Bu Rieny Yth. Saya menikah 16 tahun yang lalu. Tanpa didasari rasa cinta. Saya menikah karena orang tua merasa cocok dan setuju. Penderitaan sudah saya rasakan saat bulan madu. Saat itu saya tahu, ternyata suami mengalami lemah syahwat. Kondisi ini saya ceritakan ke orang tua. Akhirnya, justru mereka yang pontang-panting mencarikan obat demi kesembuhan menantunya. Untunglah, akhirnya penyakit suami saya bisa sembuh. Meski suami sudah normal, di hati saya tak bisa tumbuh rasa cinta. Walau kami punya anak-anak yang pandai dan sehat dan suami saya menunjukkan tanggung jawab pada saya dan anak-anak, namun hati saya tetap saja hambar, Bu. Yang menjadikan beban hidup saya sekarang ini terasa makin berat, sudah 3 tahun ini penyakit suami saya kumat lagi, malah lebih parah dari sebelumnya. Dokter-dokter spesialis di pusat kota sudah saya hubungi, namun tak ada yang berhasil. Sebelumnya rahasia ini saya sembunyikan dari keluarganya karena saya pikir ini merupakan aib baginya. Tapi akhirnya di tahun yang ketiga ini saya buka juga rahasia ini, sebab saya sudah merasa tidak kuat lagi. Saya hidup di kota ini tanpa saudara dan tidak punya tempat curhat. Tapi yang terjadi, saya makin bingung, karena setelah saya bercerita, malah keluarga dari kedua belah pihak menekan saya. Ini tidak boleh, itu tidak boleh.Termasuk suami yang juga tidak memberi kebebasan untuk bergaul, dengan alasan kasihan pada anak-anak kalau saya sampai melakukan hal yang tidak-tidak. Sebetulnya, keinginan pergi makin membara tapi saya tak punya tujuan pasti. Saya ingin mendapatkan kebahagiaan lahir dan batin tetapi tak pernah terpenuhi. Saya pun tak memperoleh dukungan dari keluarga. Tak ada cinta, tak ada kepuasan batin, bahkan kepuasan fisik pun tidak dapat saya peroleh. Lalu hidup seperti apa yang dapat saya harapkan di masa depan? Dalam usia belum 40 ini, mustinya saya kan masih berhak untuk memperoleh banyak kesenangan, kenikmatan dan mencoba mencapai apa yang menjadi cita-cita saya. Yang saya rasakan dan alami hanyalah kehampaan hidup, kegersangan cinta dan ketiadaan pemuasaan kebutuhan biologis. Percayakah Ibu kalau Ibu melihat foto ataupun diri saya, yang nampak adalah perempuan kurus kering dengan wajah murung yang jauh lebih tua dari usia saya sebenarnya? Ibarat tanaman, saya ini kering kerontang. Tolong bantu saya Ibu Rieny. Terima kasih. Dewi di X
Bu Dewi yth, Saya sedih sekali membayangkan kemelut yang Anda "bina" selama bertahun-tahun dan akhirnya justru "membinasakan" Anda perlahan-lahan, karena Anda tak kunjung berani membuat keputusan paling penting untuk hidup Anda, yaitu apa yang sebenarnya Anda inginkan dari hidup ini, yang Anda jalani dari waktu ke waktu, dan yang Anda coba raih melalui hal-hal penting dalam hidup ini. Antara lain dari perkawinan Anda. Uraian tentang hal-hal ini bisa sangat berbeda dari satu orang ke orang yang lain, tetapi saya pikir ada hal yang sama pada diri setiap orang, yaitu kita TIDAK ingin memiliki terlalu banyak masalah dalam hidup, bukan? Malah, kalau bisa, inginnya sih tak punya masalah, tetapi mana mungkin? Biasanya, saat seseorang merasa memiliki masalah, ia berorientasi pada upaya menyelesaikannya. Mula-mula seorang diri, lalu bersama dengan orang terdekat, dan kalau tak kunjung bisa menyelesaikannya, mulailah beranjak pada lingkungan sekitarnya. Ketika menyadari bahwa ternyata masalahnya tak bisa selesai, kita perlu berpikir ulang, apakah kita akan bisa bertahan hidup sejahtera dengan masalah tersebut, atau kita perlu mengubah diri, harapan serta keinginan-keinginannya sehingga kini lebih pasrah, bisa menerima kenyataan yang ternyata memang sukar berubah ataupun diubah. Yang lebih penting lagi, lalu bisa mensyukuri yang telah dimiliki. Pada sisi lain, sebenarnya peluang untuk memilih sisi penyelesaian kedua juga tetap terbuka, yaitu menarik diri dari masalah, memutuskan untuk tak mau lagi menanggung masalah ( karena tak kuat lagi, karena merasa tak ada manfaatnya lagi ataupun memang sudah bosan). Dalam kasus Anda, ini berarti tidak meneruskan perkawinan, bukan? Yang penting, seseorang harus berani membuat keputusan untuk memilih, hidup seperti apa yang akan ia jalani kemudian, serta menyadari konsekuensi dari keputusan yang sudah diambil. Sebenarnya, sudah sejak awal perkawinan Anda bermasalah, karena tak ada cinta saat memulainya. Sayangnya, sejak awal Anda tak lalu mengubah keinginan Anda untuk belajar mencintai suami sehingga perkawinan makin lama makin kehilangan maknanya sebagai sesuatu yang Anda lihat dapat berpeluang untuk membuat Anda merasa bahagia. Arti kebahagiaan sebenarnya adalah jabaran dari kondisi seseorang yang merasa bahwa apa yang ia inginkan telah mulai tercapai, sebagian tercapai atau malah dalam proses untuk mencapainya. Dalam masyarakat kita, masih lazim ada anggapan bahwa pemuasan kebutuhan biologis perempuan masih dianggap urutan kesekian yang patut ia jadikan masalah utama. Padahal, sebenarnya, seperti halnya pemuasan terhadap kebutuhan dasar berupa makan-pakaian-perumahan-pertemanan dan hubungan dengan banyak orang, maka kepuasan biologis juga termasuk kebutuhan dasar seseorang, walau ia berjenis kelamin perempuan. Ini lalu menjadi lagi masalah penting kedua yang Anda 'bina' untuk terus menerus berkembang dalam perkawinan Anda dan baru membuat Anda memutuskan untuk minta bantuan setelah tiga tahun terjadi. Dan, respon lingkungan Anda, seperti cerminan tuntutan masyarakat dari seorang istri dan ibu, adalah, "Masak yang seperti itu jadi masalah? Besarkan saja anak-anak dengan baik." Nah, alih-alih mendapat bantuan, Anda malah diharapkan untuk 'berdamai' dengan masalah kelemahan suami. Ada banyak perempuan yang bisa melalui tahapan dimana suaminya sudah tak bisa berfungsi secara penuh, lewat cara mengalihkan perhatian, maupun fokus keinginan dan harapannya bukan pada hubungan biologisnya dengan suami, tetapi pada perannya sebagai orangtua yang perlu berpasangan untuk mendidik anak, misalnya. Tetapi, sekali lagi, kalau kepuasan biologis memang merupakan kebutuhan utama yang terasa mengganggu benar kalau tak terpenuhi dalam perkawinan, maka ini bukanlah sebuah kesalahan,menurut saya, bila kemudian perempuan merasa tak happy, hampa hidupnya dan pelan-pelan beban atau tekanannya lalu merambat pada aspek-aspek lain dari kehidupan pekawinan, termasuk hubungan dengan suami yang biasanya makin lama juga makin dingin. Mencari bantuan, untuk masalah yang satu ini biasanya dihambat oleh rasa malu, tak lazim, dan perasaan bahwa tak pantas. Tetapi Bu, saya anjurkan sekali Anda untuk bertanya jujur pada diri, benarkah kelemahan syahwat adalah masalah utama Anda dan suami, atau sebenarnya adalah 'hasil sampingan' dari masalah lain yang lebih penting? Coba selidiki, selain masalah suami, adakah masalah pada keterbukaan komunikasi antara suami-istri? Adakah perasaan bahwa Anda berdua dengannya punya kewajiban memberi lingkungan terbaik yang bisa Anda berdua berikan pada anak-anak agar mereka merasa dirinya disayangi dan diharapkan kehadirannya di dunia ini? Adakah upaya untuk mengubah anggapan bahwa ikatan yang tadinya terasa dipaksakan oleh lingkungan, kini menjadi sesuatu yang ternyata menyenangkan saat dijalani? Lalu, apakah dalam perkawinan ini Anda juga 'belajar' untuk peduli pada apa yang jadi kekurangan suami sehingga Anda lebih terdorong untuk membantu dan mendampinginya mencari jalan keluar, daripada menyalahkan dan menyudutkannya? Ikhtiar, usaha dan memiliki informasi yang jelas tentang penyebab gejala yang ada, adalah kata kunci untuk mengarahkan Anda pada solusi. Tetapi, dasar dari semuanya adalah ada atau tidak kebutuhan pada diri Anda untuk menganggap perkawinan ini penting untuk diselamatkan kelangsungannya? Karena, kalau di dasar hati Anda mengatakan tak ada gunanya, maka biasanya ini akan menjadi faktor tambahan beban psikologis pada suami untuk kembali pada kemampuannya untuk memuaskan istrinya secara biologis. Bukankah salah satu faktor yang bisa memadamkan hasrat dan juga kemampuan seksual pria adalah perasaan bahwa ia tidak diterima apa adanya oleh sang istri? Jika Anda masih ingin mempertahankan perkawinan, bangkitkan harga dirinya sebagai suami, berkreasilah dengan hubungan intim Anda sehingga muncul tantangan dan gairah baru, sambil tetap berkonsultasi pada seksolog di kota Anda. Insya Allah ada jalan keluar, ya Bu. Kalau toh upaya tak berbuah hasil yang diharapkan, Anda tetap punya pilihan. Bertahan, atau bercerai, atau malah memilih untuk tidak membuat pilihan sama sekali. Apa saja yang Anda pilih, yang penting disertai kesadaran bahwa akan ada konsekuensi yang menyertainya. Nah, risiko atau konsekuensi itu pikirkan baik-baik ya Bu. Jangan kita mencoba memecahkan masalah dengan justru menciptakan masalah baru. Akhirnya, kita juga yang jadi korban dari ketidak mampuan untuk membuat keputusan yang bijaksana. Salam sayang.