Istri Korban Kekerasan Suami

By nova.id, Senin, 31 Agustus 2009 | 05:56 WIB
Istri Korban Kekerasan Suami (nova.id)

Bu Rieny, Saya ibu dengan 2 orang anak. Anak pertama perempuan 12 tahun, yang kedua laki-laki 4 tahun. Saya bahagia dengan anak-anak saya, semua sehat dan tidak bermasalah. Secara finansial semua tercukupi, sehingga kadang saya takut berkeluh kesah karena seperti tidak bersyukur. Yang menjadi masalah adalah hubungan saya dengan suami tercinta. Akhir-akhir ini saya sering berpikir tentang perceraian. Bahkan saya sudah memintanya ke suami. Tetapi selalu saya urungkan karena suami dengan berbagai cara mematahkannya. Bu, saya tidak tahan lagi dengan sifat cemburu suami yang membabi-buta. Terakhir dia mencemburui saya ada main dengan dua orang tetangga. Aduh, pusing saya dibuatnya, karena saya tidak bisa lagi keluar teras sekalipun tanpa dituduh suami sudah main mata dengan tetangga tersebut, padahal dua-duanya sudah berkeluarga. Saya sudah tidak nyaman lagi berjalan berdua dengan suami ditempat umum karena ada saja yang dia curigai sudah main mata dengan saya, katanya saya mengobral senyum, memancing orang untuk bergenit-genit dengan istrinya. Padahal sudah sering saya bilang disuruh bersumpah dengan Al Quran pun saya mau bahwa saya tidak serendah itu. Suami saya sangat temperamental, selalu saya dipaksa mengakui apa yang dia tuduhkan, kalau saya mendebat pasti dia sudah berbuat kasar. Membanting barang, berteriak keras, dan kalau saya tidak lekas menjauh maka badan saya yang jadi sasaran. Sebetulnya, saya sudah banyak mengalah. Selama ini sayalah yang membiayai semua kebutuhan rumah tangga. Dia tidak bekerja. ATM gaji PNS saya dipegang dia, semua hasil praktek disetor ke dia, saya mempekerjakan 7 karyawan untuk membantu saya berpraktek. Setiap hari kejanya cuma mengatur keuangan dari hasil kerja saya. Saya tidak boleh pegang uang (dijatah Rp 10.000 per hari), kemana-mana disopiri dia. Tidak pernah pergi kemanapun tanpa dikawal suami. Selama ini semuanya saya anggap cobaan dari Tuhan. Saya takut berontak karena takut akan ada cobaan yang lebih besar lagi yang saya tidak kuat menanggungnya. Jadi selalu saya kuatkan hati, sambil selalu mencoba bersyukur. Tapi sekarang ini saya mulai membandingkan keadaan saya dengan teman-teman, ternyata saya sangat bodoh, mau saja diperas suami (apa benar begitu?). Bahkan untuk mengatur hasil jerih payah sendiripun saya tidak bisa. Pendidikan suami saya sarjana ekonomi tapi saya heran kenapa dia tidak mau bekerja. Katanya tidak enak jadi karyawan, disuruh-suruh. Maunya jadi pengusaha alias jadi bos. Sekarang ini dia merasa usaha praktek saya adalah usahanya juga, bahkan dia menganggap dialah bosnya. Saya jadi bingung dengan diri saya sendiri. Selalu takut mengambil keputusan, tetapi sudah terasa menyesakan dada Saya bingun, harus mulai dari mana? Tolonglah saya Bu rieny. Terima kasih. Ny. Ning - somewhere

Bu Ning yth, Orang mungkin akan bertanya-tanya, kok bisa ya, Anda yang cari uang, bisnisnya bagus, punya status PNS, kok malah takut membuat keputusan untuk bercerai? Tetapi memang begitulah yang namanya pria pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Ia pandai menciptakan suasana rumah tangga yang dipenuhi teror mental sehingga istrinya masuk dalam belenggu ketakutan yang kalau dipikir secara rasional sebenarnya dapat dikatakan tidak berdasar. Lebih jauh lagi, dengan ancaman-ancamannya, ditambah dengan kebiasaan melakukan hal-hal yang memompa rasa takut sang istri ( takut dikata-katai, takut dipukul, takut dicederai dan takut-takut lainnya), maka laki-laki ini biasanya akan menanamkan sebuah keyakinan bahwa tanpa dirinya istrinya pasti tak bisa melakukan apa-apa. Tanpa suaminya, sang istri dikondisikan untuk merasa lemah, tak berdaya dan pasti gagal bila melanjutkan apa yang kini sudah dikerjakan, seorang diri. Dan payahnya, si istripun makin lama makin yakin bahwa ia memang tak mampu, dan dalam kondisi psikologis terburuk, perempuan yang jadi korban kekerasan suami ini lalu akan mengamini suaminya dengan meyakini bahwa ia memang pantas memperoleh perlakuan seburuk itu. Pada saat itu, rasa percaya diri perempuan sudah sampai di titik terbawah dan akan sukar baginya untuk bangkit kembali dengan sebuah kesadaran bahwa hidupnya adalah milik dirinya, dan bukan milik orang lain sehingga tak seorang pun berhak menyakiti dia secara fisik ataupun membuatnya tidak bahagia. Pelaku kekerasan di dalam rumah tangga, kebanyakan adalah pria dengan ego besar tetapi dibarengi perasaan rendah diri yang juga hebat. Ini lalu ia tutupi dengan menampilkan perilaku 'garang' pada istrinya. Padahal, sebenar-benarnya, ia minder, karena seringkali memang ia tidak lebih pandai (dari sisi IQ) dibandingkan istrinya. Karena merasa tidak punya apa-apa yang bisa ia banggakan pada istrinya, I have nonthing to offer, maka untuk memenuhi kebutuhannya untuk tampil dominan, ia lalu merasa harus "menundukan" istrinya. Dengan cara apa? Dari sisi keuangan? Tidak bisa. Karir? Apalagi! Satu-satunya jalan ya dengan cara fisik, karena hanya dari sisi fisiklah ia lebih kuat dibandingkan istrinya yang perempuan. Bila digali lebih dalam lagi, ada rasa takut yang besar di dasar hatinya bahwa ia akan kehilangan istrinya, maka inilah yang muncul dalam bentuk kecemburuan membabi buta. Kalau ada orang mengatakan bahwa cemburu adalah bumbunya cinta, dalam batas proporsional mungkin benar Bu Ning. Tetapi kalau kita terlalu dicemburui, alih-alih kita menghayatinya sebagai rasa cinta, yang ada kita makin merasa sesak napas, bukan? Nah, gambaran "ideal' seorang pelaku kekerasan terhadap perempuan nampaknya lengkap tergambar ada di diri suami Anda. Tetapi nasib perkawinan Anda tentu amat tergantung pada apa yang (masih) Anda harapkan dari pasangan Anda dan hanya Andalah yang dapat membuat keputusan, mau terus atau mengakhirnya. Anda tidak bercerita pada saya, usaha apa yang selama ini telah Anda lakukan untuk menghentikan ulah suami yang seakan tak menghargai Anda ini, dan apa pula yang membuat Anda masih bisa bertahan ada disampingnya kini. Karena, kalauAnda memang belum melakukan apa-apa, sementara Anda masih mencintainya, saran saya tentunya adalah agar Anda mencoba, berupaya agar suami kini memahami bahwa Anda sudah tidak nyaman lagi dengan kekerasan yang ia lakukan. Katakan apa yang Anda inginkan darinya dan ubahlah cara pengelolaan keuangan dengan menggarisbawahi bahwa Anda butuh lebih banyak otoritas dalam mengelola hidup Anda, termasuk penghasilan Anda. Bila tak behrasil pada upaya pertama, coba lagi, tetapi kali ini dnegan disertai tenggatw aktu, sampai kapan Anbda akan menunggu dia memeprlihatkan usaha untuk berubah. Bila ini juga tak membuatnya berubah, dengan memohon maaf pada Anda, saya kok sependapat dengan perasaan Anda bahwa Anda memang harus meninggalkannya. Ini berarti Anda harus menambah keberanian atau nyali untuk lebih leluasa berbicara pada suami. ATM dapat dengan mudah Anda ubah PIN nya, bukan? Kalau perlu, tutup dulu tempat praktek untuk sementara, dan segera cari pengacara untuk membantu Anda menyelesaikan administrasi perceraian Anda. Bagaimana kalau Anda dipukul lagi? Segera cari visum dan buat laporan polisi. Anda pasti lebih tahu bagaimana caranya. Jangan tunda lagi. Bila Anda terlihat bersungguh-sungguh melakukan semua hal tadi, saya yakin suami akan mengubah 'taktik'nya. Bisa saja ia melemah, menjadi makin baik dan penuh perhatian pada Anda. Bila Anda yakin perubahan ini akan permanen, mudah-mudahan ini berarti Anda mendapat hidayah untuk melanjutkan perkawinan. Tetapi, bila Anda tetap tak yakin, mantapkan diri untuk meminta cerai, sehingga Anda bisa lebih cepat menata diri kembali untuk menjalani hidup dengan lebih tenang dan lebih fokus terhadap pengembangan bisnis Anda. Jangan takut Bu Ning.Tak ada istilah gagal dalam hal mencari yang terbaik untuk diri Anda dan anak-anak. Mungkin baik untuk Anda ketahui pula bahwa kegagalan jarang membuat orang berhenti berusaha.Yang membuat orang berhenti berusaha adalah rasa takut akan mengalami kegagalan. Maka, jangan takut untuk memulai ikhtiar Anda, tak akan ada kata gagal, yang terjadi mungkin hanyalah ketidaksesuaian waktu penyelesaian masalah, antara kapan yang Anda harapkan dan kapan pula Anda akan memprolehnya. Jangan takut lagi ya Bu Ning.Sekali lagi, Anda amat berhak untuk memeperoleh kenyamanan dalam hidup, penghargaan atas apa yang ada dalam diri Anda dan berhak pula untuk dicintai secara layak, oleh siapa pun, termasuk suami Anda. Salam sayang.