Bu Rieny yth, Saya bungsu dari keluarga tidak mampu dan sejak umur 7 tahun dipelihara oleh tante saya yang ekonominya lebih dari cukup. Sejak saat itu, saya memanggil mereka dengan sebutan Mama dan Papa. Segala kebutuhan materi saya terpenuhi. Namun tidak begitu dengan kebutuhan emosional, karena Papa otorieter, protektif, keras, disiplin, kaku, dingin, dan tidak tahu bagaimana caranya menghargai anak. Saya amat sangat jarang sekali dipuji bila dapat nilai bagus tetapi selalu dimarahi jika dapat nilai buruk atau bandel. Papa hampir tidak pernah mengajak bercanda atau bercerita yang lucu - lucu (menyenangkan ) yang membuat suasana rumah jadi ceria. Saya merasa Papa adalah orang yang tidak senang jika melihat orang lain tertawa, demikian pula Mama. Di masa kecil saya amat sangat jarang sekali (saya tidak mau mengatakan tidak pernah ya Bu....) mendapatkan kasih sayang ataupun kehangatan & kekaraban seperti yang terjadi dalam keluarga teman - teman saya. Saya hanya belajar, belajar, belajar...., seperti anak pingit .... dilarang main, saya juga tidak terbiasa untuk mengekspresikan perasaan, pendapat, ataupun apalah. Di rumah saya selalu tertekan. Bisa jadi itu yang membuat saya jadi sering sakit kepala. Sebagai pelampiasan, saya lebih senang menghabiskan waktu di sekolah dengan mengikuti les dan ekstrakurikuler. Saat saya tamat SMP, Papa dan Mama pensiun. Beliau memilih tinggal di kampung halamannya di Jateng. Kondisi itu membuat saya bingung. Karena tak tahan dengan pola asuh beliau, maka saya memilih kembali ke Jakarta, tinggal bersama orang tua. Pasalnya, jika ikut Papa dan Mama selain membuat perasaan terus tertekan, saya juga bingung jika harus mengurus persyaratan pendaftaran SMU. Sementara jika tetap di Sumatera, saya tak ada kerabat dekat tempat menumpang. Di Jakarta saya melanjutkan di sekolah perawat. Saya menyelesaikan dengan nilai baik. Pada saat itu orang tua saya pensiun dini lantaran perusahaannya bangkrut dan memilih pulang kampung (ke kota yang sama dengan Mama/Papa tinggal ) karena tidak sanggup menanggung biaya hidup di Jakarta yang tinggi. Saya mengambil keputusan melanjutkan sekolah dan mengikuti ujian di Fakultas Kesehatan Masyarakat Indonesia, eh...ndilalah kok lulus Bu Rieny, meskipun dalam memilih jurusan tidak dalam pertimbangan matang. Setelah menghadap ke Mama & Papa dengan berbagai pertimbangan dan argumentasi saya, akhirnya keluarlah dana "IMF" saya untuk kuliah meski sangat pas - passan ( minim). Saya belajar dengan sungguh - sungguh, baik, tekun, dan penuh tanggung jawab. Uang kuliah selama 3 tahun diberikan kepada saya sekaligus. Saya bisa mengelolanya tanpa ada penyelewengan. Selama itu juga saya melihat, menilai dan, belajar pada orang-orang yang saya anggap memiliki kompetensi lebih agar saya mendapat ilmu ataupun pandangan yang berguna & bermanfaat dari mereka. Saya bertekad menjadi anak yang mandiri, kuat, dan tegar hingga saya merasa tidak memiliki ikatan emosional yang kuat terhadap orang tua karena memang kami jarang sekali berinteraksi, berkomunikasi. Selain itu memang tidak ada yang dapat saya banggakan dari keluarga saya, tidak ada nilai/pelajaran positif yang dapat saya petik dari orang tua yang dapat saya jadikan contoh dan bekal hidup untuk ke depan nanti. Saya jarang ngobrol - ngobrol tentang keluarga saya pada kawan - kawan, karena saya merasa minder ( malu ). Saya sadar Bu, saya tidak boleh begitu, dan pelan - pelan saya belajar untuk dapat menerima diri sendiri maupun kondisi orang tua. Perlahan -lahan saya belajar mengakui, menerima kenyataan, bahwa saya ini memang orang miskin. Kini saya telah lulus & sudah bekerja, serta masih kos. Dan saat ini saya baru rasakan, betapa letihnya saya selama ini, betapa gersang atau hampanya saya selama ini mengarungi hidup seorang diri, setiap keputusan saya buat sendiri, saya telan sendiri, saya atasi sendiri, ketika jatuh saya bangun sendiri. Saya lelah Bu, hingga saya terbentuk menjadi pribadi yang pendiam, penyendiri, kurang tegas, kurang PD ( percaya diri ), dan paling banyak pertimbangan ( plin - plan ) dalam membuat/mengambil keputusan. Ibu Rieny, saat ini saya punya rencana menikah. Saya memang tidak banyak kenal dengan lelaki, sehingga saya merasa lelaki yang sedang jalan dengan saya sekarang ini yang terbaik bagi saya, karena saya tidak mengerti yang baik untuk saya yang bagaimana, seperti apa. Adapun yang masih mengganjal pikiran ,saya masih kurang begitu sreg dengan dia lantaran jika saya ingat - ingat karakternya mirip dengan Papa saya dulu, dia keras, disiplin, mandiri, tidak hangat. Bedanya dia mampu membuat saya tertawa dengan banyolannya. Lalu, gaya bahasanya meng-underestimated-kan saya, walau dia bilang cuma bercanda. Selama ini saya sudah cukup capek dengan perlakuan pola didik Papa dulu terhadap diri saya, saya rindu oleh sentuhan hangat/sejuk, kalimat - kalimat positif dan motivasi yang mampu mengutakan saya percaya diri dan saya ingin punya suami yang mampu mengubah saya jadi pribadi yang hangat. Saya merasa dia ingin membentuk saya menjadi pribadi yang bicaranya ramai, suka basa - basi ( sementara sayanya tidak suka ), kemudian disiplin, selama ini saya merasa cara dia memperlakukan saya " agak keras " sehingga ketika saya berada di dekatnya kadang saya merasa harga diri saya drop, dan rasa percaya diri saya DOWN. Saya tidak meminta Ibu untuk membikin keputusan untuk saya, apakah harus menikah atau tidak. Tapi memberikan pandangan apakah sikap calon suami itu masih dapat berubah asalkan dibicarakan berdua ? Saya pernah berkonsultasi dengan psikiater, dan beliau bilang, jika kondisinya terus menerus begitu dikhwatirkan bakal terjadi sexual abuse, apa betul begitu ? Terima kasih. Nona X somewhere
X Yth, Saya tidak bisa menjawab pertanyaan terakhir Anda karena psikiater itu pasti mengatakan sesuatu atas dasar apa informasi yang Anda ceritakan padanya. Kalau Anda tanya pada saya, dengan informasi yang cuma sepanjang surat Anda pada saya, saya tidak bisa memastikan apakah sexual abuse, atau kekerasan seksual akan terjadi pada perkawinan Anda kelak. Sebenarnya, masalah yang saya lihat serius di surat Anda adalah sebuah kenyataan bahwa Anda merasa begitu 'menderita' dibesarkan oleh sosok ayah angkat yang otoriter, dingin, dan cenderung merendahkan, tetapi nyatanya orang yang Anda pilih untuk menjadi suami ternyata punya gambaran kepribadian yang kurang lebih sama dengan beliau. Apakah Anda sadar bahwa walau di tataran pemikiran atau nalar ,Anda tahu dan paham tentang ini, tetapi di tataran emosi atau perasaan, Anda ternyata nyaman berhubungan dengan sosok seperti ayah. Kok bisa ya, apa yang kita pikirkan secara rasional ternyata tidak sinkron dengan apa yang kita rasakan? Bisa sekali X sayang. Memang ini adalah gejala yang melanda banyak perempuan ketika ia memilih pasangan hidup dan (mohon maaf) akhirnya menyesali keputusan setelah menjalaninya. Anda, secara tidak disadari ternyata SUDAH merasa nyaman dengan gaya interaksi yang dikembangkan ayah angkat sehingga ketika bertemu dengan sosok yang serupa tapi tak sama dengan beliau, perasaan Anda mengatakan, "Kok sosok yang begini ini rasanya tak asing ya bagiku?" Bukankah, kita nyaman berhubungan dengan orang yang tak terasa asing buat kita? Di saat itulah, pengalaman tak menyenangkan berada bersama dengan ayah, keinginan untuk tidak lagi berada dalam suasana dimana Anda merasa tak memperoleh asupan gizi psikologis kasih sayang, perhatian maupun kata-kata manis lalu terpinggirkan oleh rasa nyaman tadi. Dan ini yang membuat Anda, yang sebenarnya smart punya inteligensi yang tinggi dan berpendidikan pula, lalu terasa 'aneh' kalau dilihat dari sudut pandang orang lain .Karena, orang yang cuma melihat, mendnegar dan mengamati Anda tentu akan mengatakan, "Katanya enggak nyaman sama ayahnya, kok malah milih orang yang mirip ayahnya?" Jejak-jejak ingatan psikologis itulah yang 'menuntun' Anda ke keputusan tadi. Di titik paling rawan untuk menentukan pasangan hidup ini, idealnya seorang perempuan justru meletakan kriteria psikologis yang paling ingin ia hindari dari calon suaminya sebagai rambu utama dari keputusan apakah akan terus jalan dengan pria yang mendekatinya atau tidak. Dengan demikian, kewaspadaan untuk terjebak dalam jerat psikologis seperti yang saya terangkan tadi, bisa dihindari. Perempuan yang menikah lebih dari sekali, karena perkawinan pertamanya gagal, juga sering melakukan hal seperti ini. Ia bercerai karena 'tidak tahan' dengan perlakuan suaminya yang A-B-C tetapi, ketika ia terpikat pada pria lain yang kemudian menjadi suaminya, ternyata yang beda cuma sosok, dan namanya saja, kelakuannya mah persis sama.dengan suaminya terdahulu. Hasilnya bisa diduga, gagal lagi. Nah, berhati-hatilah X untuk membuat keputusan ya atau tidak menikah dengan pacar Anda. Jangan jadikan umur, apalagi rasa malu atau gengsi karena semua orang sudah tahu bahwa Anda jalan dengannya, sebagai alasan untuk meneruskan rencana perkawinan, bilamana masih ada keraguan walau cuma sebesar titik debu. Jauh lebih mudah menjadi gadis berusia cukup menikah tetapi lajang, daripada janda akibat perceraian, apalagi di usia muda pula. Jadi jangan percaya pada pameo yang sering kita dengar, lebih baik menjadi janda muda daripada perawan tua. Kenyamanan hidup akan kita peroleh kalau kita tahu apa yang kita inginkan dalam hidup ini, berupaya dan berikhtiar untuk mendapatkannya. Sambil pada saat yang sama meyakini bahwa keputusan akhir memang bukan kita yang mengatur, tetapi itu miliknya Allah. Dengan demikian, insya Allah, setiap langkah Anda akan dibarengi pemikiran yang ditandai oleh keseimbangan rasa dan pikir (emosi dan penalaran) sekaligus perasaan ikhlas menjalaninya. Manusia selalu bisa berubah X, tetapi makin dewasa seseorang, keputusan berubah itu seyogianya datang dari keinginan berkehendak yang mandiri dan bukan karena lingkungan atau ada orang lain di sekitar yang mengiginkan kita berubah. Padahal kita sendiri sebenarnya tak ingin berubah. Kalau berubah demi orang lain, perasaan yang mendominasi pastilah rasa tertekan dan tak bebas, karena kita harus menjadi 'orang lain', lain dari diri kita yang sebenarnya. Perkawinan tak ototmatis mengubah pasangan, walau suami atau istrinya menginginkan agar ia berubah. Sebuah perkawinan yang berpeluang untuk sukses justru ditandai oleh kesediaan masing-masing pihak untuk menerima pasangannya, mencintainya tanpa syarat (uncondtioned love) dan menghargai keinginan dan harapan pasangannya. Dari 'pintu' inilah, penerimaan-cinta tak bersayrat dan penghargaan , akan muncul keinginan untuk berubah agar hubungan bisa berjalan lebih harmonis. Tentu saja, syarat utamanya adalah kalau keduanya bisa berada pada tataran keinginan dan perasaan yang sama. Bukan yang satu 'ngotot' harus berada di atas yang lain, mendomiansi atau malah mencoba segala cara agar pasangannya selalu merasa down dan tidak berharga, agar ia yang ada di atas angin. Mudah-mudahan, ketegaran dan kekerasan keinginan untuk meraih apa yang menjadi cita-cita, yang selama ini telah membuat Anda menjadi seperti Anda sekarang ini, juga akan terulang dalam menjalani perkawinan kelak sehingga Anda benar-benar happy dan tidak malah setiap saat harus menipu diri dengan mengatakan :"Yah gimana lagi, aku kan tak punya pilihan lain?" Salam sayang...