Kebimbangan Calon Istri Kedua

By nova.id, Minggu, 12 Juli 2009 | 17:02 WIB
Kebimbangan Calon Istri Kedua (nova.id)

Ibu Rieni yang terhormat,Sebentar lagi saya akan menikah dengan seorang pria (sebut saja B). Tapi, menjelang pernikahan, saya masih ragu, apakah keputusan menikahi B itu keputusan terbaik. Saya masih bimbang. Pasalnya, selama menjalin hubungan dengannya, pertengkaran selalu saja muncul, bahkan hanya karena masalah yang seharusnya tak perlu dibesar­besarkan. Perlu Ibu tahu, B masih berstatus punya istri dan anak. Saat ini, ia bekerja sebagai manager di sebuah perusahaan, sementara saya adalah sekretarisnya. Selama bekerja, dia memang berpisah dengan istri dan anaknya, karena wilayah tempat dia bekerja jauh dari rumah tempat yang seharusnya tak perlu dibesar­besarkan. Perlu Ibu tahu, B masih berstatus punya istri dan anak. Saat ini, ia bekerja sebagai manager di sebuah perusahaan, sementara saya adalah sekretarisnya. Selama bekerja, dia memang berpisah dengan istri dan anaknya, karena wilayah tempat dia bekerja jauh dari rumah tempat istrinya tinggal. Ada satu kendala yang juga membuat saya ragu menikah dengan dia, Bu. Keluarga B orang mampu, sedangkan keluarga saya pas­pasan. B maunya menikahi saya tanpa surat nikah, karena dia enggan meminta izin pada istrinya. Jadi, boleh dibilang kami hanya menikah siri. Jujur, saya ingin punya buku nikah, bukannya untuk menuntut warisan, melainkan karena saya ingin jadi istri yang sah, di mata agama maupun di mata masyarakat. Bu, saya tipe orang yang cepat tersinggung. Apa­apa yang diucapkan atau dilakukan orang biasanya langsung saya masukkan ke hati. Bahkan, ucapan yang sedikit bernada tinggi pun sudah membuat saya sedih dan tertekan. Jadi, membayangkan saya bakal menjadi istri tanpa buku nikah, membuat hati saya sungguh sangat sedih. Sementara B tipe pria yang bisa berlaku kasar. Kalau marah, tangannya bisa dengan gampang melayang. Kata­kata yang seharusnya tak perlu diucapkan pada wanita pun keluar. Saya ini calon istrinya, Bu, tapi dengan enteng ia bisa melontarkan kata-kata penghuni kebun binatang maupun asal usul saya yang perempuan miskin. Tak jarang, ia memaki saya sebagai wanita pelacur. Ia juga tega mengusir saya ketika saya datang ke rumahnya untuk minta maaf, meski untuk kesalahan yang tidak pernah saya lakukan. Permintaan maaf itu saya utarakan agar tidak memperpanjang percekcokan di antara kami. Belum lagi rasa cemburunya yang sangat besar. Misalnya, saya enggak boleh ikut latihan bola voli, karena banyak pria yang ikut. Pergi kemana pun saya selalu ia antar. Kalau tidak, ia marah­marah. Bahkan, membeli baju dalam pun ia antar. Bila bertemu teman di jalan, jangankan ngobrol, senyum pun saya nggak berani. Telat memasak, dia marah, dan sebagainya. Saya tertekan Bu, sangat tertekan. Saya harus bagaimana? Di satu sisi, saya sangat cinta dan sayang padanya. Tapi, di sisi lain, saya juga takut karena dia kasar sedangkan saya lemah dan gampang tertekan. Gara-gara memikirkan ini, bobot tubuh saya sempat turun drastis, dari 50 kilo jadi 45 kg. Tolong ya, Bu, carikan jalan terbaik buat saya. Apakah saya harus berhenti bekerja agar dapat melepaskan diri darinya? Saran Ibu sangat saya nantikan. Terima kasih. Dasa di X Dasa sayang, Baru saja saya menonton acara Oprah Show di televisi yang mewawancarai mantan istri Mike Tyson, petinju yang hobi benar memukuli istri maupun teman kencannya. Ternyata, di negara semaju Amerika pun, satu dari empat perempuan yang menikah telah mengalami kekerasan dalam keluarga (domestic violence). Bagaimana di Indonesia? Saya yakin ada lebih banyak perempuan yang nrimo dan tak melaporkan hal ini kepada yang berwajib dibandingkan mereka yang melapor, sehingga fenomena perempuan dizalimi laki-laki adalah seperti gunung es. Yang muncul ke permukaan hanya sebagian kecil dari masalah yang sebenarnya. Saya harus mengatakan pada Anda, bahwa kalau cerita Anda tentang calon suami itu benar adanya, maka ia memang benar-benar mewakili gambaran kepribadian laki-laki yang gemar menyakiti perempuan. Bukan hanya dalam arti fisik berupa pukulan, Jeng Dasa, melainkan juga dalam bentuk ketenangan batin yang dirusak oleh umpatan, kata-kata kasar, yang tujuannya merusak harga diri dan membuat si perempuan akhirnya percaya bahwa ia memang patut menerima perlakukan itu! Akarnya adalah rendahnya rasa percaya diri yang lalu terpantul pada rendahnya komitmen terhadap apa-apa yang seharusnya ia junjung tinggi. Dalam konteks pekerjaan misalnya, memacari sekretaris jelas bukanlah ciri manajer profesional, apalagi yang memiliki kepribadian yang ditandai rasa percaya diri yang kuat. Lalu, dengan berselingkuh, jelas-jelas ia sudah melanggar komitmen perkawinan dengan istrinya. Dan sebagaimana biasanya laki-laki yang terbiasa minder, untuk membuktikan pada dirinya bahwa ia punya power, ia lalu mencari pengagum-penggemar dari lawan jenisnya. Bila ia dapat merayu dan membuat perempuan jatuh hati, bukankah ia bisa mengatakan pada dirinya: "Tuh kan, aku ini oke kok, buktinya ada perempuan yang mau aku pacari." Tetapi, karena ciri berikutnya adalah kebiasaan untuk lari dari tanggung jawab dan tak mau mengakui perbuatannya (yang sebenarnya ia tahu benar adalah salah!), maka biasanya ia memang tak menghendaki ikatan yang permanen. Kalau toh terpaksa kawin, itu dilakukannya di bawah tangan. Kalau kelak ia menafkahi perempuan-nya (saya tak mau mengatakan istrinya, karena nyatanya memang bukan istri dalam artian yang seharusnya adalah perempuan yang dihormati dan dilindungi kesejahteraannya), maka biasanya ia tak membelikan rumah melainkan hanya mengontrak. Mobil juga tidak atas nama istrinya, bahkan sering saya temui mereka hanya membekali kartu kredit, yang bila ia sudah tak berminat lagi pada perempuan itu, dengan teganya akan langsung ia blokir sehingga tak ada yang tersisa pada si perempuan, kecuali rasa sakit hati karena ternyata sudah dibohongin abissss oleh sang Arjuna. Apalagi ciri keminderan dia? Ya, rasa cemburu yang tak pada tempatnya itu, serta makin lengkap lagilah ini dengan kebiasaan memukul. Hanya laki-laki yang kerdil dan tidak bisa menghargai perempuanlah yang tega memukul perempuan! Tetapi, di titik ini, saya harus pula mengatakan bahwa laki-laki seperti ini mestinya tidak akan berkutik atau tak laku di pasaran bila tak ada perempuan yang mau, bukan? Tapi buktinya, tetap ada saja yang mau dijadikan mangsanya. Bagaimana tipe perempuan yang biasanya mudah dijadikan mangsa empuk? Yang menjadi ciri pertama dan utama tentu saja adalah perasaan tidak berdaya untuk menghindar dari hubungan dengan laki-laki monster tadi. Ketidakberdayaan ini bisa timbul dari cinta yang tak berlandaskan nalar sehat, bahwa tanpa laki-laki itu ia tak bisa hidup, atau bisa karena desakan umur yang membuatnya takut dicap perawan tua, sehingga lebih baik menjadi janda muda daripada perawan tua. Bisa pula karena desakan ekonomi, karena telah dibiayai oleh si laki-laki atau malah dipekerjakan di kantornya. Dan yang paling membuat saya sedih, karena yang paling sering terjadi malah karena mereka sudah telanjur melakukan hubungan seks, sehingga si perempuan terpaksa melanjutkan hubungan yang sebenarnya ia tahu benar akan lebih banyak menyusahkan dirinya ketimbang membuatnya happy. Ia jadi lebih takut, jangan-jangan tak ada laki-laki yang mau dengan dirinya, daripada takut bakal menjadi obyek penganiayaan suaminya seumur hidup perkawinannya kelak. Nah, Jeng Dasa, mudah-mudahan Anda kini bisa membuat peta, bagaimana gambaran hubungan Anda dan manajer merangkap calon suami Anda itu. Apakah ini tergolong hubungan sehat yang bisa tetap memberi peluang pengembangan kualitas kepribadian bagi sang suami maupun istri? Ataukah ini perangkap harimau yang Anda pikir bisa membebaskan Anda dari cengkeraman buaya (darat)? Keputusannya, sepenuhnya ada di tangan Anda, sebenarnya. Ini tentu saja perlu diimbangi dengan kesadaran bahwa setiap keputusan tetap mengandung risiko. Dalam kasus Anda, tentu saja Anda berpeluang kehilangan pekerjaan bila memutuskan untuk tidak menikah dengannya. Tetapi, timbang lagilah, apakah "harga" yang harus Anda bayar dengan tetap menjalankan rencana menikahinya cukup sesuai dengan kebahagiaan dan perasaan nyaman yang akan Anda peroleh dengan menjadi istri "di bawah tangannya" kelak. Kalau sekarang saja tangannya sudah demikian ringannya hinggap di tubuh Anda, dan mulutnya begitu lancar melecehkan dan menghina Anda, masih adakah yang disebut sayang dan cinta pada diri Anda? Jangan-jangan, ini memang pernah Anda rasakan dahuluuu sekali, saat Anda baru dirayunya dan ia belum memperlihatkan "belang"nya. Kini, ketika kedok sudah terbuka dan Anda sebenarnya ngeri membayangkan bagaimana nasib Anda kelak (sehingga Anda menyurati saya), bisa jadi bukan cinta dan sayang lagi yang menyebabkan Anda tetap lekat padanya, tetapi justru perasaan tidak berdaya dan "habis, aku musti gimana lagi wong sudah telanjur terlalu jauh hubungannya" Tanpa beraksud mengojok-ojoki atau memengaruhi Anda, perlu pula Anda ketahui bahwa bila ada anak yang kelak terlahir dari pernikahan Anda dan B, maka anak itu tak punya hubungan hukum dengan ayahnya, tak berhak atas nama ayahnya dan apalagi atas warisannya. Bahkan, di Akte Kelahirannya-pun, nama Anda sajalah yang tercantum sebagai orang tuanya. Taruhlah, Anda kini sudah menderita dan terus menderita karena memutuskan menjadi istrinya, apakah Anda juga TEGA keturunan Anda kelak akan menyandang demikian banyak masalah, hanya karena ketidakberdayaan Anda ketika hendak memutuskan dengan berani, terus atau tidak? Rezeki pasti akan Allah berikan untuk hamba-Nya yang berikhtiar sambil tetap menghormati perintah-Nya, bukan? Maka, jangan sekali-kali takut miskin kalau harus putus dengannya. Pikir lagi, ya, Jeng Dasa, mudah-mudahan dengan mendekatkan diri dan meminta petunjuk-Nya, Anda diberi kemudahan untuk memilih hidup seperti apa yang akan Anda jalani yang juga akan tetap menjamin adanya harga diri yang sehat serta penghormatan yang layak dari orang-orang terdekat. Karena, sesungguhnya, orang lain tidak bisa merendahkan martabat dan harga diri kita, kecuali kita kita memberinya izin mereka untuk melakukannya. Maka, jangan pernah izinkan orang melakukan ini, ya, Sayang? Walau sedetikpun! Salam Manis.

Ibu Rieni yang terhormat,Sebentar lagi saya akan menikah dengan seorang pria (sebut saja B). Tapi, menjelang pernikahan, saya masih ragu, apakah keputusan menikahi B itu keputusan terbaik. Saya masih bimbang. Pasalnya, selama menjalin hubungan dengannya, pertengkaran selalu saja muncul, bahkan hanya karena masalah yang seharusnya tak perlu dibesar­besarkan. Perlu Ibu tahu, B masih berstatus punya istri dan anak. Saat ini, ia bekerja sebagai manager di sebuah perusahaan, sementara saya adalah sekretarisnya. Selama bekerja, dia memang berpisah dengan istri dan anaknya, karena wilayah tempat dia bekerja jauh dari rumah tempat yang seharusnya tak perlu dibesar­besarkan. Perlu Ibu tahu, B masih berstatus punya istri dan anak. Saat ini, ia bekerja sebagai manager di sebuah perusahaan, sementara saya adalah sekretarisnya. Selama bekerja, dia memang berpisah dengan istri dan anaknya, karena wilayah tempat dia bekerja jauh dari rumah tempat istrinya tinggal. Ada satu kendala yang juga membuat saya ragu menikah dengan dia, Bu. Keluarga B orang mampu, sedangkan keluarga saya pas­pasan. B maunya menikahi saya tanpa surat nikah, karena dia enggan meminta izin pada istrinya. Jadi, boleh dibilang kami hanya menikah siri. Jujur, saya ingin punya buku nikah, bukannya untuk menuntut warisan, melainkan karena saya ingin jadi istri yang sah, di mata agama maupun di mata masyarakat. Bu, saya tipe orang yang cepat tersinggung. Apa­apa yang diucapkan atau dilakukan orang biasanya langsung saya masukkan ke hati. Bahkan, ucapan yang sedikit bernada tinggi pun sudah membuat saya sedih dan tertekan. Jadi, membayangkan saya bakal menjadi istri tanpa buku nikah, membuat hati saya sungguh sangat sedih. Sementara B tipe pria yang bisa berlaku kasar. Kalau marah, tangannya bisa dengan gampang melayang. Kata­kata yang seharusnya tak perlu diucapkan pada wanita pun keluar. Saya ini calon istrinya, Bu, tapi dengan enteng ia bisa melontarkan kata-kata penghuni kebun binatang maupun asal usul saya yang perempuan miskin. Tak jarang, ia memaki saya sebagai wanita pelacur. Ia juga tega mengusir saya ketika saya datang ke rumahnya untuk minta maaf, meski untuk kesalahan yang tidak pernah saya lakukan. Permintaan maaf itu saya utarakan agar tidak memperpanjang percekcokan di antara kami. Belum lagi rasa cemburunya yang sangat besar. Misalnya, saya enggak boleh ikut latihan bola voli, karena banyak pria yang ikut. Pergi kemana pun saya selalu ia antar. Kalau tidak, ia marah­marah. Bahkan, membeli baju dalam pun ia antar. Bila bertemu teman di jalan, jangankan ngobrol, senyum pun saya nggak berani. Telat memasak, dia marah, dan sebagainya. Saya tertekan Bu, sangat tertekan. Saya harus bagaimana? Di satu sisi, saya sangat cinta dan sayang padanya. Tapi, di sisi lain, saya juga takut karena dia kasar sedangkan saya lemah dan gampang tertekan. Gara-gara memikirkan ini, bobot tubuh saya sempat turun drastis, dari 50 kilo jadi 45 kg. Tolong ya, Bu, carikan jalan terbaik buat saya. Apakah saya harus berhenti bekerja agar dapat melepaskan diri darinya? Saran Ibu sangat saya nantikan. Terima kasih. Dasa di X

Dasa sayang, Baru saja saya menonton acara Oprah Show di televisi yang mewawancarai mantan istri Mike Tyson, petinju yang hobi benar memukuli istri maupun teman kencannya. Ternyata, di negara semaju Amerika pun, satu dari empat perempuan yang menikah telah mengalami kekerasan dalam keluarga (domestic violence). Bagaimana di Indonesia? Saya yakin ada lebih banyak perempuan yang nrimo dan tak melaporkan hal ini kepada yang berwajib dibandingkan mereka yang melapor, sehingga fenomena perempuan dizalimi laki-laki adalah seperti gunung es. Yang muncul ke permukaan hanya sebagian kecil dari masalah yang sebenarnya. Saya harus mengatakan pada Anda, bahwa kalau cerita Anda tentang calon suami itu benar adanya, maka ia memang benar-benar mewakili gambaran kepribadian laki-laki yang gemar menyakiti perempuan. Bukan hanya dalam arti fisik berupa pukulan, Jeng Dasa, melainkan juga dalam bentuk ketenangan batin yang dirusak oleh umpatan, kata-kata kasar, yang tujuannya merusak harga diri dan membuat si perempuan akhirnya percaya bahwa ia memang patut menerima perlakukan itu! Akarnya adalah rendahnya rasa percaya diri yang lalu terpantul pada rendahnya komitmen terhadap apa-apa yang seharusnya ia junjung tinggi. Dalam konteks pekerjaan misalnya, memacari sekretaris jelas bukanlah ciri manajer profesional, apalagi yang memiliki kepribadian yang ditandai rasa percaya diri yang kuat. Lalu, dengan berselingkuh, jelas-jelas ia sudah melanggar komitmen perkawinan dengan istrinya. Dan sebagaimana biasanya laki-laki yang terbiasa minder, untuk membuktikan pada dirinya bahwa ia punya power, ia lalu mencari pengagum-penggemar dari lawan jenisnya. Bila ia dapat merayu dan membuat perempuan jatuh hati, bukankah ia bisa mengatakan pada dirinya: "Tuh kan, aku ini oke kok, buktinya ada perempuan yang mau aku pacari." Tetapi, karena ciri berikutnya adalah kebiasaan untuk lari dari tanggung jawab dan tak mau mengakui perbuatannya (yang sebenarnya ia tahu benar adalah salah!), maka biasanya ia memang tak menghendaki ikatan yang permanen. Kalau toh terpaksa kawin, itu dilakukannya di bawah tangan. Kalau kelak ia menafkahi perempuan-nya (saya tak mau mengatakan istrinya, karena nyatanya memang bukan istri dalam artian yang seharusnya adalah perempuan yang dihormati dan dilindungi kesejahteraannya), maka biasanya ia tak membelikan rumah melainkan hanya mengontrak. Mobil juga tidak atas nama istrinya, bahkan sering saya temui mereka hanya membekali kartu kredit, yang bila ia sudah tak berminat lagi pada perempuan itu, dengan teganya akan langsung ia blokir sehingga tak ada yang tersisa pada si perempuan, kecuali rasa sakit hati karena ternyata sudah dibohongin abissss oleh sang Arjuna. Apalagi ciri keminderan dia? Ya, rasa cemburu yang tak pada tempatnya itu, serta makin lengkap lagilah ini dengan kebiasaan memukul. Hanya laki-laki yang kerdil dan tidak bisa menghargai perempuanlah yang tega memukul perempuan! Tetapi, di titik ini, saya harus pula mengatakan bahwa laki-laki seperti ini mestinya tidak akan berkutik atau tak laku di pasaran bila tak ada perempuan yang mau, bukan? Tapi buktinya, tetap ada saja yang mau dijadikan mangsanya. Bagaimana tipe perempuan yang biasanya mudah dijadikan mangsa empuk? Yang menjadi ciri pertama dan utama tentu saja adalah perasaan tidak berdaya untuk menghindar dari hubungan dengan laki-laki monster tadi. Ketidakberdayaan ini bisa timbul dari cinta yang tak berlandaskan nalar sehat, bahwa tanpa laki-laki itu ia tak bisa hidup, atau bisa karena desakan umur yang membuatnya takut dicap perawan tua, sehingga lebih baik menjadi janda muda daripada perawan tua. Bisa pula karena desakan ekonomi, karena telah dibiayai oleh si laki-laki atau malah dipekerjakan di kantornya. Dan yang paling membuat saya sedih, karena yang paling sering terjadi malah karena mereka sudah telanjur melakukan hubungan seks, sehingga si perempuan terpaksa melanjutkan hubungan yang sebenarnya ia tahu benar akan lebih banyak menyusahkan dirinya ketimbang membuatnya happy. Ia jadi lebih takut, jangan-jangan tak ada laki-laki yang mau dengan dirinya, daripada takut bakal menjadi obyek penganiayaan suaminya seumur hidup perkawinannya kelak. Nah, Jeng Dasa, mudah-mudahan Anda kini bisa membuat peta, bagaimana gambaran hubungan Anda dan manajer merangkap calon suami Anda itu. Apakah ini tergolong hubungan sehat yang bisa tetap memberi peluang pengembangan kualitas kepribadian bagi sang suami maupun istri? Ataukah ini perangkap harimau yang Anda pikir bisa membebaskan Anda dari cengkeraman buaya (darat)? Keputusannya, sepenuhnya ada di tangan Anda, sebenarnya. Ini tentu saja perlu diimbangi dengan kesadaran bahwa setiap keputusan tetap mengandung risiko. Dalam kasus Anda, tentu saja Anda berpeluang kehilangan pekerjaan bila memutuskan untuk tidak menikah dengannya. Tetapi, timbang lagilah, apakah "harga" yang harus Anda bayar dengan tetap menjalankan rencana menikahinya cukup sesuai dengan kebahagiaan dan perasaan nyaman yang akan Anda peroleh dengan menjadi istri "di bawah tangannya" kelak. Kalau sekarang saja tangannya sudah demikian ringannya hinggap di tubuh Anda, dan mulutnya begitu lancar melecehkan dan menghina Anda, masih adakah yang disebut sayang dan cinta pada diri Anda? Jangan-jangan, ini memang pernah Anda rasakan dahuluuu sekali, saat Anda baru dirayunya dan ia belum memperlihatkan "belang"nya. Kini, ketika kedok sudah terbuka dan Anda sebenarnya ngeri membayangkan bagaimana nasib Anda kelak (sehingga Anda menyurati saya), bisa jadi bukan cinta dan sayang lagi yang menyebabkan Anda tetap lekat padanya, tetapi justru perasaan tidak berdaya dan "habis, aku musti gimana lagi wong sudah telanjur terlalu jauh hubungannya" Tanpa beraksud mengojok-ojoki atau memengaruhi Anda, perlu pula Anda ketahui bahwa bila ada anak yang kelak terlahir dari pernikahan Anda dan B, maka anak itu tak punya hubungan hukum dengan ayahnya, tak berhak atas nama ayahnya dan apalagi atas warisannya. Bahkan, di Akte Kelahirannya-pun, nama Anda sajalah yang tercantum sebagai orang tuanya. Taruhlah, Anda kini sudah menderita dan terus menderita karena memutuskan menjadi istrinya, apakah Anda juga TEGA keturunan Anda kelak akan menyandang demikian banyak masalah, hanya karena ketidakberdayaan Anda ketika hendak memutuskan dengan berani, terus atau tidak? Rezeki pasti akan Allah berikan untuk hamba-Nya yang berikhtiar sambil tetap menghormati perintah-Nya, bukan? Maka, jangan sekali-kali takut miskin kalau harus putus dengannya. Pikir lagi, ya, Jeng Dasa, mudah-mudahan dengan mendekatkan diri dan meminta petunjuk-Nya, Anda diberi kemudahan untuk memilih hidup seperti apa yang akan Anda jalani yang juga akan tetap menjamin adanya harga diri yang sehat serta penghormatan yang layak dari orang-orang terdekat. Karena, sesungguhnya, orang lain tidak bisa merendahkan martabat dan harga diri kita, kecuali kita kita memberinya izin mereka untuk melakukannya. Maka, jangan pernah izinkan orang melakukan ini, ya, Sayang? Walau sedetikpun! Salam Manis.