar kami lupakan. Untuk sementara ini keluarga kami sama-sama tidak tahu. Apa yang terjadi pada kami, Bu? Mengapa kami begitu sulit untuk berpisah. Begitu sulit untuk mengubah perasaan menjadi 'sahabat' saja? Kami sama-sama sadar bahwa hubungan kami sangat tidak pada tempatnya. Kami sama-sama menahan diri untuk tidak bertemu lagi, karena pasti akan membuat kami semakin sulit untuk berpisah. Tapi kadang-kadang saya berdoa agar Tuhan berkenan memberikan kesempatan kedua bagi kami. Gila, kan? Begitu sesaknya perasaan saya kalau saya ingat bahwa dialah sesungguhnya pemilik cinta saya, bukan suami saya. Bu, apakah saya sudah sakit jiwa? Apa yang harus saya lakukan? Jawaban ibu sangat saya nantikan secepatnya, agar kegilaan saya tidak semakin menjadi-jadi Ny. F - somewhere

Bu AF Yth Saya ingin berbagi sebuah pesan singkat dari salah seorang mantan peserta pelatihan saya. Ia kehilangan orangtua dan seluruh saudara-saudara kandungnya pada tsunami di Aceh. Saat bertemu, ia sedang sangat kesepian, kehilangan gairah untuk hidup apalagi untuk terus bekerja dan meneruskan studi S-2 nya. "Apa kabarBu? Alhamdulillah sekolah telah selesai. Saya ingin bersimpuh di pangkuan ibunda untuk terima kasih atas semua yang telah diberikannya dari saya kecil. Izinkan saya untuk berterima kasih pada ibu Rienysebagai ganti ibundaku yang sudah tiada." Terharu saya membacanya, kok bisa-bisanya dia menulis seperti itu, padahal sosoknya sangat kaku, bicara cuma seperlunya, dan sangat rasional dalam bersikap. Yang saya ingin Anda renungkan, bila Anda telah meninggal dunia kelak, akankah anak Anda mengingat Anda dengan penuh rasa cinta dan kerinduan untuk berbagi kegembiraan di saat-saat keberhasilan mereka, bila mereka punya pengalaman nyata bahwa ibunya mengkhianati komitmen yang telah dibuat bersama ayah mereka? Bukankah bila kita bicara perkawinan, kita bicara tentang kesediaan untuk saling mengikatkan diri menjalankan peran sebagai suami-istri dan kemudian ayah-ibu dari anak-anak kita? Katakanlah anak-anak tak mengetahui "rahasia" perselingkuhan Anda, bukankah tingkah polah Anda pasti jauh dari istri dan ibu ideal kalau di hati dan pikiran Anda yang bertahta adalah sosok laki-laki lain? Apa pula jadinya kalau rahasia ini terbongkar? Sungguh saya tak berada dalam posisi untuk memarahi Anda. Orang berpendidikan setinggi Anda biasanya sangat pandai berkelit dan mencari pembenaran atau justifikasi atas perilaku yang sebenarnya sudah amat disadari tak patut dikerjakan. Oleh sebab itu, saya ajak saja Anda berandai-andai membayangkan sebuah persitiwa dimana Tuhan sudah tak lagi memberi kesempatan bagi kita untuk menutupi aib kita, untuk membela diri ataupun membenar-benarkan hal salah yang terus saja secara sadar kita lakukan. Kenapa ini saya sampaikan pada Anda? Benar, suami adalah 'orang lain' yang kebetulan saja berjodoh dengan Anda. Apalagi, kalau itu juga hasil perjodohan. Jadi, apa dan bagaimana pandangannya tentang kita, bisa saja tak terlalu ngaruh, ataupun Anda pikirkan. Tetapi anak-anak yang Anda lahirkan? Separuh darah Anda mengalir di tubuhnya, sementara mereka juga tak pernah minta untuk Anda lahirkan Bu AF. Manusia dikaruniai kemampuan berpikir rasional, yang ditandai oleh penalaran dan logika serta kemampuan untuk menghayati perasaan, atau emosi.Terlalu banyak memakai penalaran, akan membuat kita lelah menghadapi dan menjalani hidup karena semuanya ingin kita jadikan sesuatu yang logis dan bisa diterima akal. Padahal, dalam banyak hal justru bobot emosi dalam hubungan, dalam pengalaman yang terbentuk melalui interaksi yang diwarnai oleh perasaan cinta dan kasih sayang atau malah benci, adalah hal yang memperkaya khazanah batin kita. Dan membuat kita terasah untuk makin lama makin punya kebutuhan untuk menjadi makin bijak menyikapi hidup, bukan? Nah, dalam status masalah seperti yang Anda hadapi, perselingkuhan yang terjadi kini akan terus terjadi selama Anda masih bisa berkata pada diri Anda, bahwa meskipun Anda memiliki TTM (teman tapi mesra) tetapi toh Anda tetap menjalankan perasaan sebagai istri dan ibu dengan baik. Di sini rasio Anda lalu menyederhanakan tuntutan peran Anda sebagai istri dan ibu. Nah jembatan timbang untuk menyelaraskan nalar dan emosi dalam kaitan hubungan antara Anda dengan suami dan anak-anak, adalah tanggung jawab, Bu. Dan landasan paling kokoh untuk tumbuhnya tanggung jawab adalah kesadaran bahwa hidup yang kita jalani pastilah sarat dengan konsekuensi dari pilihan-pilihan yang kita ambil. Makin besar keyakinan kita bahwa keputusan itu memang merupakan kehendak kita, dan bukan karena pengaruh orang lain, akan makin besar rasa tanggung jawab untuk menanggung konsekuensi tadi. Kecil peluang tumbuhnya kecenderungan untuk menyalahkan orang lain, termasuk menyalahkan proses perjodohan Anda dan suami. Apa langkah konkrit menyelesaikan masalah Anda? Ganti semua nomor yang bisa membuat Anda berhubungan dnegannya. Jauhi komputer, dan telepon genggam untuk beberapa hari. Mudah-mudahan, dalam kondisi tak berhubungan, Anda bisa makin jernih berpikir dan melihat bahwa mengorbankan apa yang sudah jadi milik kita untuk sesuatu yang tak kita ketahui akan bagaimana jadinya, adalah sebuah kebijaksanaan sejati. Salam sayang.