Berdamai Dengan Istri Sakit Jiwa

By nova.id, Sabtu, 6 Juni 2009 | 17:36 WIB
Berdamai Dengan Istri Sakit Jiwa (nova.id)

Ibu Rieny,Dua puluh satu tahun sudah usia perkawinan saya, 21 tahun juga hidup saya terancam oleh istri sendiri. Kami menikah di kota kecil B (Kaltim) tanpa kehadiran orangtua saya. Selain tidak ada biaya, mungkin juga orangtua sudah punya firasat tidak enak. Biasanya perasaan orangtua lebih peka apa terhadap apa yang akan bakal terjadi pada anaknya, bukan? Dulu saya merupakan anak kebanggaan dan diharapkan dari orangtua, tapi kenyataan sekarang malah sebaliknya. Saya hidup bersama istri dan ketiga anak yang mulai menginjak remaja. Kami hidup biasa-biasa saja, mungkin malah bisa dikatakan sedikit kekurangan karena adik kandung saya masih membantu kekurangan keuangan keluarga saya tiap bulannya. Khususnya untuk biaya pendidikan anak-anak saya. Saya bingung dan was-was terhadap perkembangan jiwa istri saya. Entah sudah berapa tempat istri saya berobat baik secara medis maupun non medis. Sekarang saya sudah tidak punya apa-apa lagi buat biaya berobat. Ijazah sarjana yang saya peroleh dengan bekerja kerash bertahun-tahun akhirnya habis dirobek-robeknya. Mata kiri sempat kabur penglihatannya beberapa bulan setelah dipukul olehnya. Bahkan, pernah tengah malam saya mendadak dibangunkan oleh Tuhan, dan ternyata tangan istri sudah memegang golok dihadapan saya. Pisau diayun-ayunkan di depan wajah saya. Kejadian seperti itu menjadi pemandangan biasa bagi anak-anak kami. Saya sangat prihatin sekali dengan perkembangan jiwa ketiga anak saya, apalagi kalau melihat langsung papanya dianiaya oleh mamanya. Anak yang pertama (laki-laki) kalau melihat kejadian tersebut jadi stres dan mudah marah, sedang anak kedua (perempuan) seluruh badannya gemetar dan kosong pandangannya, dan anak ketiga (perempuan) lebih banyak mengurung diri di kamar. Saya tidak ingin melihat perkembangan jiwa anak-anak terganggu. Akhirnya saya putuskan agar anak pertama menempuh pendidikan di luar kota di kota B (ada bantuan dari adik kandungku), anak kedua juga sekolah di luar kota tempat kelahiranku (diasuh oleh ibuku), sedang anak ketiga ikut kami (karena tidak mau pisah dengan papanya). Dulu istri saya sakitnya tidak begitu parah seperti sekarang. Apakah hidup kekurangan bisa menambah sakit istri saya? Apalagi hidup di kota besar seperti Jakarta. Istri saya pernah minta dibelikan mobil dan rumah yang lebih besar. Dia memang berasal dari keluarga yang lebih dari cukup. Sampai kapankah kesabaran saya ini bisa bertahan, Bu? Kami memang pernah ada niat untuk bercerai, itu juga usulan dari anak pertama saya. Tapi akan saya kemanakan istri saya jika bercerai, mengingat keluarga istri saya tidak ada yang mau menerima? Apa saran Ibu Rieny?SITO-JAKARTA

Pak Sito yth, Saya turut prihatin atas apa yang terjadi dalam perkawinan Anda. Dua puluh satu tahun bukanlah waktu yang singkat, bila apa yang Anda ceritakan itu benar adanya. Sayangnya, Anda tidak bercerita lebih jauh, apa yang pernah dikatakan oleh psikiater tentang penyakit istri Anda. Apakah Anda sudah membawa istri ke psikiater? Lazimnya, bila Anda berkonsultasi dengan ahli jiwa, akan ada informasi mengenai apa saja faktor pencetus gangguan yang diderita. Waham atau halusinasi yang diderita, tampaknya sejenis paranoid, karena agresivitas yang tinggi. Biasanya, untuk mencegah amukan yang tinggi intensitasnya, ada obat yang harus diminum secara teratur. Lebih jauh lagi, Anda dan anak-anak mustinya juga dibekali kiat-kiat untuk hidup berdampingan dengan si pasien. Coba kenali faktor-faktor apa saja yang bisa mencetuskan gangguannya dan bagaimana pula memberi pertolongan pertamanya bila ia mengamuk. Selebihnya, bila diagnosisnya telah diketahui, dengan kemajuan teknologi yang ada sekarang ini, pasti mudah bagi Anda mengakses data dari internet ataupun mencari referensi dari buku-buku yang membahas gangguan kejiwaan secara populer. Bila ia berasal dari keluarga berada, lalu hidup kekurangan karena penghasilan Anda yang tidak besar, bisa saja keinginan dan harapan yang tak terealisir bisa berdampak pada stres berkepanjangan. Dipadu dengan kepribadian yang labil dan tidak matang alias manja, maka daya juang tentu rendah sehingga seseorang akan lebih mudah frustrasi dan putus asa kala menghadapi kesulitan. Apapun penyakitnya, Pak Sito, kalau orang-orang di sekitar si sakit memiliki pemahaman yang benar tentang pencetusnya, pencegahannya dan hal-hal terkait dengan perjalanan penyakitnya, akan menyebabkan mitos yang beredar di masyarakat, maupun kekhawatiran yang tak berdasar, bisa dikurangi dan membuat lingkungann si pasien bisa lebih nyaman bersamanya. Anak-anak lalu punya peluang untuk lebih mau mendekat ke ibunya, karena banyak sekali peneletian yang menemukan bahwa emotional bounding, ikatan emosi yang kuat antara ibu dan anak, atau ayah dan anak, akan menyebabkan ayah atau ibu yang menderita gangguan jiwa ini masih bisa melakukan kontak-kontak dalam korodor realitas yang memadai. Artinya, walau tak setiap waktu, tetapi, melarang ia untuk melakukan hal agresif misalnya, masih punya peluang dituruti apabila dalam keseharian, utamanya dalam kodisi ia sedang sadar, terbina hubungan batin yang kuat. Saya pernah punya rekan yang ibunya menderita gangguan jiwa dan kalau pengasuhnya lengah, ia cepat sekali memanjat genteng rumahnya dan duduk di wuwungan rumah. Hanya teman ini yang bisa mengajak ibunya turun, tak lain karena dari sekian banyak anak-anaknya, memang hanya dia yang terus mencoba menjalin hubungan emosional yang kuat dengan ibunya, sehingga sang ibu bisa menurut padanya. Bahasa kasih sayang adalah bahasa universal yang paling mudah dipahami, bukan hanya oleh manusia, oleh hewan peliharaan, bahkan tanaman kesayangan sekalipun. Berkali-kali saya memelihara suplir yang dicari oleh penjaga kebun saya di gunung, tumbuh subur kalau saya rajin mengajaknya bicara, atau memuji daunnya yang cantik, saat saya menyiramnya. Dan, pohon itu meranggas bahkan mati kalau saya lama tak "menyapa"nya. Coba kumpulkan lagi data yang pernah ada untuk merancang ulang, bagaimana menyiasati istri Anda dalam keseharian, kali ini bersama-sama putra-putri yang sudah dewasa dan bisa diajak bicara. Menghindar, bukanlah pemecahan masalah, tetapi bila bersekolah dengan biaya kerabat, tentu saja tidak apa-apa, karena ini adalah upaya untuk memungkinkan anak-anak punya peluang menempuh pendidikan yang baik, bukan? Karena 21 tahun berjalan Anda sudah terbukti bisa menanggulangi gejolak yang ada, bolehkah saya menyarankan agar sekali lagi Anda bawa dia ke dokter dan lakukan hal-hal yang saya sarankan di atas. Minum obat secara teratur, mencegah munculnya faktor pencetus, usahakan membangun hubungan penuh kasih sayang antara ayah-ibu dan anak sehingga bisa saling mendukung, dan berdayakan anak-anak agar mereka juga merasa punya tanggung jawab untuk membuat ibunya berada dalam kondisi terbaik.Jadi, bukan menghindarinya atau malah meniru marah-marahnya. Mudah-mudahan Pak Sito tetap punya kesediaan mendampingi Bu Sito, apalagi kalau saudara-saudara kandungnya tak mau menerima beliau. Bukankah ia ibu dari anak-anak Anda, dan dulu, di saat Anda memutuskan untuk mengawininya, ada banyak harapan-harapan indah yang ingin Anda wujudkan bersamanya, bukan? Salam hormat.