Ibu Rieny yang terhormat, Saya sangat suka Rubrik Psikologi yang Ibu asuh. Apa yang Ibu sampaikan, menambah kekayaan batin saya (Terima kasih - RH). Usia saya 23 tahun dan sudah menikah dengan lelaki pilihan saya, usianya terpaut 10 tahun lebih tua. Kini usia perkawinan kami telah menginjak masa 3 tahun. Selama 2 tahun, kami menikah siri dan baru setahun ini resmi menikah, tapi belum dikaruniai anak. Kami pun pernah berpacaran selama setahun sebelum menikah. Saya termasuk terbuka dan memiliki keluarga yang harmonis.Sedangkan suami orangnya sangat introvert dan misterius. Dia tak pernah masuk dalam lingkup pergaulan temanteman kerja saya. Sejak pacaran, suami tidak mau terbuka dan terkesan menutupi masa lalunya. Sampai akhirnya saya dengar dari orang yang bisa dipercaya bahwa dulunya dia seorang playboy, gonta-ganti pacar, nge-drugs dan suka minumminuman keras. Kalau saya tanya, dia hanya bilang bahwa masa lalunya kelam dan tak perlu diungkitungkit lagi. Dan menurut penilaian saya (sejak kenal dia hingga detik ini), dia tidak pernah nekoneko, perhatian, sabar, dan sayang sama saya. Seharusnya saya bersyukur, karena dia orangnya juga ganteng dan baik. Mertua ataupun keluarganya juga bersikap baik pada saya, apalagi ibu mertua, sangat baik dan sayang sama saya. Masalahnya, saya ini posesif dan cemburuan. Sekitar 2 minggu lalu saya menemukan surat cinta buat suami dari seorang perempuan (sebut saja R). Juga, bukubuku pelajaran yang bertuliskan nama R dan nama suami saya (sebut saja A). Jantung ini rasanya mau copot dan hampir pingsan membaca/melihat semuanya itu. Semua orang mungkin akan menertawakan saya, karena surat dan lain sebagainya itu ditulis 14 tahun lalu. Hanya, sampai sekarang masih rapi tersimpan. Persoalan ini mungkin sepele bagi sebagian orang, tetapi sifat orang kan macammacam ya, Bu. Saya sampai insomnia berat selama 2 minggu terakhir ini. Saya takut suami masih mengingat mantan pacarnya, karena segala hal tentangnya masih ada. Lagipula, saya mendengar cerita dari ibu mertua bahwa dulu, A dan R sudah 7 tahun berhubungan, tapi akhirnya mereka pisah karena R dipaksa kawin oleh orang tuanya dengan orang lain yang satu suku dan sangat kaya. R akhirnya lari ke rumah suami dan minta izin tinggal bersama di rumah. Ibu mertua tentu tidak setuju, karena waktu itu suami belum kerja dan masih kuliah. Entah akhir ceritanya bagaimana, saya tidak menanyakan, sampai kemudian suami menjalin hubungan dengan N, tapi ibu mertua tidak setuju karena beda agama. Bu, mungkin persoalan akan jadi lain bila suami cerita soal kisahnya itu saat kami masih pacaran. Saya bisa menerima dia dan masa lalunya. Masalahnya, saya pernah membaca bahwa lelaki yang tertutup dan tidak berterus-terang soal masa lalunya artinya masih belum bisa melupakan mantannya. Benarkah itu, Bu? (belum tentu, karena berterus-terang pun tidak harus berarti melupakan masa lalu, sementara orang yang terbuka pun tetap berpeluang untuk tidak mau melupakan masa lalunya - RH) Mohon saran dari Ibu, bagaimana cara menghalau pikiranpikiran buruk, karena sempat terpikir di benak saya, mungkin R sudah menyerahkan dirinya pada suami sebelum ia menikah dengan orang lain yang tidak dicintainya. Kini, setiap kali dekat dan melihat suami, saya seakan dibayangbayangi mantannya itu. Suami pun laksana orang asing di mata saya. Saya ingin pergi jauh mencari kerja di kota lain supaya tidak ketemu suami, tapi keinginan itu hanya sampai di hati. Suami juga pernah mengancam, lebih baik berpisah daripada terus diwarnai pertengkaran dan saling acuh.Katanya, saya harus mengubah sifat saya yang hanya mengungkit/mempersoalkan masa lalu, padahal saya hanya mempersoalkan kenapa surat yang sudah berumur 15 tahun masih ia simpan. Saat surat ini saya tulis, saya dan suami sudah berbaikan, Bu, tapi, perasaan, pikiranpikiran buruk selalu membayangi/menghantui. Bagaimana cara menghilangkannya ya Bu? Saya sangat tersiksa dan merasa saya dibohongi suami. Rasanya, saya seperti patah hati, terluka dan pedih hati saya, Bu. Saya sulit menenangkan hati dan perasaan. Bagaimana nanti dengan kelangsungan rumah tangga kami? Tolonglah saya Bu, terima kasih. Ny. X - somewhere
Ibu X yang terhormat, Cara kita melihat permasalahan memang amat ditentukan oleh bagaimana perasaan yang sedang mendominasi diri di saat itu. Cobalah Anda duduk di sebuah ruangan dan mulai menghitung apa saja yang Anda lihat di ruangan tersebut pada saat Anda duduk itu. Tulis jumlahnya, lalu perhatikan lagi ruangan itu selama 10 menit, mulai lagi menghitung, ada berapa macam yang Anda lihat. Bisa benda, bisa warna, benda hidup atau mati, di atas, di bawah, dan seterusnya. Tulis lagi jumlahnya. Anda pasti akan mendapati bahwa dalam selang waktu 10 menit, jumlah itu sudah berbeda. Biasanya, bertambah banyak yang Anda lihat, karena di kesempatan kedua, Anda sudah lebih seksama mengamati. Ilustrasi sederhana tadi mau menggambarkan bahwa proses pengamatan manusia amatlah terbatas bila dibandingkan dengan ketersediaan jumlah apa-apa (benda, mahluk hidup, tumbuhan, dan sebagainya) yang dapat masuk ke dalam pengamatannya. Karena itulah, dalam melakukan pengamatan, manusia lalu melakukan seleksi alias memilih apa yang sedang akan dijadikannya hal yang ia amati (atau bisa juga teramati olehnya). Dan ini yang kemudian kita katakan sebagai pusat perhatian, fokus maupun prioritas pengamatan. Yang paling sering terjadi, hal-hal di atas dipengaruhi oleh perasaan yang sedang bekerja dalam diri seseorang. Maka, kita perlu sekali menyadari bahwa yang memengaruhi kita bukanlah apa yang kita amati atau apa yang sedang terjadi pada kita, melainkan justru perasaan kita terhadap hal-hal tersebut. Di dalam perkawinan, perbedaan pengamatan, cara pandang, atau istilah yang lebih keren persepsi, inilah yang acapkali memicu ketegangan-ketegangan yang tidak selalu perlu dan bermanfaat, sebenarnya. Dan, hanya dengan berkomunikasilah kesenjangan yang berdampak pada perbedaan itu lalu dapat diatasi. Wah, saya sudah melompat kepada cara mengatasinya. Mari kita kembali pada masalah utama Anda yang jengkel karena "hanya" pertanyaan: "Kenapa surat 15 tahun lamanya masih disimpan?" bisa membuat suami demikian jengkelnya. Bagaimana kalau ternyata, bila suami ditanya kenapa ia marah, ia juga berbalik mengatakan: "Wong hanya surat kok, kenapa harus dipermasalahkan?" Buntu kan, jadinya? Bicara perasaan, Anda ini saya bayangkan seperti seorang "tuan tanah" tempo doeloe yang bukan hanya berkuasa atas tanah yang ia miliki, tetapi juga orang-orang yang hidup di atas tanahnya termasuk juga anak-anaknya dan mau jadi apa anak-anak itu nantinya! Bu X, ketika 2 orang mengikatkan diri dalam sebuah perkawinan, ada 2 hal yang akan tetap menjadi milik pasangan kita 100 persen selamanya. Yang pertama adalah keimanannya (dalam hal ini hanya ia dan Tuhan yang tahu), dan yang kedua adalah alam pikirannya. Kita tak pernah punya kuasa untuk tahu, apalagi mengendalikan kedua hal tadi. Alam pikiran berisi apa yang sedang menjadi fokus perhatiannya saat ini, apa isi kenangan masa lalunya dan bahkan juga bagaimana sesungguhnya perasaan cintanya pada kita? Bukankah dalam ikatan perkawinan, kita cuma berpeluang untuk menangkap kesan-kesan saja dari apa yang (kita pikir) ada dalam benak pasangan hidup kita? Maka, jangan heran kalau unsur perekat perkawinan yang paling utama setelah komitmen adalah TRUST alias kejujuran. Makin jujur kita mengungkapkan isi pikiran yang terkait dengan cinta, kasih sayang dan kepedulian pada pasangan hidup kita, disertai keselarasan dalam sikap dan perilaku, makin besar pula peluang kedekatan yang akan terbina. Mana ada sih pria misterius bisa kita cintai sepenuh hati? Yang ada, kita akan merasa deg-degan bila berada di sampingnya, kalau kita tak pernah yakin siapa sih dia sebenarnya. Dalam kondisi permasalahan yang Anda rasakan, saya anjurkan Anda berpegang pada 3 pertanyaan mendasar sebelum Anda telanjur "Bersakit-sakit hati dahulu, makin sakit hati kemudian," karena keluhan terasa tak ditanggapi serius oleh suami! Yang pertama, Apa yang sebenarnya Anda inginkan dari suami dengan mempermasalahkan hal itu (kenapa surat masih disimpan). Kalau Anda jawab, "Saya ingin kejujurannya tentang hal itu," tanyakan pertanyaan kedua, Kenapa? Di sini kita mencari penyebabnya, tetapi ingat, harus dikaitkan dengan manfaat yang akan diperoleh di masa kini bila ini terjawab. Artinya, kita perlu sangat berhati-hati bila mempermasalahkan sesuatu yang jelas-jelas sudah tak ada dampaknya terhadap pernikahan sekarang. Toh suami tak pernah bicara tentang perempuan itu, toh Anda tidak dibanding-bandingkan dengan dia, toh dia juga tak pernah muncul mengganggu suami Anda? Yang ketiga, yang paling membutuhkan kejujuran saat menjawabnya adalah, Apakah benar memang ini masalah utamanya? Perempuan adalah makhluk Tuhan yang paling pandai berkilah di muka bumi ini, sementara lelaki adalah mahluk-Nya yang paling suka hal-hal yang "praktis-praktis saja"! Benda (surat cinta) yang di mata suami mungkin sudah berubah menjadi sebuah "monumen" atau kesejarahan masa lalunya, tetaplah sebuah benda baginya, yang tak perlu mendatangkan emosi atau perasaan apa pun walau ia simpan, sehingga ia merasa terganggu ketika Anda mempermasalahkannya. Jangan-jangan, Anda punya kebutuhan yang demikian besar dalam diri Anda untuk "menguasai "suami, sehingga apa-apa yang di masa lalu merupakan kenyataan bahwa ia toh pernah punya hati untuk perempuan lain, selain Anda, lalu mengganggu perasaan kepemilikan Anda padanya. Maaf ya, Bu X, saya kok menduga justru hal inilah yang memicu rasa tak senang dan tak nyaman di hati Anda. Akarnya adalah kebutuhan untuk memiliki power, sementara para suami biasanya justru paling sensitif kalau istrinya sudah masuk ke wilayah ini, karena ia juga punya kebutuhan besar untuk merasa memiliki power atas istrinya, bukan? Nah, jangan malu untuk mengakui bahwa Anda membesar-besarkan masalah, kalau ternyata jawaban atas ketiga pertanyaan tadi tidak memberi penguatan atau pembenaran atas perasaan yang kini melanda Anda. Kalau kemudian hati nurani Anda mengatakan, "Iya ya, kok aku meributkan hal yang kalau tak aku ungkit-ungkit sebenarnya tak berpengaruh pada kehidupanku kini," itulah saatnya Anda menguatkan diri dan meningkatkan keyakinan diri bahwa toh akhirnya, Anda yang dipilih suami untuk mengarungi kehidupan ini bersamanya. Sambil memantapkan hal di atas, kurangilah kebiasaan untuk "mengorek-ngorek" percintaan suami di masa lalu, kalau ini lalu hanya membuat Anda cemburu dan jengkel. Berkonsentrasilah pada hidup kita di masa kini dan yang akan datang. Bukankah kebahagiaan yang kita dambakan adanya juga di kekinian kita, bukan di masa-masa yang sudah lampau (apalagi kalau itu adalah di masa dimana kita bertemu dan berkenalan dengan suami pun belum!) Salam hangat.