Sering kita saksikan anak usia ini mengambil mainan yang tengah dimainkan oleh teman sebayanya kala mereka bermain bersama. Akibatnya, si teman marah dan menangis, dan berusaha merebut kembali mainannya. Pada saat itu kita mungkin mengira si teman marah dan menangis karena mainan kepunyaannya diambil. Padahal sebenarnya tidak demikian.
"Anak usia ini belum tahu bahwa mainan itu adalah miliknya dan diambil oleh temannya," ujar Dra. Tjut Rifameutia U.Ali-Nafis, MA. "Begitupun dengan anak yang merebut mainan tersebut, bukan berarti karena ia ingin mengambil mainan itu menjadi miliknya," lanjut psikolog yang akrab disapa Tia ini. Anak itu juga belum paham bahwa mainan itu bukan miliknya.
Yang terjadi adalah, "Si anak yang merebut mainan hanya tertarik pada obyek itu dan ingin juga memainkannya pada saat itu," tutur staf pembantu Dekan III Fakultas Psikologi UI ini. Sementara si anak yang mainannya direbut hanya tahu bahwa ia cuma memegang obyek itu dan ingin memainkannya, tapi, lo, kok, diambil. "Jadilah si anak marah dan menangis lantaran kesal karena barang yang sedang dipegangnya itu diambil oleh temannya."
BERAWAL DARI KEDEKATAN
Anak usia di bawah 2 tahun, terang Tia, belum mengerti konsep kepemilikan, yakni tahu yang mana miliknya dan bukan. "Yang ada hanyalah attachment atau kedekatan antara satu individu dengan lainnya." Maksudnya, bila anak merasa tak aman, maka tokoh ibu adalah segalanya, sebagai orang yang selalu ada dan membantunya saat dibutuhkan. Misalnya, begitu anak menangis, ibu akan datang kepadanya. "Namun hubungan dekat antara ibu dan anak ini bukan dalam arti kepemilikan yang sebenarnya. Anak cuma tahu bila ia butuh sesuatu maka ada yang datang. Rasa percaya dan aman ini diperolehnya bila tokoh ibu yang datang."
Demikian pula dengan anak yang selalu membawa-bawa sesuatu benda semisal selimut, guling, boneka atau benda lainnya. "Umumnya ini pada anak usia 2 tahunan. Tapi bukan berarti ia sudah tahu bahwa benda itu adalah miliknya, melainkan lebih kepada rasa kedekatan anak pada benda tersebut. Ia merasa nyaman dengan membawa benda itu. Tapi sebenarnya anak tak perlu membawa-bawa benda itu kalau peran ibu sudah bisa menggantikan." Begitu juga dengan mainan, "Lebih karena anak ingin bermain dengan obyek itu, bukan merasa itu miliknya. Ia merasa semuanya sama saja, bukan miliknya dan bukan pula milik orang lain."
Baru pada usia di atas 2 tahun, si anak akan tahu bahwa benda tersebut adalah miliknya dan telah membuatnya merasa nyaman, sehingga orang lain tak boleh mengganggu gugat. "Jadi, mulanya lebih pada kedekatan, kenyamanan dan baru kepemilikan."
Nah, setelah si anak tahu apa-apa yang menjadi miliknya, ia pun akan tahu kapan dan bagaimana menggunakan barang- barangnya itu. "Ia pun bisa memilih mana yang akan digunakannya dari apa yang dimilikinya." Misalnya, anak punya beberapa baju. Kalau mau pergi, ia akan memilih baju mana yang hendak dipakainya. "Dan ia pun tak akan memilih dari apa yang dipunyai orang lain. Misalnya, ia tak akan memilih dari baju-baju milik kakaknya."
Jadi, tandas Tia, dengan mengetahui konsep kepemilikan, anak bisa menentukan pilihan, membuat prioritas, tak mengganggu barang milik orang lain, dan juga berbagi. "Namun semua itu tentunya harus diajarkan oleh orang tua."
DARI KESEHARIAN
Usia 2-3 tahun, menurut Tia, merupakan saat tepat untuk mulai mengajarkan konsep kepemilikan kepada anak. "Karena di usia itu anak sudah bisa mulai mengerti," jelasnya. Cara mudah mengajarinya dengan memberikan barang-barang atau sesuatu untuk si anak sambil dikatakan bahwa itu miliknya. "Mulailah dari hal-hal yang sederhana." Misalnya, "Ini baju Adik, ini pita Adik." Beri tahu hal itu secara berulang-ulang.