Anak Takut? Wajar, Kok!

By nova.id, Minggu, 11 April 2010 | 17:34 WIB
Anak Takut Wajar Kok! (nova.id)

Kendati demikian, orang tua tak perlu bersikap overprotective jika anaknya mudah merasa takut. "Justru itu akan membuatnya jadi tergantung. "Selain itu, keadaan ini juga bisa dimanfaatkan oleh anak untuk menarik perhatian orang tua. Misalnya, kala ia takut, kita langsung memeluknya dan menenangkannya dengan sangat mesra. Dalam benaknya akan tergambar, ia akan mendapat pelukan dan perhatian kalau ia ketakutan. "Nah, jangan terkejut jika untuk selanjutnya, hal kecil pun membuatnya ketakutan dan itu demi mendapat pelukan dan bujukan mesra kita."

Jika ia memang takut pada sesuatu, yang terbaik untuk mengatasinya adalah mencari pencetusnya. Memang, ini bukan hal mudah. "Perlu banyak komunikasi antara anak dan orang tua. Di situ pentingnya mendorong anak untuk selalu mengekspresikan perasaannya, sehingga latar belakang ketakutannya dapat terungkap."

Setelah pencetus ditemukan, singkirkan jauh-jauh sumber ketakutan itu dari anak. Bisa juga dengan mengemukakan kenyataan sebenarnya dari situasi yang menakutkannya itu. Kalau anak takut pada suara sirene mobil pemadam kebakaran, misalnya, jelaskan maksudnya. Katakan, "Sirene harus dinyalakan agar terdengar mobil lain. Dengan begitu, mobil lain akan menepi, memberi jalan, agar pemadam kebakaran bisa segera menolong rumah yang terbakar."

Jika si anak digigit anjing, kemukakan bahwa anjing tak akan menggigit asalkan tak diganggu. Tunjukkan pula bagaimana orang lain dapat mengatasi ketakutannya. Sering-seringlah ajak dia melihat orang bermain dengan anjing hingga ia yakin, tak ada hal yang perlu ditakutinya pada anjing.

Dengan memperkenalkan kenyataan, "Lambat laun dunia nyata semakin akrab baginya. Akhirnya, saat mendengar sirene mobil, ia pun segera tahu dari mana sumber bunyi tersebut, misalnya," tutur Enggawati. Dan jangan lupa, "Beri ia pujian jika membuat kemajuan."

Hal lain yang perlu dilakukan ialah jangan biarkan si kecil sendirian dalam mengatasi ketakutannya. Yakinkan dirinya, ayah dan ibunya tak akan membiarkan siapa juga menyakitinya. Bila perlu, anjur Enggawati, "Berikan suatu alat yang dapat dijadikan pegangan untuk mengendalikan rasa takutnya." Misalnya, ia takut pada monster, tuliskan gambar yang bertuliskan "Monster dilarang masuk", sehingga dengan "senjata" itu ia pun merasa tenang dan si monster akan pergi.

Tapi jangan sekali-kali memaksa anak untuk langsung berani. Misalnya ia takut anjing, jangan paksa ia untuk membelai-belai anjing. "Biarkan ia melihat orang lain bermain-main dengan anak anjing yang jinak. Lambat laun ia pun akan berani bermain dengan anjing. Jadi, mengatasinya dengan proses belajar."

JADI FOBIA

Enggawati mengingatkan, sebenarnya rasa takut bukan hal yang buruk. Malah perlu dimiliki oleh anak, terutama untuk sesuatu yang berbahaya. Misalnya, takut pada ular. "Kalau ia sama sekali tak kenal rasa takut, justru akan membahayakan keselamatannya sendiri. Ia jadi tak mengenal, mana yang bahaya dan tidak. Orang tua pun jadi repot karena harus menjaganya setengah mati."

Jadi, "Anak perlu memiliki rasa takut demi kewaspadaan. Untuk menjaga dirinya dari bahaya yang akan didapat," tukas Enggawati. Yang penting, rasa takutnya tak berlebihan karena akan mengganggu kegiatan rutinnya. Apalagi, ketakutan yang berlebihan sudah menjurus ke fobia.

itu masih bisa ditolerir karena masih dalam batas normal." Tapi kalau gara-gara takut kebakaran lantas si anak jadi tak berani pada api sehingga tak berani menyalakan korek api, kompor atau lilin, berarti ketakutannya sudah tak wajar. "Itu sudah menjurus ke fobia."

Fobia, menurut Enggawati, adalah perasaan tak enak, risih, atau takut terhadap hal-hal tertentu yang tak umum. Misalnya, seseorang yang takut pada bulu ayam atau karet gelang. Jika itu yang terjadi, "Sebaiknya bawa si kecil segera ke psikolog."

Indah Mulatsih/nakita