Suamiku Mantan Gay

By nova.id, Senin, 3 Agustus 2009 | 23:50 WIB
Suamiku Mantan Gay (nova.id)

Ibu Rieny tercinta Enam bulan sudah saya menikah dengan adik sahabat karib saya. Selama lima tahun sebelum menikah saya tinggal satu kontrakan dengan sahabat karib saya tersebut (yang sekarang jadi kakak ipar). Sekarang pun saya masih tinggal dengan kakak ipar karena suami belum sanggup menafkahi saya. Padahal dia punya penghasilan tetap, bahkan setelah menikah naik jabatan. Kebetulan kakak ipar sering tinggal sendirian, karena suaminya berprofesi sebagai pelaut.

Suami adalah sosok keras kepala, pendiam, dan tidak romantis. Dulunya dia seorang gay, Bu. Ia mengakhiri masa lalunya, dan menikahi saya, setelah teman prianya mati terbunuh. Kami dijodohkan oleh sahabat saya. Alasannya, saya dianggap mampu mengubah pola hidupnya yang menyimpang itu. Selama ini suami tak pernah melakukan kekerasan pada saya, meskipun saya sering menegur dan menasehatinya, dari mulai cara lemah lembut sampai bak singa kelaparan. Sikapnya hanya diam dan pasrah serta berujung pada permintaan maaf. Yang lebih aneh dan menyakitkan, kami belum pernah melakukan hubungan intim, dengan alasan dia takut punya anak sementara dia belum sanggup menanggung masa depan kami. Lagi-lagi, untuk saya itu hanya alasan saja. Saya pernah mengajaknya ke psikiater untuk konsultasi mengenai kesehatan seksualnya, tapi dia menolak karena menurutnya dia tidak bermasalah atau sakit. Ia hanya belum siap, capek, stres. Berbagai cara saya lakukan untuk menarik perhatiannya. Saya berikan perhatian, kasih sayang, dan saya pun selalu menjaga penampilan. Tapi semua percuma. Saya pernah minta cerai tiga bulan setelah menikah, tapi dia tak mempedulikannya. Saya tidak boleh ikut dia ke temat kerjanya. Dan dengan alasan supaya hemat, dia kost bertiga dengan teman-temannya. Yang sangat mengejutkan, sudah 2 kali ini saya temukan beberapa keping VCD porno homoseks di lemari pakaiannya yang selalu terkunci dan sengaja dirahasiakannya dari saya. Janggal memang, mengapa dia masih merahasiakan sesuatu dari saya padahal saya istrinya. Bu, apa yang harus saya lakukan, sedang saya sangat mencintai suami saya? Dalam hidup saya punya prinsip bahwa yang harus kita lakukan adalah perbaikan dan bukan cuma penyesalan, karena saya juga mantan lesbian. Bagaimana cara memperbaiki hubungan kami, apakah benar bahwa seorang homoseks itu sulit bahkan nyaris tak bisa disembuhkan? Mohon jalan keluar. Terima kasih. MJ di B

MJ sayang, Banyak penanya di rubrik ini memakai kata-kata bersayap dalam bercerita, yang saya yakin disebabkan mereka enggan, takut, malu atau malah tak ingin mengakui kejadian yang sebenarnya. Saya lalu diharapkan bisa menangkap atau mencoba menafsirkan maksud yang sebenarnya. Dalam kasus Anda, nampaknya Anda takut benar menuliskan bahwa suami BUKAN mantan gay tetapi sebenarnya masih gay. Saya berani bertaruh, ia lebih bahagia berada diantara teman sekostnya daripada bersama Anda. Lalu, kenyataan bahwa Anda mantan lesbian juga. Ini cuma tersampaikan lewat sebuah kalimat pendek saja. Tetapi, kenyataan bahwa Anda tinggal dengan seorang sahabat karib selama 5 tahun, membuat saya kuat menduga, kakak ipar Anda adalah mantan pasangan lesbi Anda. Mudah-mudahan saya salah ya, tetapi bila saya benar, bukankah tingkat kesulitan suami Anda sebenarnya tinggi sekali untuk dapat melakukan fungsi sebagai seorang pria normal. Bagaimana kalau ia juga punya prasangka yang sama dengan Anda, sebenarnya istri saya ini sudah benar-benar bersih belum sih dari lesbiannya dahulu? Katakanlah sahabat yang juga kakak ipar itu bukan pasangan lesbi Anda dahulu, kenyataan bahwa Anda lebih banyak bersama-sama dengannya daripada dengan suami, mudah sekali menimbulkan prasangka bahwa Anda masih tetap seperti yang dulu, bukan? Apalagi, suami sahabat Anda juga lebih banyak di laut katimbang di darat. Unsur pembentuk prasangka yang paling sukar kita ubah adalah penggalan informasi yang tidak benar. Dan ketidakbenaran ini bisa bersumber pada kurang lengkapnya info, kurang up to date-nya data sehingga perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini tak termonitor, atau memang si pemilik prasangka lebih percaya pada apa yang selama ini sudah ia yakini sebagai kebenaran (walau sebenarnya belum tentu benar). Nah, sebelum kita melangkah ke jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan Anda, yakinilah dulu bahwa dalam berkomunikasi sebagai suami-istri, prasangka-prasangka ini perlu dikikis. Baik dari Anda kepadanya maupun prasangkanya terhadap Anda. Cara termudah, sebenarnya adalah memulai untuk membuka diri sehingga pasangan kita punya informasi yang benar, up to date (mutakhir), dan kepercayaan seseorang pasti akan meningkat pada kita bila ia merasa kenal pada kita. Mulai percaya, lebih tepatnya. Di taraf ini tak perlu bicara tentang perasaan dululah, karena Anda pasti juga tahu bahwa ketika suami meng-iyakan pernikahan, sebenarnya dorongan utamanya bukan perasaan cinta dan saling membutuhkan, melainkan dorongan untuk berperilaku normatif, ikut saja kelaziman yang ada. Laki-laki ya menikahnya dengan perempuan. Tetapi dugaan saya, penggal pengalaman masa lalu masih kental mewarnai kualitas hubungan Anda berdua, sehingga berharap ia punya gairah laiknya seorang laki-laki ke perempuan mungkin masih butuh waktu, ya. Makin lama lagi jadinya kalau dari diri sendiri juga tak ada kebutuhan untuk mengalihkan orientasi seksual ini pada perempuan dan bukan pada laki-laki sejenis. Kalau Anda tanya apakah susah mengubah orientasi sejenis, jawabannya memang YA. Tetapi, susah kan bukan berarti tidak mungkin. Agar Anda berhasil, sebenarnya kita perlu berangkat dulu dari makna perkawinan dulu. Samakah makna ini untuk Anda dan suami? Pada hakekatnya, perkawinan adalah sebuah proses mengikatkan diri karena adanya kebutuhan untuk saling menyayangi, saling membutuhkan dan saling kerja sama mencapai tujuan bersama. Berkali-kali saya tuliskan kata "saling" untuk mengingatkan bahwa untuk saling ini dan saling itu, butuh minimal 2 orang. Sifat dasarnya adalah interaktif, ada kalanya memberi dan ada kalanya menerima. Sedihnya, untuk memulainya kita butuh 2 orang, mengakhirinya cuma butuh satu orang saja! Jadi kalau yang satu pihak sudah tak merasa punya kebutuhan lagi, sementara pasangannya masih cinta, masih sayang dan masih ingin bersama, ya ikatan itu cuma semu saja jadinya.. Paling aman dan mudah adalah mendekatkan diri pada Tuhan. Di benak tiap orang pasti ada kebutuhan untuk mendekat kepada yang menciptakan dirinya. Saya katakan aman karena pasti tidak akan salah apabila kita memulainya dengan 2 hal saja, yaitu takut dan malu. Takut, karena Dia lah yang punya kekuasaan tertinggi atas diri kita. Sedangkan rasa malu patut kita miliki karena kita sudah diberi begitu banyak nikmat dalam hidup kita, bukan? Misalnya, ada teman, yang katakan bernama Ani, selama empat hari berturut-turut membawakan Anda makanan enak-enak. Bukankah pada hari ke 5 ada dorongan di hati kecil Anda untuk juga membalas kebaikannya selama empat hari itu? Rasanya malu benar kalau kita tak membalasnya, bukan? Kalau kita ingat-ingat yang sudah Tuhan beri pada kita, pastilah jauh lebih banyak dibandingkan makanan yang diberi Ani, bukan? Nah, dua hal ini saja dulu yang Anda berdua lakukan, pastilah dorongan untuk berbuat kebaikan akan pelan-pelan mengalahkan nikmat yang sebenarnya justru adalah sumber dari keruwetan hidup selama ini. Pelan-pelan baru Anda berdua menggali lagi lebih lanjut, beragama itu untuk apa sih, dan rasakan nikmatnya. Dalam seluruh rangkaian upaya itu, jadikan diri Anda teman bicara yang menyenangkan baginya sehingga ia tak enggan bertemu dnegan Anda. Bila ini berlangsung lancar, pelan-pelan, saya yakin cinta di pihaknya akan makin tumbuh. Langlah berikutnya, usahakan secepatnya bisa berkumpul hanya berdua saja. Salah satu yang menyebabkan para homo dan lesbi sukar mengubah orientasi seksualnya adalah karena mereka tetap saja berada berdekatan dengan pasangan sejenisnya. Ya tentu tarikannya lebih kuat, dibanding Anda yang datang belakangan dan bertemunya juga cuma sebentar. Akhirnya, tetapkan target waktu untuk perubahan pada diri suami. Bila menginjak tahun kedua perkawinan, tak ada yang berubah, saya khawatir ia cuma butuh kamuflase alias kedok saja bahwa ia hidup normal, punya istri dan berkeluarga. Maka, baik sekali bila Anda bisa bicara pada suami tentang rencana dan harapan Anda dari dirinya, tidak dengan nada menyalahkan, tetapi justru dengan menyediakan diri Anda untuk mendampinginya di masa-masa sulitnya, ketika ia memulai babak baru dari kehidupan sebagai suami Anda. Bagaimana kalau ia terus mengelak dan tak mau berubah? Jangan berlama-lama buang waktu untuk sebuah kesia-siaan! Anda punya banyak peluang kok untuk hidup dalam perkawinan yang sehat dan normal. Bertahan dalam pekawinan seperti ini jelas hanya ABCDEF saja. Aduh Booo Cape Deh Eke Fusing. Salam sayang.