Bukankah paha itu modelnya seperti ulekan? Jadi, pikirnya, "Oh, ini bisa buat ulekan, nih." Namun tidak demikian halnya sebelum anak berusia 4 tahun, "ia hanya mengenal benda sebagai objek, belum bisa dikembangkan sesuai imajinasinya," kata dra. Gerda K. Wanei, M.Psi dari FKIP Unika Atma Jaya, Jakarta.
Karena imajinasinya berkembang inilah, maka apa yang dituturkan anak kadang terasa ngawur dan kurang masuk akal bagi orang dewasa, sehingga kerap disalahartikan sebagai bentuk kebohongan. Padahal, terang Gerda, "anak seusia itu belum mengenal bohong dalam arti sesungguhnya. Bohongnya masih berupa bohong fantasi. Ia mengatakan yang tidak sebenarnya hanya untuk mengisi ketidaksinkronan antara realitas dengan fantasinya." Misalnya, si kecil pulang "sekolah" terlambat gara-gara mobilnya macet di jalan karena ada kecelakaan.
Meski ia tak melihat kecelakaan itu, tapi setiba di rumah, ia bisa menceritakannya, "Tadi ada kecelakaan, lo, Ma. Orangnya berdarah-darah, terus mobil ambulans datang, orangnya dibawa ke rumah sakit." Jadi, belum sampai pada bohong yang betul-betul bohong sebagaimana yang dilakukan anak usia di atas 7 tahun ataupun orang dewasa. Sehingga, kalau orang tua mengarahkannya secara benar, si kecil akan "mengaku" dengan jujur, kok.
TIGA PENYEBAB
Menurut drs. Monty. P. Setiadarma, MS/AT,MCP/MFCC dalam kesempatan terpisah, ada 3 penyebab anak melakukan kebohongan fantasi. Pertama, sebagai bentuk kompensasi. Misalnya, anak bercerita bahwa dirinya baru saja berkelahi dengan raksasa. "Heroisme ini merupakan bentuk kompensasinya. Ia tahu dirinya masih kecil dan lemah di tengah dunia yang begitu besar, sehingga ia mengkompensir dengan kehebatannya yang bisa setara dengan orang dewasa," jelas psikolog dari Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, Jakarta ini.
Penyebab kedua ialah menunjukkan ekspresi superior. Misal, sepulangnya berkunjung dari kebun binatang, si kecil dengan menggebu-gebu bercerita pada teman-temannya bahwa ia bertemu dinosaurus. "Hal ini menunjukkan superior terhadap teman-temannya, bahwa kamu belum pernah melihat dinosaurus tapi aku sudah pernah melihatnya." Si kecil ingin menunjukkan identitas dirinya dan ingin selalu diperhatikan oleh lingkungannya atau lawan bicaranya. "Ia mempunyai kesan-kesan tertentu yang bisa dieksploitasikan. Dengan bercerita demikian, maka ia akan dikerubuti oleh teman-temannya."
Yang terakhir, sebagai ungkapan keinginan. Misalnya, si Upik bercerita pada ibunya bahwa ia baru saja bertemu dengan anak kucing yang sedang mencari ibunya. "Nah, bisa jadi hal itu sebenarnya merupakan ungkapan dirinya. Mungkin ia merasa terasing dan membutuhkan perlindungan dari orang tuanya." Oleh sebab itu, orang tua seharusnya peka, jangan malah bilang, "Ah, kamu bisa saja. Masa kucing bilang begitu? Kucing, kan, nggak bisa ngomong."
Sementara soal serunya cerita yang dituturkan anak, lanjut Monty, tak bisa dilepaskan dari bacaan atau dongengan yang ia dengar maupun film-film yang ditontonnya. Bukankah anak pada usia ini sedang senang-senangnya pada dongeng/cerita, sandiwara boneka, menggambar dan lainnya yang bisa mengembangkan fantasinya?
Nah, tokoh-tokoh yang ada dalam bacaan/dongeng/film itu kerap menjadi layar proyeksi dunia anak. "Anak memproyeksikan dirinya dengan tokoh binatang, misalnya, karena ia belum bisa bicara mengenai dirinya sendiri. Ia belum bisa ngomong apa yang ia mau. Ia akan bilang, kalau anak sapi itu maunya begini, anak buaya itu maunya demikian. Padahal sebenarnya ia bicara tentang dirinya, aku, tuh, maunya begini."
Selain itu, bisa saja setelah melihat objek tertentu atau mendengar suara tertentu, ia berimajinasi tentang objek tersebut. Misalnya, mendengar suara ban meletus, anak akan berfantasi seakan-akan ada bom meledak. "Penghayatan perasaannyalah yang membuat ia berfantasi."
BERI PENGARAHAN