Hati-hati bila si kecil cuek pada dunia sekeliling. Kelihatannya, sih, memang anteng, tapi bisa jadi dia mengalami gangguan pendengaran.
Vira (18 bulan) dikenal sebagai anak yang anteng di rumahnya. Tidak pernah rewel seperti saudaranya yang lain saat seusianya. Tetapi akhir-akhir ini ibunya mulai menyadari, ada yang tak beres di balik antengnya Vira. Soalnya, beberapa kali terjadi, meski sudah dipanggil dengan suara keras, ia cuek. Baru setelah bahunya disentuh, Vira menoleh.
"Saya curiga, jangan-jangan kupingnya nggak beres. Saya juga baru memperhatikan, kok, Vira belum bisa bicara dengan jelas," keluh ibunya. Dugaan si ibu benar. Menurut ahli THT, pendengaran Vira terganggu cukup parah meski masih bisa dieliminir. "Untung Ibu segera membawa Vira sebelum terlambat," kata sang ahli.
LEBIH AWAL
Membawa anak ke ahli sedini mungkin jika kita merasa curiga ada sesuatu yang tak beres, merupakan langkah amat tepat. "Agar sekecil apa pun gangguan itu, bisa terdeteksi lebih awal. Jadi, proses rehabilitasinya bisa lebih optimal hasilnya," tutur dr.S.Faisa Abiratno M.Sc., ahli THT dari RS Internasional Bintaro.
Begitu pula gangguan pendengaran. Pada balita, gangguan itu bisa disebabkan berbagai faktor, entah bawaan (congenital) atau dapatan (acquired). Faktor bawaan bisa lantaran genetik, tetapi bisa juga bukan. Yang genetik bisa diturunkan dari ibu, ayah, atau yang lain. Bisa juga terdapat kelainan anatomi di daerah kepala sejak lahir, seperti celah langit, daun telinga kecil, atau lubang telinga tertutup.
Yang bukan genetik bisa disebabkan karena gangguan berbagai infeksi yang diderita ibu selama kehamilan, seperti toksoplasmosis, rubella, citomegalovirus, atau pengaruh nikotin yang dikonsumsi ibu hamil, obat-obatan, serta usaha-usaha pengguguran kandungan.
Faktor dapatan bisa terjadi selama periode persalinan atau setelah anak lahir. Gangguan yang terjadi selama periode perinatal (persalinan) misalnya bayi prematur, tidak langsung menangis (asfiksia/biru-biru dalam waktu lama), bayi kuning dengan kadar bilirubin tinggi sehingga perlu transfusi.
Gangguan pun bisa terjadi setelah anak lahir (postnatal). Akibat sakit yang diderita si anak, semisal meningitis, ensefalitis, virus gondongan. Dapat pula disebabkan infeksi telinga tengah dan infeksi saluran napas bagian atas (pilek kronis).
RESPON BALIK
Semakin dini anak diperiksa ahli, akan semakin mudah penanganan gangguan. "Kalau gangguan terdeteksi saat anak berusia bawah 1 tahun, penanganannya pun akan lebih berhasil," kata Faisa.
Sejak lahir, bayi sudah mampu mendengar suara-suara di sekitarnya. Salah satu buktinya, kalau mendengar suara berisik, ia terbangun. Hanya karena perkembangan otak dan motoriknya belum sempurna, reaksi yang timbul sebatas tangisan atau membuka matanya. Seiring dengan bertambahnya usia, respon yang diberikan makin beragam, misalnya dengan menoleh, mendekat ke arah suara, dan sebagainya.
Selama perkembangan ini, anak tidak cuma mampu mendengar tetapi juga merekam jenis-jenis bunyi ke dalam otaknya. Tak heran menginjak usia 8 bulan, ia sudah bisa mengenal suara ibu, ayah, atau pengasuhnya. Rekaman ini suatu saat akan di "recall" pada waktu si kecil belajar bicara.
Di sisi lain, orangtua biasanya baru menyadari adanya gangguan pendengaran pada anaknya justru setelah si anak terlambat bicara. "Bahkan ada orangtua yang berpikir, normal-normal saja anak belum bisa bicara padahal umurnya sudah 2 tahun. Padahal, anggapan itu amat keliru," kata dr. Faisa yang juga berkantor di RSPAD Gatot Subroto.
Jadi, bagaimana cara kita mendeteksi dengan mudah? Secara sederhana, kita bisa mengetes pendengaran anak melalui permainan bunyi seperti tepuk tangan, batuk, menabuh kaleng, dan lainnya. Bayi normal akan memberi respon terhadap bunyi. Bisa dengan mengedipkan mata, mimik wajahnya berubah, berhenti mengisap ASI/botol, kaget dengan reaksi kaki dan tangannya terangkat.
Pada bayi yang lebih besar, respon berbentuk menolehkan kepala pada sumber bunyi. Minimal, ia mencari sumber bunyi tersebut dengan gerakan mata.
Nah, kalau si kecil tak bereaksi, jangan tunda lagi, segera bawa ke ahli. Biasanya anak akan menjalani tes audiometri,Visual Orientation Reflex (VOR) atau play audiometry tergantung pada usianya. Dengan alat ini bisa diketahui kualitas dan kuantitas pendengarannya. Cara lain adalah BERA (Brainstem Evoked Response Audiometry). Cara kerjanya dengan menggunakan komputer dan dibantu sejumlah elektroda yang ditempelkan di permukaan kulit kepala.
JENIS GANGGUAN
Dari pemeriksaan itulah, akan diketahui jenis gangguan. Seperti kita ketahui, proses mendengar dimulai dengan adanya suara yang dihantarkan melalui liang telinga. Suara itu akan menggetarkan gendang telinga (membrana timpani), juga tulang-tulang pendengaran yang berada di rongga telinga tengah. Tulang-tulang ini akan melanjutkan getaran ke rumah siput, kemudian diteruskan melalui saraf pendengaran ke otak. Proses ini sangat singkat sehingga kita bisa mendengar suara orang bersamaan dengan orang itu berbicara.
Jika fungsi pendengaran si kecil terganggu, maka bunyi yang dihantarkan melalui udara ke rumah siput tidak dapat diteruskan ke pusat pendengaran di otak. Akibatnya, dia tidak bisa mendengar.
Gangguan yang terjadi pada pendengaran bisa dibedakan dari jenis dan derajat kerusakannya. Berdasarkan jenisnya, gangguan dibedakan atas tuli hantar yaitu kerusakan gendang telinga dan telinga tengah akibat infeksi jatuh, tertusuk cotton buds waktu membersihkan telinga, atau karena kelainan anatomi telinga. Kemudian tuli saraf, yaitu kerusakan rumah siput akibat penyakit yang diderita ibu sewaktu hamil, gangguan selama persalinan, atau setelah lahir. Kerusakan pada rumah siput sejak lahir derajat gangguan pendengarannya berat.
Yang berikut, tuli campur. Umumnya karena infeksi telinga tengah (congek) yang menimbulkan kerusakan berupa gabungan tuli hantar dan tuli saraf.
Sedangkan berdasar derajat kerusakan dibedakan atas kehilangan ringan, sedang, berat, dan berat sekali. Ini bisa dilihat dari ukuran satuan kekerasan suara (desibel/db). Yang normal bisa mendengar suara kurang dari 30 db. Kehilangan ringan 30-40 db, sedang 40-70 db, berat 70-80 db, dan kehilangan berat sekali di atas 80 db.
ALAT BANTU DENGAR
Kita tentu tak mungkin membiarkan si kecil hidup dalam dunia yang sunyi. Kalaupun gangguannya amat berat dan tak bisa disembuhkan, baik dengan obat-obatan maupun operasi, masih ada cara lain yang bisa ditempuh, yaitu memakai alat bantu dengar (hearing aid). Yang penting, jangan anggap alat bantu tadi sebagai tanda kecacatan, melainkan sebagai sebuah kebutuhan. Sehingga dengan cara ini Anda bisa membantu si kecil mengatasi gangguannya.
Banyak pilihan yang ditawarkan. Ada yang berbentuk pocket, di belakang telinga, bisa dimasukkan ke liang telinga luar, dan sebagainya. Apa pun bentuknya, alat bantu dengar berfungsi untuk memperkeras suara yang dihantarkan lewat udara. Gelombang suara akan diterima oleh mikrofon mungil, diperkeras oleh amplifier kecil yang ada di dalam alat bantu dengarnya. Gelombang bunyi tersebut diteruskan ke rangkaian gendang telinga. Lalu dilanjutkan ke rumah siput dengan tujuan suara yang diperkeras tersebut dapat mencapai ambang pendengaran yang cukup tinggi pada si kecil.
Untuk gangguan pendengaran yang lebih parah, ada alat yang disebut cochlear implant. Alat ini "ditanam" di belakang telinga lewat cara operasi. Berbeda dengan alat bantu dengar biasa, cochlear implant mempunyai alat pengolah suara yang mengubah suara menjadi kode-kode (speech processor). Kode suara itu dihantarkan lewat kabel ke alat yang ditempelkan di bagian belakang telinga, lalu dihantarkan langsung ke saraf pendengaran, kemudian ke otak. Dengan begitu, si pemakai bisa mendengar suara dengan kualitas yang lebih baik.
Riesnawiati Soelaeman/nakita
Curiga Itu Perlu
Sebagai orangtua, waspadalah pada setiap kelainan, sekecil apa pun. Masalah pendengaran bukanlah masalah yang bisa dianggap sepele. Sejak bayi, kelainan telinga bisa dideteksi. Sebab itulah kita patut curiga jika bayi kita:
* Tidurnya sangat nyenyak. Tidak terganggu oleh suara-suara gaduh di sekitarnya. Jangan percaya omongan orang dengan meletakkan bantal di sekeliling bayi agar tidurnya nyenyak. Bayi yang terbangun karena suara gaduh adalah wajar. Sebaliknya, jika ia anteng saja, Anda harus curiga.
* Jika sudah agak besar, ia bersikap tak acuh saja ketika mendengar suara mainan, bel pintu, atau musik yang dipasang.
* Belum bisa mengucapkan kata-kata sederhana, seperti mama, papa, dada, dan sebagainya, di usianya yang ke 12-18 bulan.
* Di atas usia 2 tahun, anak cenderung membesarkan suara tape atau televisi.
* Baru memberi respon setelah dipanggil berulang-ulang.
* Pada waktu bicara, si kecil cenderung melihat gerak bibir kita untuk menangkap apa yang kita utarakan.
Jika Ia Harus Pakai Alat Bantu
Jangan melindungi anak terlalu berlebihan jika ia menggunakan alat bantu dengar. "Ketegaan" Anda harus menciptakan kemandirian pada si anak. Berikut ada tips buat Anda menghadapi si kecil yang menggunakan alat bantu dengar:
* Beri Kebebasan
Biarkan ia bergaul seperti anak normal lainnya. Hanya saja beri perhatian lebih saat berkomunikasi dengannya. Misalnya berbicara berhadapan, juga dengan gerak bibir dan artikulasi yang jelas sehingga anak bisa mendengar dengan baik.
* Bagian dari Penampilan
Tanamkan pada si kecil bahwa alat bantu dengar ini adalah bagian dari penampilan selain berpakaian, bersepatu, dan asesoris lainnya. Sehingga si anak akan terbiasa dan tidak merasa minder.
* Fungsinya Lebih Penting
Mungkin anak Anda akan merasa risi memakai alat bantu dengar. Tetapi lama kelamaan ia akan terbiasa asalkan Anda menanamkan pengertian bahwa dengan alat tersebut, anak akan mengenal dunia luar jauh lebih banyak dibanding tidak menggunakannya. Misalnya, ia bisa menonton televisi, berbicara dengan ayah, ibu dan anggota keluarga lain.
* Meminta Dukungan
Jika si anak sudah bersekolah, beri tahu guru tentang alat yang digunakannya. Minta bantuan guru jika ada anak lain yang mengganggunya karena masalah tersebut sehingga si anak tidak akan merasa kecewa dengan keadaan dirinya.
* Merawat Alat
Jika si kecil sudah lebih besar, ajari ia tentang perawatan alat tersebut. Misalnya, jangan terkena air dan jatuh.