Suami Bersikap Tak Dewasa

By nova.id, Rabu, 8 Juli 2009 | 18:54 WIB
Suami Bersikap Tak Dewasa (nova.id)

Ibu Rieny yth,Saya dan suami berbeda usia 15 tahun, memiliki anak berusia 3 tahun. Dari dua perkawinannya terdahulu suami punya dua anak. Di awal pernikahan kami sangat bahagia, tetapi setelah mempunyai anak selalu saja ada pertengkaran. Sebenarnya semua dipicu oleh hal-hal yang sepele. Bila ada masalah, dia selalu menghindar dan menjawab dengan nada tinggi. Bahkan sehabis bertengkar dia selalu mendiamkan saya sampai berhari-hari, padahal saya sudah mencoba mengajak bicara baik-baik. Sejak menikah, suami saya sudah tidak bekerja karena PHK. Memang pesangonnya cukup besar, tetapi kalau dimakan terus tanpa ditambah, bagaimana kami bisa bertahan lama? Selama ini ia hanya mau berbisnis yang menurutnya berpeluang besar. Pernah dia membuka usaha bersama kawan-kawannya tetapi gagal dan tidak mau mencoba usaha yang lain. Sebagai istri saya sudah berusaha menasehati dia tetapi tidak pernah didengar. Dia bilang saya sok, mentang-mentang punya pekerjaan tetap dan berpenghasilan bagus. Padahal sebagai suami isrti kita kan patut saling mengingatkan, ya, Bu? Memang kalau saya mencoba menasehati, dia selalu menganggap saya rendah, karena saya hanya tamatan SMA sedangkan dia sarjana. Di usianya yang hampir 50 tahun, sikapnya sangat tidak dewasa dan tidak bijaksana, Bu. Di rumah, ia pantang mengerjakan pekerjaan perempuan. Padahal pekerjaan laki-laki, yaitu mencari nafkah, juga tidak dilakukannya. Lalu, sebagai kepala keluarga, yang selalu ia dengung-dengungkan itu, apa sumbangannya bagi kelangsungan kehidupan keluarga kami? Hampir seluruh pengeluaran, saya yang tanggulangi, tetapi di sisi lain ia pandai benar menciptakan kesan bahwa ia adalah sosok bijaksana, berwawasan luas dan hal-hal lain yang membuat saya sebenarnya, maaf, muak padanya. Bu Rieny, dalam 2 pernikahan sebelumnya, yang akhirnya bercerai, suami ternyata memang sering ribut dengan istrinya gara-gara sifat pemalasnya serta keengganannya untuk membuka komunikasi. Saya sudah sering bicara dengan suami, seharusnya perkawinan yang dulu bisa dijadikan pelajaran atau pengalaman dalam menjalankan perkawinan yang sekarang, tetapi tetap saja dia egois tidak pernah mau introspeksi diri. Bu, bagaimana jalan yang terbaik bagi saya menurut Ibu? Sebenarnya saya amat mencintainya. Lantas, apakah perceraian itu merupakan jalan keluar yang terbaik? Bila harus berpisah saya tidak sanggup untuk menyampaikan kepada orangtua dan keluarga karena selama ini mereka mengira suami saya orang yang baik dan bijaksana. Terima kasih. Harti di X

Harti yth, Benar sekali yang Anda katakan bahwa pernah bercerai bukanlah jaminan bahwa seseorang akan mampu belajar dari pengalaman kegagalannya itu. Yang justru sering terjadi, ia mengulangi pola yang sama dalam mencari pasangan hidup. Bila Anda katakan bahwa dalam perkawinannya yang lalu ia memang malas mencari nafkah, nampaknya, dalam hal mencari istri suami memang berharap bahwa ia tidak harus memikul beban ekonomi keluarga terlalu besar, sehingga dengan kondisi ia di PHK, pesangonnya terasa cuku-cukup saja untuk hidup. Padahal uang tersebut hanya cukup untuk dirinya sendiri, bukan untuk hidup keluarganya. Ciri-ciri pria berkepribadian tidak dewasa nampaknya tersaji cukup lengkap dalam diri suami, yaitu keinginan untuk maju dan mengembangkan diri yang sangat kecil, haus dihormati dan disegani tetapi perilakunya jauh dari gambaran yang ingin ia ciptakan tentang dirinya sendiri. Dari sisi ekonomi ia pun tak bisa memberi perasaan aman pada istri dan keluarganya. Padahal, kita akan merasa aman secara ekonomi bila suami memiliki penghasilan yang relatif tetap, apalagi bila didukung oleh karir yang mantap perkembangannya, bukan? Saya sampai takut pembaca rubrik ini menjadi bosan kalau saya katakan bahwa perempuan biasanya memutuskan untuk menikah ketika ia merasa bahwa laki-laki yang akan ia kawini bisa memberinya 3 hal. Yang pertama adalah cinta. Cintalah yang biasanya muncul pertama kali dan mendorong keduanya untuk lebih mengintensifkan interaksi agar bisa saling mengenal dan meyakinkan diri masing-masing bahwa bersamanya kita akan mendapatkan banyak hal-hal positip dan menyenangkan. Yang kedua adalah perasaan aman yang diperoleh dari 2 hal utama, yaitu dari sisi ekonomi sebagai pendukung kelangsungan penanggulangan biaya rumahtangga. Ketiga adalah rasa aman dari sisi psikologis yang datang dari perasaan bahwa pendamping kita adalah pria yang matang, melindungi kita dan membuat kita merasa dibutuhkan di sisinya. Ketiga faktor ini biasanya saling menguatkan, sehingga ketiadaan salah satunya biasanya membuat jalannya rumah tangga terasa timpang. Nah, pada pasangan dengan beda usia yang jauh seperti Anda, biasanya faktor nomor dua menjadi cukup dominan karena baik Anda berharap bahwa secara ekonomi suami akan makin mapan di usianya yang sudah cukp banyak itu. Celakanya, karena sang suami sadar akan hal ini, ketika pada kenyataannya ia tak bisa memenuhi ini, alih-alih ia mengakui kelemahannya dan mengijinkan istrinya ikut berkontribusi mencari uang juga, ia malah aktif benar menciptakan situasi dimana sang istri diharapkannya merasa diri tak berdaya dan tak sehebat suaminya. Tak heran bila ia lalu menjadi diktator, sok kuasa, bahkan dalam banyak perkawinan, malah istrinya tak boleh mencari uang di luar rumah. Lalu, ia juga sering sekali menggarisbawahi bahwa ia adalah kepala keluarga yang harus dituruti, dihormati dan seterusnya ( tetapi giliran rekening PLN datang, pura-pura tak dengar waktu istrinya meminta uang untuk membayar!). Istri-istri dari perkawinan jenis ini biasanya tampak taat dan patuh pada sang suami, tetapi ketika ia merasa dana untuk kelangsungan rumah tangga tak tercukupi, maka ia akan nekad. Entah nekad untuk melanggar larangan suaminya dan kemudian bekerja, atau nekad untuk mencari PIL, pria lain yang bisa memberinya dukungan dana untuk melanjutkan kehidupan ekonomi keluarganya. Dalam kondisi ini, reaksi sang istri terhadap tekanan sang suami biasanya lalu tampak mencengangkan. Ia bisa jadi berani melawan, tidak takut bercerai dan menampilkan pprilaku yang seolah-olah bukan dirinya. Karena sekarang dia sadar bahwa cinta saja memang tak pernah cukup untuk bisa menopang kelangsungan sebuah perkawinan. Karir yang tidak jelas, penghasilan tak menentu, ataupun kebiasaan boros adalah sumber keretakan eprkawinan yang sering tidak kita anggap serius, karena "kurang seru" memang kalau dibanding dengan cerita perselingkuhan, misalnya. Nah, kembali pada kasus Anda, masih sanggupkan Anda memperbaiki komunikasi agar kali ini suami belajar mendengarkan Anda dan menghargai Anda sebagai istrinya dan bukan sebagai 'tamatan SMA' saja? Bila Anda merasa tak tahan lagi, maka perceraian emmang nampaknya adalah jawabannya. Tetapi untuk yang ini, saya sarakan Anda pikirkan matang-matang sembari melontarkannya juga pada suami. Bukan dalam bentuk ancaman tetapi sebagai sebuah bahan pembicaraan, bagaimana sebenarnya harapan Anda terhadap perkawinan ini, dan ceritakan padanya hal-hal apa yang bisa membuat Anda membuat keputusan untuk bercerai. Bila tidak terlihat ada perubahan perilakunya, Anda berhak kok untuk mencari kebahagiaan bagi hidup Anda. Artinya, bercerai baik-baik, tak perlu sampai saling membeberkan aib, tetapi sepakati hal-hal yang masih bisa disepakati dalam bingkai perceraian yang akan terjadi. Dengan demikian, beban psikologisnya juga tak makin berat seperti kalau kita harus bermusuhan dan bahkan saling menjelek-jelekan pasangan hidup. Mudah-mudahan Anda makin kuat dan tabah, dan yang paling penting, Anda makin mampu mengenali apa sebenarnya keinginan Anda untuk perkawinan ini. Salam hangat.