KDRT, Cerai Bukan Satu-satunya Solusi (Bagian 2)

By nova.id, Minggu, 5 Juli 2009 | 22:18 WIB
KDRT Cerai Bukan Satu satunya Solusi Bagian 2 (nova.id)

Modus Baru Beberapa bulan belakangan ini, berkembang sebuah modus baru seputar KDRT yang ditangani Asni. "Bila kemarin-kemarin itu korban melapor untuk bisa bercerai dari pasangannya. Sekarang pasangannya mempunyai trik atau modus baru untuk menangguhkan keinginan tersebut."|

Modus yang dimaksud Asni adalah mengambil anak secara paksa. "Dengan menahan atau mengambil anak, ia berharap pasangan tak jadi lapor polisi." Polisi pun tidak bisa berbuat banyak karena belum ada keputusan cerai atau hak asuh anak yang dikeluarkan Pengadilan.

Di sisi lain, kata Asni, sosialisasi UU KDRT harus terus dilakukan untuk menyadarkan masyarakat. "KDRT itu bentuknya tak hanya kekerasan fisik seperti tindakan yang mengakibatkan luka fisik. Entah itu secara langsung atau alat bantu. Lecet atau lebam saja sudah dinyatakan KDRT."

Ada hal-hal kecil yang luput dari perhatian penegak hukum dan masyarakat. Salah satunya adalah ketika suami melarang istri dalam bekerja atau sebaliknya. Sehingga istri tergantung secara ekonomi pada pasangan. Itu sudah masuk KDRT."

Lintas Batas Menyangkut kekerasan secara psikologis, LBH APIK kerap bekerjasama dengan Yayasan Pulih yang terletak di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Vitria Lazzarini (33), Koordinator Divisi Layanan Langsung Yayasan Pulih menyatakan bahwa sejak Yayasan Pulih didirikan pada 2003 lalu, sudah berhasil membantu beberapa korban KDRT untuk kembali pulih dari trauma yang dialaminya. "Kami terus mendampingi korban selama dibutuhkan," tuturnya.

Proses pendampingan yang diberikan Pulih sebenarnya tak terbatas pada para korban KDRT saja. "Kami juga mendampingi korban-korban kekerasan lain, yang bersifat pribadi dan yang bersifat massal seperti korban-korban kerusuhan," tukas lulusan Magister Profesi Klinis Dewasa Universitas Indonesia tahun 2001 ini.

Dalam menangani setiap korban kekerasan, "Kami tak hanya membantu mereka untuk menyembuhkan diri dari trauma yang dialami atau memutuskan jalan apa yang akan mereka tempuh dengan risikonya. Tapi juga membangkitkan kemampuan mereka untuk bisa mandiri. Diantaranya memberikan informasi kursus atau lembaga-lembaga yang memberikan dana bergulir."

"Tak hanya korban kekerasan saja yang datang ke sini. Pernah pula, suami istri sama-sama datang ke sini untuk mengikuti konseling yang kami berikan semacam konseling pernikahan."

Selama menangani kasus KDRT, penyebab utama lantaran tidak adanya kesetaraan dalam keluarga. "Pemicunya bisa macam-macam. Enggak melulu soal faktor ekonomi atau stres di tempat kerja."Pelaku KDRT pun, kata Lia tidak bisa disamaratakan, "Pendidikan rendah dan tinggi pun bisa jadi pelaku, usia apapun bisa jadi pelaku, status ekonomi apapun bisa jadi pelaku, agama apapun bisa jadi pelaku, ras apapun bisa jadi pelaku. Jadi murni ketiadaannya keseteraan dalam rumah tangga," tuturnya.

Korban KDRT yang datang ke Pulih dinyatakan Lia akan merasa sangat aman. "Identitas kami lindungi. Mereka juga kami kasih beberapa pilihan jalan keluar. Dari mulai cerai, gugatan perdata atau pidana. Yang pasti, semua pilihan itu kami jelaskan risikonya. Semua kami serahkan ke klien."

Terhadap korban KDRT yang sangat-sangat terancam, "Kami mempunyai kerjasama dengan lembaga lain yang menyediakan Rumah Aman bagi klien yang membutuhkannya," ungkap Lia.

Bagi korban KDRT yang ingin menjalani konseling di Yayasan Pulih, "Kami meminta bayaran tergantung dengan kemampuan klien. Minimal Rp 7.500, maksimal Rp 125 ribu. Tidak perlu surat RT atau RW, based on trust aja. Kadang korban KDRT yang datang dengan mobil mewah, baju bagus, dan handphone terbaru tapi enggak punya uang. Karena memang enggak diberikan uang oleh suaminya."Edwin Yusman