Derita Si Istri Simpanan

By nova.id, Kamis, 27 Agustus 2009 | 02:08 WIB
Derita Si Istri Simpanan (nova.id)

Ibu Rieny yang terhormat, Bertahun­ tahun, saya tak pernah ketinggalan membaca rubrik yang Ibu asuh. Semua jawaban Ibu selalu mengena dan menyejukkan hati para pembaca, meski terkadang terkesan galak (maaf ya, Bu). Dan baru kali ini saya mengungkapkannya, disertai harapan semoga Ibu dapat membantu saya. Begini Bu, saya ibu dari seorang anak perempuan berusia 3 tahun. Saya istri simpanan seorang PNS, sebut saja A, yang 12 tahun lebih tua dari saya. Setamat SMA tahun 92, saya kemudian bekerja di tempat hiburan (bioskop). Beberapa kali pacaran, tapi tak pernah ada yang beres, tak ada yang cocok. Suatu hari di tahun 95, saya bertemu A. Orangnya baik, penuh perhatian, dan sangat mencintai saya. Baru kali itu saya temukan laki­laki seperti dia, Bu, beda betul dengan pacar­pacar terdahulu saya. A sendiri mengaku masih bujangan, sampai­sampai KTP-nya pun ia perlihatkan. Memang, dari penampilan, sikap, dan wajahnya, ia mirip bujangan. Saya pun percaya saja pada semua rayuannya. Apalagi ia begitu lembut, sabar (pokoknya semua yang baik­baik ada pada dirinya). Ketika itu, A sedang menjalani pendidikan di kota saya selama 3 bulan, dan selama itu pula ia selalu mengunjungi saya. Masa­masa indah pun kami lalui, sampai akhirnya saya benar­benar jatuh cinta padanya. Rasanya, tak ada yang dapat memisahkan kami. Orangtua saya pun menyetujui hubungan kami, sampai akhirnya, masa pendidikannya berakhir. Saya sangat sedih dan kehilangan, meski A sendiri berjanji akan kembali. Kami pun melanjutkan komunikasi lewat surat. Saat itu muncul kejanggalan. Meski mengaku tinggal di kota B, ia meminta saya mengirim surat ke alamat kakaknya. Alasannya, kakaknya punya kantor cabang di kota L, jadi seminggu sekali kakaknya datang ke rumahnya. Waktu itu, saya pikir A tinggal jauh di luar kota, tidak ada kendaraan, sehingga lebih gampang berkirim surat ke alamat kakaknya itu. Sama sekali tak ada rasa curiga dalam diri saya. Setelah 5 bulan kami saling berkirim surat, saya mulai curiga. Rasanya, ada yang "tak beres" di balik semua ini. Saya pun mencoba memancing A dengan menyurati langsung ke kantornya di kota B. Di surat itu, saya katakan bahwa saya siap menjadi isteri keduanya. A pun membalas surat saya, dan apa yang saya takutkan menjadi kenyataan. Ternyata, ia sudah punya istri dan 2 anak perempuan. Rasa kecewa, sedih, marah, benci campur aduk menjadi satu waktu itu. Padahal, ibu saya baru beberapa bulan menjalani rawat inap di RS karena sakit jantung dan hipertensi. Dan, ketika tanpa sepengetahuan saya, beliau membaca surat dari A, penyakitnya kumat dan beliau pun kembali masuk RS. Sayang, nyawa beliau tak terselamatkan. Beliau meninggal dalam keadaan menyedihkan. Saya merasa berdosa dan sangat kehilangan orang yang selama ini saya kasihi. Saya pun mencoba melupakan A. Namun, semakin saya coba melupakan A, semakin tersiksa batin ini. Saat A datang ke rumah untuk meminta maaf, tak satu anggota keluarga pun yang mau menerimanya. Saya sendiri segera mengundurkan diri dari pekerjaan setelah ibu saya wafat, dan tinggal bersama kakak perempuan di kota B. Di sana, saya mengikuti berbagai kursus dan mengajar di sebuah TK. Sementara itu, A terus-menerus memohon agar saya mau menikah dengannya. Alasannya, ia tidak bahagia dengan pernikahannya, karena dulu dijodohkan orang tua. Anehnya, dengan penuh rasa cinta sekaligus dendam dan benci, saya kembali menerima A dan pacaran lagi dengannya, meski keluarga menentang. Sampai akhirnya, kami melakukan hubungan laiknya suami-istri, berkali­kali hingga saya hamil. A menyuruh saya menggugurkan kandungan, namun saya tetap bertahan hingga usia kandungan 6 minggu. Tapi, lagi­lagi saya berbuat aib. Saya akhirnya menggugurkan kandungan. Sedih, saya pun minta dinikahi. Tapi A terus mengulur waktu dengan beragam alasan, yang PNS-lah, belum siap-lah, sampai-sampai saya frustrasi. Saya tak tahu apa yang harus saya kerjakan. Dalam keadaan bingung seperti ini, suatu ketika, saat saya berjalan-jalan, seorang pria (sebut saja B) mengajak kenalan. Saya tidak sadar apa yang terjadi (percaya atau tidak, saya serasa dihipnotis, Bu). Tahu-tahu, saya sudah bersama B di sebuah kamar hotel dan melakukan hubungan intim. Padahal, sedikit pun saya tidak kenal dia, asal­usulnya pun saya tak tahu. Seharian saya disekap dan berada dalam "kekuasaan" B. Saya tak bisa berbuat apa­apa. Akhirnya, entah dengan cara apa, saya berhasil lolos dari B. Tapi, akibatnya saya tertular penyakit kelamin. Ini pun saya tahu dari A, yang ternyata juga tertular dari saya. Caci maki A pun harus saya terima. Saya disebut sebagai pelacur yang mau melayani setiap lelaki. Hancur rasanya mendengar umpatannya, Bu. Toh, A membawa saya berobat dan membiayai pengobatan sampai tuntas. Setelah kejadian ini, A benci saya, karena sebagai laki­laki, harga dirinya merasa dilecehkan. Saya sendiri hanya bisa memohon ampun pada ALLAH, menyesal dengan apa yang sudah terjadi. Saya tobat. Rasanya, tak cukup dengan itu, dosa saya sudah setinggi gunung. Saya betul­betul menyesal, jijik kalau ingat bagaimana B memperlakukan saya. Mungkin karena cinta atau kasihan melihat saya, awal tahun 98, A menikahi saya. Itu pun menikah di bawah tangan, tanpa disaksikan bapak saya yang terserang stroke. Sedih rasanya, tidak ada keluarga yang merestui pernikahan kami. A memang baik dan sayang. Kami kemudian pindah ke kota S, karena A bertugas di sana. Istri pertamanya dibawa serta, tapi beda tempat. Saat malam, saya harus sendiri, dalam keadaan hamil pula. Istri pertama dan keluarga A tidak ada yang tahu kami menikah. Akhirnya, apa yang saya takutkan selama menjadi istri simpanan pun menjadi kenyataan. Istri pertama A datang ke rumah saat anak kami berumur setahun. Kebetulan A sedang berada di rumah saya. Kalap, istri pertamanya pun mencaci-maki saya habis­habisan, memukul, melempar, bahkan mengutuk anak saya. Saya hanya bisa diam dan pasrah menerima semua perlakuannya. Setelah kejadian itu, semua keluarga A tak ada yang suka pada saya dan anak saya. Mereka menginginkan kami segera putus. Mereka tidak tahu perasaan saya, mereka hanya memikirkan istri pertama serta ke­2 anak A, tanpa peduli saya dan anak saya. Saya sudah banyak menderita, Bu, apa mereka pikir saya senang, bahagia di atas penderitaan istri pertama? Sama sekali tidak, Bu. Saya tidak bahagia, saya amat tersiksa. Setiap kali saya dan anak saya butuh suami dan figur ayah, A tidak ada (A memang sangat sayang anak, tapi ia tak punya waktu untuk kami). Toh, saya mencoba sabar dan menerima apa yang TUHAN berikan. Tapi, terkadang saya lelah dan capek, Bu. Saya bosan hidup seperti ini. Saya ingin hidup wajar seperti orang lain, tapi saya tidak menginginkan menikah dengan orang lain (jika mengharuskan saya dan A bercerai ). Atau, inikah hukuman yang diberikan TUHAN untuk saya? Dosa saya sudah terlampau banyak, saya manusia hina dan kotor. Mohon dengan sangat, Ibu Rieny sudi membaca dan memberi solusi, apa yang harus saya lakukan. Terimakasih. BK di X

BK sayang, Wajah Anda cantik, lo (kalau tak mau saya katakan cantik sekali! - RH) dan dengan sedikit saja akal sehat dan pemikiran logis, saya yakin Anda berpeluang besar untuk hidup dengan mulus seperti busway yang melaju kecang membelah keramaian dan kemacetan Jakarta yang makin menyebalkan. Tidak seperti sekarang, dikatakan di jalur lambat pun sebenarnya masih belum cocok. Dinikahi di bawah tangan, menjadi istri kedua, yang didatangi sekali saja dalam 7 hari yang ada dalam seminggu, hemat saya malah setara dengan "gang senggol" yang sempit, berkelok dan gelap pula. Bagaimana tidak? Anak Anda tak punya hubungan formal dengan ayahnya, akte kelahirannya hanya mencantumkan nama Anda, dan kalau suami wafat, anak Anda pun tak berhak atas warisannya. Sementara, kini pun Anda tidak berkelimpahan materi, bukan? Nah, kalau ketenangan batin juga sukar diperoleh karena "serangan fajar" istri pertama selalu bisa saja terjadi, boleh dong Ibu Rieny bertanya, Anda mau bawa kemana hidup Anda, Ibu muda yang cantik? Hidup Anda, sebagian besar yang menentukan adalah Anda dan bukan orang lain. Setiap orang harus menanggung konsekuensi dari keputusan-keptusan yang ia ambil dalam hidupnya. Ini hal yang tak bisa kita hindarkan dalam hidup, karena pada dasarnya kehidupan kita memang terdiri dari rangkaian keputusan-keputusan yang kita ambil dalam menghadapi keseharian maupun masalah­masalah yang timbul. Yang jarang diingat oleh kebanyakan kita, manusia, peristiwa kehidupan hampir tak ada yang berdiri sendiri. Seperti halnya kelahiran kita yang adalah rangkaian berikut dari pertemuan kedua orang tua kita, maka bagaimana kita dibesarkan dalam keluarga sebenarnya juga adalah buah dari rangkaian harapan kedua orang tua, bagaimana kelak hidup anak-anaknya yang mereka mimpikan akan bisa mewujud di saat anak-anak ini dewasa dan merintis kehidupannya masing-masing. Seyogianya, dalam masa pengasuhan sejak dini ini, orang tua menanamkan pengertian dan keyakinan tentang agama yang dianut agar anak terbiasa melihat permasalahan dirinya, maupun antara dirinya dengan orang lain, nomor satu selalu dalam konteks aturan agama yang dianut dan diyakini. Ini sebenarnya adalah satu-satunya "paspor" yang bisa membawa kita pada ketenangan batin, kemantapan hati, dan cara menapaki masa depan, karena dari sinilah titik awal setiap manusia semestinya mengenal dengan baik apa yang benar dan salah, yang baik dan buruk, pantas dan tidak pantas. Berikutnya, bila landasan pikiran yang sudah kokoh dibentengi aturan agama yang diyakini, norma dan nilai yang menjadi bagian dari budaya dimana kita hidup lalu menjadi acuan selanjutnya. Menyusul kemudian aturan-aturan dan kelaziman yang berlaku di keluarga besar ayah dan ibu, dan akhirnya yang makin sempit dan spesifik lagi, di keluarga inti yang terdiri dari ayah-ibu dan anak-anaknya. Kalau ini dicermati dengan seksama, dijalani dengan konsekuen (karena agama apa pun pastilah menyuruh orang untuk tidak bersikap setengah-setengah dalam menjalan-kan keyakinannya), pernyataan-pernyataan seperti "saya khilaf" atau "saya menuruti perasaan saya," atau malahan seperti yang ingin Anda kesankan pada saya, saat membuat keputusan untuk terus berhubungan dengan suami orang, "dendam dan benci yang ingin saya lampiaskan," pastilah tak akan sering-sering terucapkan. Kenapa? Karena sebaik-baik hidup mestinya adalah hidup yang dijalani untuk mencari rida Allah, bukan? Pemahaman dan keyakinan sejenis ini akan dengan mudah membuat kita mampu membedakan kapan kita harus mengikuti perasaan dan keinginan kita (yang seringkali bertentangan jauh dengan aturan-aturan agama), dan kapan pula kita harus "membunuhnya," karena sudah sejak semula kita tahu ini dilarang atau dibenci-NYA. Yang akan menjadi saran saya sebenarnya sudah Anda tuliskan dalam surat, bertobat karena banyak membuat keputusan-keputusan yang hanya didasari dorongan perasaan, dan bertekad meniti hidup lebih baik, kalau bisa dengan status yang lebih jelas, dan akhirnya bertanya ulang pada diri, mumpung masih muda, sampai kapan kemelut ini mau Anda gumuli terus? Mustahil kita memperoleh semua yang kita mau dari hidup ini, ingin hidup nyaman tapi tak mau cerai, sementara istri pertama A mungkin juga bersumpah tak ingin kehilangan suaminya. Saya harus berhenti di sini, Bu Cantik, karena hidup Anda adalah milik Anda sendiri, dan orang lain hanya bisa memberi Anda pandangan dan wawasan yang siapa tahu, insya Allah bisa mendorong Anda untuk menekuni agama Anda lebih baik lagi, dan bertekad untuk hidup lebih "terhormat." Dalam arti, punya status jelas dan tidak harus hanya menjalani hidup yang "samar-samar" saja agar identitas tak perlu diketahui banyak orang. Sekali lagi, pilihlah konsekuensi yang berpeluang memberi Anda ketenangan menjalani hidup, dan tak usah takut kalau ini berarti harus memulai semuanya dari titik nol lagi! Bukankah kalau ini terjadi, langkah yang diawali di titik nol tadi, insya Allah adalah jalan yang lurus dan benar? Tuhan menyayangi semua mahluk-NYA, terutama yang berhati besar mengakui kelemahan dirinya yang selalu bisa khilaf, tetapi kini mau berjuang keras untuk menjadi makin baik. Tulus saya berdoa, mudah-mudahan Anda termasuk orang yang selalu merunduk untuk menantikan ampunan dan rahmat-NYA. Amin.