Ibarat sahabat setia, dokter keluarga selalu siap melayani kesehatan seluruh anggota keluarga. Kapan pun, di mana pun. Apa saja, sih, manfaat dokter keluarga?
Ingat film Patch Adam? Ya, benar, film yang dibintangi oleh Robin Williams beberapa tahun lalu itu berkisah tentang seorang dokter yang memiliki cara tak biasa, eksentrik dan nyeleneh dalam menangani pasien. Film yang diangkat dari kisah nyata tersebut memaparkan kebiasaan dokter yang tak pernah mau memakai baju dokternya, tak segan berperan sebagai badut jika berhadapan dengan pasien cilik yang tertimpa sakit parah, dan selalu menjadikan semua pasiennya sebagai sahabat. "Seharusnya, seperti itulah sosok dokter keluarga yang ideal," ungkap dr. Susi Oktowati, mengenai sosok dokter keluarga yang menjadi sahabat keluarga. Maksudnya, seorang dokter keluarga sejatinya memiliki sosok yang tidak "menyeramkan" dan tidak menjaga jarak dengan pasien- pasiennya. "Dokter keluarga menerapkan sentuhan manusiawi dalam interaksi dengan pasien." Lebih jelasnya, dokter keluarga harus mampu mendengarkan serta memberikan empati yang besar kepada pasien. "Bahkan, karena begitu dekatnya hubungan mereka, pasien bisa curhat layaknya kepada sahabat."
KURSUS KHUSUS Tugas seorang dokter keluarga adalah memonitor kesehatan pasien dan seluruh keluarganya. Jika bisa diibaratkan, dokter keluarga adalah polisi bagi kesehatan pasien. "Dialah yang mengingatkan kapan waktunya pasien yang mengidap darah tinggi, misalnya, untuk memeriksakan kondisi tekanan darahnya," lanjut dokter yang tergabung dalam MediFa bersama dokter lain yang peduli pada dokter keluarga. Karena harus memonitor perkembangan kesehatan pasien serta keluarganya, maka dokter keluarga haruslah berorientasi pada komunitas. "Dokter keluarga tidak memandang pasien sebagai satu individu si sakit saja, melainkan melihatnya sebagai satu unit keluarga," imbuh dr H.M. Arifin Achmad, MD, MS, SpGK, PKK, Ketua I PP Persatuan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI). Uniknya, berbeda dengan dokter kebanyakan, para dokter keluarga ini tidak menanti pasien secara pasif di belakang meja. Mereka aktif menghubungi pasien dan keluarganya. "Jenis pelayanan kesehatannya pun menyeluruh, berkesinambungan, serta terpadu, karena kami melayani pelayanan secara terus-menerus dan menyeluruh." Di Inggris dan Australia, dokter keluarga dimasukkan ke dalam kategori dokter umum. Organisasi yang didirikan untuk menghimpun para dokter keluarga tidak disebut sebagai organisasi dokter keluarga (family physician), melainkan organisasi dokter umum (general practitioner). Di Amerika Serikat, dokter keluarga masuk kategori dokter spesialis. Perlu pendidikan tambahan tiga tahun untuk menjadi dokter keluarga, dan kedudukannya sama dengan spesialis lain. Di Indonesia, dokter keluarga termasuk dalam kategori dokter umum plus. Tidak semua dokter bisa menjadi dokter keluarga. "Hanya mereka yang telah dibekali keahlian khususlah yang bisa," lanjut Susi. Karena di Indonesia belum ada spesialisasi dokter keluarga seperti di Amerika Serikat, maka dokter yang ingin menjadi dokter keluarga harus diberi kursus khusus. Saat ini, di beberapa fakultas kedokteran sudah ada pendidikan khusus dokter keluarga, yang mengajarkan seluruh spektrum ilmu kedokteran. Ke depannya, semua dokter disiapkan bisa menjadi dokter keluarga. Selain belajar melayani penyakit tingkat pertama, setiap dokter yang akan menjadi dokter keluarga harus belajar cara membina hubungan dokter dengan pasien. "Karena akan berhubungan dalam waktu lama dan intensif, maka dokter harus mengenal betul sifat-sifat pasien," kata Arifin.
Beda Dengan Dokter Langganan Dokter keluarga tak bisa disamakan dengan dokter langganan, karena ternyata keduanya berbeda. "Dokter langganan, kan, sama saja dengan dokter pada umumnya, yang menunggu datangnya pasien, dan hanya menangani si pasien sebagai si sakit." Untuk mudahnya, Arifin memberi contoh seorang pasien pengidap scabies (gatal-gatal di kulit). Dokter kulit langganan yang didatangi akan mengobati penyakit kulit si pasien saja. "Tapi dokter keluarga akan datang ke rumah si pasien, melihat kebiasaan hidup keluarga, kebersihan rumah, serta kondisi sosial ekonominya." Hal ini dianggap sangat perlu, karena pengaruh keluarga terhadap penyakit yang diidap sangat besar. Demikian pula sebaliknya. "Bukankah seorang ibu yang sakit kulit, sangat mungkin menularkannya kepada anak-anaknya?" kata Arifin. Oleh sebab itulah, idealnya, dokter keluarga bertempat tinggal di dekat rumah pasien. "Kalau rumah dokter dekat dengan tempat tinggal pasien, maka jika pasien memerlukan pertolongan di tengah malam, akan lebih mudah kami mendatangi rumahnya." Susi dan para dokter keluarga lain juga tak segan memberikan nomor telepon genggam serta nomor-nomor telepon lain yang bisa dihubungi kapan saja. "Bahkan ada pasien pengidap hipertensi menelepon saya malam-malam, hanya untuk bertanya, apakah ia boleh makan jus alpukat atau tidak," ungkap Susi.
SEMUA PENYAKIT Lantas, penyakit apa saja yang bisa ditangani dokter keluarga? "Semua jenis penyakit tingkat pertama," jawab Susi yang rajin menambah pengetahuannya akan dunia kedokteran keluarga melalui buku, internet, serta seminar dan perkumpulan dokter keluarga di mancanegara. Dokter keluargalah yang akan merujuk si pasien jika memerlukan penanganan dokter spesialis. Hebatnya, jika kita punya dokter keluarga, sang dokter bisa sewaktu-waktu mampir ke rumah, meskipun tidak ada satupun anggota keluarga yang sedang sakit. "Waktu masih tinggal di Depok, Jawa Barat, saya berinteraksi intens dengan seluruh warga kompleks tempat tinggal saya. Saya mengelola klinik, serta mengoordinir kegiatan-kegiatan warga yang ada hubungannya dengan kesehatan." Saat ini, PDKI sudah memiliki 20 cabang, di 20 provinsi. "Sekarang baru ada di kota besar. Tapi dalam waktu yang tidak lama lagi, cabangnya akan ada di setiap daerah," sambung Arifin. Program ini serius dijalankan, karena pemerintah sudah mencanangkan tahun 2010 sebagai tahun Indonesia Sehat untuk seluruh rakyat Indonesia. Oleh sebab itu, dokter-dokter di puskesmas dan di pelosok, sejak sekarang mulai diarahkan untuk menjadi dokter keluarga. Brilyantini
LEWAT ASURANSI KESEHATAN Selama ini, budaya rakyat Indonesia dalam menghadapi kesehatan adalah "budaya sakit", yakni baru pergi ke dokter bila sakit. Pada saat sehat, jangan harap ingat kepada dokter. Budaya sakit ini juga menggunakan sistem pembayaran fee for service, yaitu biaya dibayar langsung usai pemeriksaan. Nah, para dokter keluarga ingin mengubah "budaya sakit" itu menjadi "budaya sehat." Artinya, meskipun sedang tidak sakit, kita harus membiasakan diri untuk selalu meningkatkan kualitas kesehatan kita. Mengubah budaya tentu tidak mudah, karena berkaitan dengan banyak hal, termasuk dengan sistem pelayanan kesehatannya. "Nantinya, tidak lagi fee for service, alias bayar setiap kali kunjungan, melainkan lewat asuransi kesehatan yang sudah tertata dengan baik," ujar Arifin. Bril