Tak Bisa Diatur Setelah Ditinggal Ayah

By nova.id, Jumat, 18 Juni 2010 | 17:45 WIB
Tak Bisa Diatur Setelah Ditinggal Ayah (nova.id)

Saya memiliki keponakan berusia 4 tahun, sudah bersekolah di Taman Kanak-kanak. Setiap hari dia lebih sering bersama neneknya, karena ibunya berkerja sejak pagi hingga sore, sedangkan ayahnya sudah hampir 4 bulan meninggalkan dia dan ibunya karena adanya masalah, namun status kedua orangtuanya belum bercerai.

Karena ayahnya tidak ada, keponakan saya ini sering mendapat ejekan dari para tetangga, bahkan dari ibu dan neneknya sendiri, seperti ucapan, "Emang enak enggak ada ayahnya," atau, "Kamu enggak punya ayah".

Ejekan itu membuatnya murung. Keponakan saya ini cukup pintar, bahkan sudah bisa membaca. Dia pun cukup mandiri, sudah bisa mandi sendiri bahkan memilih pakaian dan memakainya sendiri. Tapi, akhir-akhir ini saya melihat kejanggalan terjadi. Ketika ibunya pulang kerja, dia menjadi sangat manja, bahkan terkadang sering marah-marah tanpa sebab. Apakah itu upayanya untuk menarik perhatian ibunya?

Selain itu, sekarang dia sering buang air kecil dan buang air besar sembarangan. Padahal biasanya bila ingin BAK (buang air kecil) dan BAB (buang air besar) sebelumnya dia selalu bilang dan dilakukan di kamar mandi.

Apakah itu ada kaitannya dengan keadaan keluarganya sebagai efek psikologis pada keponakan saya? Bagaimana sikap kami sebagai orang-orang terdekatnya, agar sikapnya itu tidak berlanjut di kemudian hari?

Mohon jawabannya, terima kasih.

Wida Mirawati, Cicendo-Bandung

Bunda yang baik, saya merasa prihatin dengan keadaan keponakan Bunda.

Ungkapan-ungkapan dari orang di sekitarnya itu dapat memengaruhi kondisi kejiwaannya. Usia empat tahun, kondisi otak anak sudah berkembang sebanyak lebih kurang 50 persen.

Hal ini memungkinkan dia mengolah informasi dan kesan dari lingkungan sekitarnya dengan cukup. Oleh karena itu Bunda, sebaiknyalah apa yang diberi dari lingkungan baik itu nutrisi dari asupan makanan termasuk segala informasi dan kesan diusahakan untuk menjadikan anak memiliki kecerdasan kognitif dan emosi yang baik.

Apabila selama ini kita memberinya masukan-masukan lewat perkataan negatif (misalnya, "Emang enak enggak ada ayah."), semuanya akan tertangkap oleh keponakan Anda.

Apa yang dialami dalam kehidupan sehari-harinya akan menentukan bagaimana anak bersikap, bertingkah laku, termasuk pola tanggap emosinya. Ingatlah bahwa semua pengalaman emosi di masa kanak-kanak dan remaja akan membentuk sirkuit penentu kecerdasan.

Tanggapan, belaian, maupun bentakan yang menyakitkan dan sebagainya akan masuk ke gudang emosi yang pusatnya di otak. Tidak mengherankan bila kata-kata yang terucap dapat juga menyakiti perasaannya.

Bunda yang baik, bila lingkungan sekitar menginginkan anak ini menjadi anak yang cerdas kognitif dan emosinya. Saya sangat menganjurkan untuk mulai dari sekarang mengubah semua perkataan yang ditujukan pada anak. Perbanyaklah puji-pujian kepada keponakan Bunda ini.

Setiap perilaku baik yang ia tunjukkan walau sangat sederhana sekalipun langsung berilah apresiasi sehingga ia merasa gembira dan lama-kelamaan perasaan hati gembira akan berwujud perilaku baik yang menetap.

Bunda yang perhatian, perilaku manja dan marah-marah saat ibu di rumah, BAK dan BAB sembarangan adalah aksi protes yang ditujukan pada keadaan lingkungan yang tidak nyaman tersebut. Keponakan Anda dengan usia empat tahun ini belum terlatih untuk mengungkapkan perasaan atau emosi tidak nyaman yang ada di hatinya secara lisan sehingga semua ia tampilkan pada aksi yang mengganggu lingkungannya (BAB, BAK dan marah-marah).

Menurut saya belum terlambat untuk memperbaiki keadaan, sekali lagi hindarilah perkataan-perkataan yang menyakiti hati keponakan Anda.

Anjurkan juga agar Sang ibu untuk memiliki waktu minimal satu jam sehari hanya untuk berada di dekat anaknya baik untuk bercanda atau bermain bersama. Perbanyak kata-kata pujian kepada sang keponakan, sesuatu yang menyenangkan hatinya akan berbalas dengan tindakan baik juga darinya.

Jangan jadikan keponakan tersebut sebagai tempat pembalasan dendam atas perilaku ayahnya yang tidak berkenan di hati, karena apa yang terjadi bukanlah kesalahan anak.

Salam hangat penuh kasih selalu.

Tia Rahmania, M.Psi.