Benci kepada Adik Ipar

By nova.id, Kamis, 13 Agustus 2009 | 06:03 WIB
Benci kepada Adik Ipar (nova.id)

Ibu Rieny yang pintar, Mohon bantuan Ibu untuk memecahkan masalah saya. Saya ibu rumah tangga beranak 2, punya seorang adik lelaki yang sudah beristri dan beranak 1. Untuk lebih jelasnya, saya ceritakan lebih detail saja. Saat ini saya sedang tidak bertegur-sapa dengan adik ipar perempuan saya. Sejak mereka pacaran sebenarnya kami sekeluarga tidak suka dia. Kami nilai dia itu rendah, karena tidak punya rasa malu seperti halnya adik saya. Kenapa kami menilai begitu? Pasalnya, sebagai seorang gadis, berani­beraninya ia menginap dengan adik saya dan puncaknya mereka kumpul kebo, dan baru menikah setelah dipaksa terus-menerus oleh adik saya. Ternyata baru ketahuan kalau dia sudah hamil 1 bulan. Sebetulnya kami terpaksa merestui, karena adik saya tampaknya sudah tergila­gila padanya. Dan demi menjaga keutuhan keluarga kami pula, kami akhirnya menerima ipar dengan baik dan menyayanginya seperti adik sendiri. Demikian pula orang tua saya, mereka sudah menganggapnya bak anak sendiri, apalagi cuma saya anak perempuan di keluarga saya. Yang lainya semua laki-laki. Mulanya, hubungan kami sangat baik. Meskipun rumah kami berlainan, tapi letaknya bersebelahan. Jadi, apa yang kami punya pasti dibagi juga ke mereka, begitu pula sebaliknya. Pokoknya, tak ada masalah selama sekian lamanya berlalu. Lain perasaan kami padanya, lain pula perasaan dia. Ternyata, sikap kami yang begitu menyayangi dia tidak ada artinya sama sekali buat dia. Itu terjadi saat saya berkunjung ke pulau seberang tempat suami. Semula, saya bermaksud menetap, tetapi ternyata tidak betah sehingga kembali. Nah, pada saat saya tidak ada itulah, teman saya bertanya padanya, bagaimana seandainya orangtua saya sakit atau ada apa­apa, siapa yang mengurusnya? Bu Rieny tahu jawabnya? Ternyata dia bilang, ¡°Masa bodoh ah! mereka toh bukan orangtua saya! Ucapan itu kemudian disampaikan teman saya pada saya. Sakit rasanya hati saya, apalagi ketika dia ¡°nyukurin¡± harta saya ludes saya jual ketika mau berangkat. Oh iya, agar Ibu Rieny tahu, sebetulnya kami sama­sama hidup di rantau. Masih satu provinsi, tapi lain kabupaten. Kembali ke masalah saya. Bu, kalau sikapnya tidak berubah sih saya anggap ucapan teman saya itu cuma gosip atau teman saya memang sengaja mau mengadu domba kami. Tetapi sikapnya ternyata juga jauh berubah, apalagi dari teman saya itu pula saya tahu bahwa dia suka ngomong yang macam­macam. Sungguh, saya sangat terpukul. Sepertinya, kami sekeluarga dikhianatinya. Sekarang, perangai buruknya semakin menjadi-jadi, terang-terangan dia menghina masakan saya. Kalau saya ke rumahnya, mukanya selalu cemberut. Saya diamkan saja, tidak mau ribut/ngomong kalau bertemu. Bahkan sekarang sikap dan kelakuannya bertambah parah. Kalau anaknya sedang bermain bersama saya, ia langsung merebutnya. Bahkan, pernah ketika saya mandikan, sampo masih berbusa di kepalanya langsung ia ambil. Kalau anaknya saya beri makanan, pasti langsung ia buang. Jika lewat di depan saya, persis seperti melewati binatang. Grusa­grusu sambil jalan keras-keras. Saya sangat benci, Bu. Kalau tidak ingat dosa dan karma, sudah saya dukunkan saja agar ia pisah dari adik saya. Pasalnya, adik saya sepertinya pun tidak berkutik menghadapi dia. Seringkali kalau mereka bertengkar, adik saya dicakar sampai berdarah. Orangtua saya pun kalau ke rumah mereka tidak betah berlama­lama. Sungguh Bu Rieny, saya tidak mengada-ada. Rasanya, sampai mati pun saya tak ingin berbaikan dengan dia. Memang, meski saling benci, kami belum pernah bertengkar mulut, apalagi berkelahi secara fisik. Terus-terang, saya enggan kalau badan saya sakit terkena cakaran atau gigitan. Kawan­kawan saya sering memanas­manasi saya agar berkelahi, tapi saya tidak mudah terpancing. Sementara hati saya pun rasanya tak ingin berbaikan lagi. Jadi, bagaimana sebaiknya saya menghadapi dia, mohon bantuan buah pikiran Ibu. Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan terimakasih. Ny. HT di pulau Kalimantan

Ibu HT yang terhormat, Saya senang sekali Anda mau menyurati saya dan bertanya, harus bagaimana menghadapi ipar yang rupanya punya keahlian smack down, pakar dalam cakar mencakar. Artinya, Anda masih berkeinginan untuk bereaksi tidak dengan cara primitif seperti adik ipar itu. Bukankah ini pertanda sangat baik? Benar Bu HT, menunda reaksi, berpikir ulang, dan mengkaji lagi perilaku kita plus konsekuensi yang ditimbulkan adalah ciri-ciri orang bijak. Dan dari pengalaman saya, pendidikan, usia, status bahkan pekerjaan yang sehari-hari dilakoni pun, tidak pernah bisa menjadi jaminan bahwa ini akan menjadikan seseorang bijak dalam bertutur, berperilaku maupun mengambil keputusan. Saya pernah mendapati seorang karyawan yang pernah mendapat lencana emas 10 gram di kantornya karena prestasinya dalam bertutur dan perilaku baik selama 10 tahun, eh ¡ ternyata ijazahnya aspal. Orang yang tidak amanah (omonganya tidak bisa dipegang), tetapi sehari-hari mengatakan pada orang-orang yang mendengarkannya: Tuhan menyayangi orang yang tak berdusta, bertutur lemah lembut bla-bla. Pasti Anda juga dengan mudah bisa menemukan individu di sekeliling Anda yang kita dapat kategorikan tidak bijak ini. Maka, sekali lagi, kembangkan terus hal baik yang sudah ada dalam diri Anda sekarang ini. Memang susah untuk menilai seseorang hanya pada kekiniannya saja, apa yang ia lakukan dan katakan di saat ini. Biasanya, kita selalu saja mengaitkan kenyataan yang telah pernah terjadi di masa lalu dengan apa yang terjadi kini. Di satu sisi, memang manusia seringkali tak bisa lepas dari masa lalunya, karena perilaku kita kan merupakan cermin dari watak dasar yang kita miliki. Tetapi, di sisi lain, karena kalau ia mau, manusia selalu bisa berubah dan berkembang menjadi lebih baik setiap harinya, tidak fair juga kalau setelah seseorang berubah, berusaha berubah, dan benar-benar berubah, tetapi lingkungan tetap saja memandangnya dengan label atau CAP yang sama seperti dia di masa lalu. Ketika diyakinkan bahwa orang itu berubah, lalu ada saja komentar: Ah nanti juga kembali lagi ke perilaku lamanya. Kalau sudah sekali brengsek ya tetap brengsek-lah. Bisa saja pasangan memulai perkawinan dengan (pernah) kumpul kebo, tetapi kemudian hidup baik-baik, bukan? Jadi, kalau saya sih ingin menganjurkan pada Anda agar tidak memasang harga mati bahwa kalau dulu jelek, sekarang juga jelek. Bila makin lama perilaku yang dulu pernah hilang lalu kini muncul lagi, ada apa dengan hubungan antar suami-istri itu, bisa menjadi sebuah pemikiran, bukan? Saran pertama saya, jangan telan mentah-mentah apa yang digosipkan oleh orang lain tentang Anda ataupun orangtua Anda, kalau Anda belum tahu kebenarannya. Pastilah reaksi kita wajar sekali kalau terasa panas mendengar orangtua atau diri kita dijelek-jelekan. Tetapi, bijaksana sekali bila kita tidak langsung percaya, tetapi justru mencari tahu, apa yang melatarbelakangi munculnya perilaku atau pernyataan buruk dan negatif tadi. Katakanlah, memang benar ia berkata demikian. Kita pikir lagi-lah, apakah ruginya kalau didiamkan saja? Terlalu besar kekuasaan Allah dan cinta-Nya pada hamba-Nya, sehingga sepanjang hidup ini saya yakin hampir tak ada omongan yang bisa demikian fatal keburukannya hingga menyebabkan orang yang digunjingkan lalu menjadi celaka karenanya. Tuhan tidak akan membiarkan kita dianiaya orang lain sampai demikian buruknya, apalagi kalau kita selalu mendekatkan diri pada-Nya, bukan? Orang yang terbiasa berkata buruk, menilai orang seakan-akan dia yang paling bagus di dunia ini, biasanya mudah dikenali. Dan karena ini biasanya juga menjadi kebiasaan, bermulut buruk, maka tingkat kepercayaan kita padanya sebaiknya tidak 100 persen dong. Yang ia katakan pada kita, hampir pasti akan dikatakannya pula pada adik ipar kita, kali ini dengan versi yang menyudutkan Anda. Karenanya, dengarkan saja, tetapi sambil berkata pada diri, jangan terpengaruh, jangan dimasukkan ke dalam hati. Kalau benar ipar begitu tampak benci pada Anda, bagaimana kalau untuk beberapa saat Anda jangan berhubungan dengannya dulu? Periode pendinginan-lah kalau bahasa kerennya, cool of period. Dan selama masa itu, usahakan agar tak pernah ada kata atau komentar Anda tentang dirinya, baik yang positif maupun yang negatif! Ini adalah kesempatan Anda untuk menata hati dan perasaan, sehinga pada saat Anda memutuskan untuk berhubungan kembali, mudah-mudahan Anda sudah bisa lebih bijak lagi memahami perilaku dan tutur katanya. Bagaimana kalau dalam masa ini ia tak berubah? Yakini dulu bahwa Anda sudah memulai untuk berkata baik, berbuat baik dan bersangka baik padanya. Kalau tak ada reaksi, nah ¡ bolehlah Anda bertanya, tetap dengan sopan, apa yang ia kehendaki. Kalau jawabannya tidak sopan, artinya ia benar-benar sakit Bu, dan coret saja ia dari daftar orang yang ingin Anda temui! Bila Anda harus bertemu karena memang masih keluarga, usahakan agar tak perlu ada interaksi yang mendalam. Apa boleh buat. Saya juga tak menganjurkan Anda untuk menghiba-hiba bila segala upaya di atas ternyata tidak membuatnya berlaku baik pada Anda. Di samping itu, tetaplah menjalin hubungan dengan adik kandung Anda dan memberinya masukan yang positif, sehingga ia menyepakati apa yang menjadi kelemahan istrinya dan mau pula berupaya untuk memperbaikinya. Rasanya, kalau cerita Anda memang benar, adik pun tak kalah-kalah penderitaannya, dicakari istri. Biasanya, kalau niat kita sungguh-sungguh untuk mencari penyelesaian masalah keluarga, pasti selalu ada jalan keluar yang bisa ditempuh. Yang terakhir, waspadai segala bentuk "kompor¡" Wujudnya bisa tetangga, kerabat dekat atau jauh, pokoknya orang yang sebenarnya akan senang kalau bisa memanas-manasi orang lain agar ribut. Dengan tipe orang seperti ini, sebaiknya kita menjauh saja, jangan terlibat terlalu jauh dalam percakapan. Kalau peluang untuk berinteraksi dengan kita sedikit, peluangnya juga makin sedikit untuk memanas-manasi. Bersaudara, ipar-iparan kata kita, memang butuh keterampilan untuk menyesuaikan diri, mental baja untuk menghadapi tingkah yang aneh-aneh, dan kuping yang tidak tipis alias mudah panas kalau mendengar sesuatu. Ini semua tak ada sekolahnya, Bu, tetapi kalau kita ingat satu hal, insya Allah saya yakin Ibu pasti bisa "survive." Apakah itu? Sadari saja bahwa kita TIDAK memilih dia untuk menjadi ipar kita. Kalau ia adalah saudara suami, kita katakan pada diri, yang saya pilih dulu adalah suamiku, kok. Tetapi adiknya yang munafik ini (misalnya kalau dia munafik) adalah bagian yang lekat dari suami. Maka ia harus aku terima, tetapi tidak sama sekali berarti bisa mengganggu ketenanganku! Dalam hal Anda, ia juga tidak Anda pilih sebagai ipar, bukan? Adik Anda yang memilihnya untuk menjadi istri. Maka, tidak perlu berharap terlalu banyak bahwa Anda dan dia bisa benar-benar cocok. Dengan demikian, Anda tidak mudah menjadi benci atau kecewa kalau ternyata perilaku dan tutur katanya tak sesuai selera Anda. Yang paling akhir, memelihara kebencian cuma akan membuat beban pikiran dan justru menimbun enerji negatif di dalam diri. Ngapain sih, kalau kata orang Betawi. Tidak usah diubah menjadi cinta, tetapi ubahlah menjadi netral saja. Benci tidak, senang juga tidak. Pasti deh hidup Anda akan terasa lebih ceria. Selamat mencoba dan salam hangat.