Janda Terjebak Dua Pilihan

By nova.id, Jumat, 31 Juli 2009 | 07:53 WIB
Janda Terjebak Dua Pilihan (nova.id)

Bu Rieny Yth, Saya sering membaca rubrik yang Ibu asuh. Saya seorang janda, dengan satu anak berusia 7 tahun, tapi anak saya ikut suami. Sekarang, mantan suami sudah menikah lagi dan punya anak lagi. Masalahnya, saat ini saya sedang disukai dua orang lelaki. Keduanya masih bujangan, sebut saja A dan B. Dengan A, saya sudah berpacaran tiga tahun, sejak A masih kuliah di perguruan tinggi negeri, di kota tempat saya tinggal. Pertimbangan saya menerima A, karena dia bisa berpikir dewasa dan memahami keadaan saya. Orangtua saya pun setuju dengan A, tapi saya tak yakin orang tua A bisa menyetujui hubungan kami. Selama berpacaran, baru sekali saya bertemu dengan orangtuanya, saat dia diwisuda. Tanggapan mereka tentang saya biasa-biasa saja. Namun, A tak memberitahu status saya kepada orangtuanya. Alasannya, dia takut orangtuanya akan bicara tak enak kepada saya. Sampai-sampai, orangtuanya pun tak tahu nama saya. Sejalan dengan itu, sudah dua tahun ini saya pun mengenal B. Kami sering bertemu untuk urusan pekerjaan. Hubungan kami pun sebatas rekan kerja saja. Tapi, beberapa bulan terakhir, B menunjukan perhatian lebih. Padahal, dia tahu saya berpacaran dengan A. Saya suka B, karena dia periang dan supel. Meski sedang ada masalah berat, dia bisa menutupinya. Di mata saya, keduanya sama-sama baik. Yang menghalangi saya hingga saat ini belum menuju ke jenjang yang lebih tinggi dengan A, karena A belum bekerja. Orangtua saya menyetujui saya menikah dengan A, meski dia belum bekerja. Menurut orangtua, "Siapa tahu ada rezeki setelah menikah." Tapi saya tidak mau, Bu. Masak, saya bekerja, suami tidak? Lagipula, tanpa sepengetahuan orangtua, saya membantu keuangan A selama dia kuliah. Sebenarnya, orangtua saya mau membantu keuangan kami setelah menikah nanti. Tapi, saya tak mau karena khawatir akan menjadi kebiasaan buruk, dan A jadi merasa tak perlu mencari pekerjaan. A orangnya tertutup dan agak pemilih dalam bergaul. Mungkin karena itu, dia agak susah mencari pekerjaan. Saya jenuh dengan keadaan ini. Sementara saya mulai menyukai B. Pernah, B berkata, "Ada yang saya sukai, tapi sudah ada yang punya." Tapi pembicaraannya selalu saya alihkan. Meskipun saya juga menyukainya, tak saya perlihatkan. Saya bingung, Bu. Ini benar-benar beban bagi saya. Bagaimana jika saya menjauh saja dari keduanya, ya Bu? Atau saya harus tegas memilih di antara keduanya? Saya takut, B nantinya hanya mempermainkan saya saja. Sementara, jika saya memilih A, kapan menikahnya? Saya malu lama-lama pacaran. Saat ini, saya sepakat berpisah sementara dengan A. Dia boleh menemui lagi jika sudah siap menikahi saya. Kalaupun A punya perempuan pilihan lain, saya ikhlas. Sedangkan dengan B, saya berusaha menjaga jarak. Saya mohon bantuan Ibu untuk memecahkan masalah ini. Bagaimana sebaiknya saya bersikap? Terima kasih. W di L

W Sayang, Salah atau tidak ya, jika saya mengatakan, Anda ini sebenarnya bingung karena Anda juga tak tahu apa sebenarnya yang menjadi masalah bagi Anda saat ini. Punya pacar, tak perlu harus seketika menumbuhkan kebutuhan untuk menikah, bukan? Hemat saya, pacaran adalah periode meneropong, apakah lelaki ini layak diajak serius untuk menikah atau tidak. Serangkaian interaksi dengannya kita jadikan parameter untuk menduga dan mengantisipasi. Kira-kira akan cocok dan saling menyenangkan atau tidak, bila dari bangun tidur di pagi hari hingga tidur lagi malamnya, kita harus terus menerus berada bersamanya. Tak ada yang pasti tentunya, karena manusia memang selalu berubah. Nah, perubahan ini akan menuju ke arah mana, disertai tanda-tanda kematangan dan kestabilan kepribadian atau tidak. Ini yang bisa kita amati dari perkembangan tanggung jawab atas hidupnya, kepeduliannya kepada pacar, gambaran masa depan atau cita-citanya saat berkeluarga kelak, dan langkah apa yang akan dia ambil untuk mewujudkan keseriusannya mempersiapkan diri menjadi kepala keluarga. Lalu, jika lelaki berniat serius menikahi kita, bukan hanya dia yang masuk ke dalam keluarga kita, berkenalan, bergaul dengan orang tua dan saudara-saudara kita, tapi pacar juga harus mulai diperkenalkan dengan teman-teman sepermainan, dan kerabat kita. Lalu, kedua keluarga bertemu dan membicarakan tahapan selanjutnya. Jika A masih menyembunyikan identitas W setelah tiga tahun pacaran, padahal W sudah mensubsidi untuk mendukung kelancaran kuliahnya, harusnya Anda mulai berpikir dan bertanya-tanya, ya W. Apa gerangan yang membuat A tak kunjung memperkenalkan Anda kepada orangtuanya? Dugaan saya, ganjalan ada pada status Anda yang janda dan dia bujangan. Nah, yang patut jadi pertimbangan lagi, jika dia khawatir Anda tak diterima orangtuanya karena sudah pernah menikah, jadi seberapa besar dia memberi nilai pada Anda untuk pantas dijadikan istrinya? Jika Anda sangat diinginkan untuk dijadikan istrinya, dia akan berani mengambil resiko penolakan orang tuanya, jika mereka menolak, misalnya. Jika untuk mencoba saja dia tak bernyali, tanya diri Anda, sebenarnya Anda dianggap hanya patut jadi pacarnya saja atau punya rencana yang lebih serius? Kembali ke kriteria pacaran dan menikah tadi, keduanya jelas berbeda. Pacar yang tampak punya banyak sekali waktu untuk menyenangkan hati kita, biasanya kita anggap lelaki idaman, bukan? Siapa yang tak senang sih, jika setiap pulang kantor pacar selalu siap menjemput? Pagi pun dia selalu siap mengantar ke kantor. Saat kita ingin makan siang bersama, dia pun selalu siap. Seperti amplop dengan perangko, nempel terus. Jika ini berlangsung terus, kapan ya, kerjanya? Atau, taruhlah baru selesai kuliah, kapan pula dia akan serius memikirkan mencari kerja? Lalu, kapan kita boleh beranjak dari pacaran menuju ke keinginan untuk menikah? Sebenarnya, pertanyaan awalnya harus, harus, dan harus (memakai gaya Bunda Hetty Koes Endang di acara TV itu, lho!) ditujukan ke diri sendiri. Mengapa kita ingin menikah? Bagi W, ada embel-embelnya, yaitu menikah lagi karena Anda seorang janda. Mudah-mudahan, jawaban jujurnya bukan karena mantan sudah menikah lagi sehingga W juga tak mau ketinggalan dan harus segera menikah juga. Jika W punya pekerjaan dengan penghasilan baik, orangtua yang sangat sayang, dan W juga tak mengasuh anak, cari dulu dengan jelas, faktor mengapa-nya. Apakah W sudah benar-benar menyadari faktor penyebab perceraian dulu, lalu telisik lagi, adakah ciri yang sama justru lekat pada A, yang sebangun dengan yang ada di mantan suami? Sangat sering terjadi, perempuan terjebak di trek yang secara psikologis sama sehingga tanpa di sadari, lelaki yang mudah membuat dia nyaman dan jatuh cinta lagi, sebenarnya duplikat saja dari sang mantan. Hanya saja, secara fisik mungkin berbeda, dan ujung-ujungnya perkawinan pun akan punya cerita serupa dengan kegagalan terdahulu. Mengapa kok, mudah nyaman, ya? Sebab, sosok lelaki semacam itu sudah tak terasa asing dan dikenali, meski jika dicermati secara sadar, sebenarnya hal-hal yang telah dikenali justru harus dihindari. Lalu, dengan status yang kini melekat pada W, harusnya ada pertimbangan lain yang lebih seksama. Rentang masa pacaran seharusnya tak seperti lajang dan gadis berpacaran lagi. Apa boleh buat, pandangan masyarakat yang mudah "miring" terhadap janda, W perlu ekstra hati-hati saat terlihat bersama lelaki, apalagi bila tujuannya tak jelas, hanya mau senang-senang atau mencari titik keseriusan. Banyak prempuan menyukai situasi yang dipenuhi tanda tanya, "Sebenarnya dia mau atau tidak sih, sama saya?" Ini seperti kondisi hubungan Anda dengan B, ya. Jika terjadia pada saya, mungkin karena pada dasarnya saya tak sabaran dan tak pandai berpura-pura ya W, saya paling tak betah berandai-andai.Yang pasti-pasti saja, walau menyakitkan, mengetahui kejelasan tentang sesuatu selalu membuat saya merasa nyaman, dibandingkan berada di dalam ketidakpastian. Maka, jika saya menjadi W, saya akan "tembak langsung" saja, sukakah B pada saya? Bila tidak, tentu W tak perlu membuang waktu terlalu lama hanya untuk berhaha-hihi. Lebih baik kembali saja ke hubungan kerja seperti semula. Bila Anda sudah sepakat berpisah dengan A, sebenarnya tanya juga diri Anda, nyamankah Anda berpisah dengannya saat ini? Bila terasa lebih enak ketimbang saat bersamanya, terimalah ini sebagai kenyataan, Anda memang tak usah mengambangkan hubungan ini lagi. Sebab, Anda ingin punya suami yang bekerja, sementara tak ada tanda-tanda A serius memulai mencari nafkah. Artinya, tak perlu lagi W mengharapkan A. Say good bye saja. Dan untuk ke depannya, cobalah menata hati dan perasaan lagi, sambil lebih sering bertanya pada diri, apa benar sudah ingin menikah lagi? Mengapa? Dan lelaki seperti apa yang kiranya bisa memenuhi harapan W untuk kembali mengikatkan diri dalam perkawinan? Sekali lagi W sayang, kali ini pertimbangkan lebih matang dan mendalam, jika menikah hanya untuk hidup menjadi lebih susah, lebih baik bersabar saja menjanda, sampai ada lelaki yang benar-benar matang dan siap menerima Anda, sekaligus menjadi pemimpin Anda dalam mengarungi hidup. Salam sayang.