Bu Rieny yth,Saya bunda dari 2 orang putra. Sekarang saya bingung sekali dan mohon bantuan Ibu. Berawal dari pengakuan suami saya bahwa dia berkenalan dengan seorang gadis (A) yang bekerja di sebuah salon. Awalnya hanya teman biasa tapi akhirnya si A curhat pada suami, tentang keluarganya yang pecah, dan tentang masa lalunya yang pahit (katanya dia tidak gadis lagi). Karena suami saya orangnya baik, ia menanggapi keluh kesah A dan memberi nasihat baik-baik. Kepada suami, A mengeluhkan bahwa hidupnya sudah tidak ada yang bisa dipertahankan lagi, khususnya soal statusnya yang tak gadis lagi. Suami saya tak ingin dia terjerumus ke dunia hitam. Sampai akhirnya terjadilah hubungan yang melebihi batas antara A dan suami saya. Suami dengan terus terang mengakui kepada saya, Bu, dan dia sangat menyesali perbuatannya. Ibu bisa bayangkan bagaimana perasaan saya mendengar pengakuan suami, sakit Bu. Kepada suami dengan tegas saya katakan tak mau diduakan. Kalau suami ingin menolong A dan ingin menikahinya, tinggalkan saya dan anak-anak. Tapi kalau ingin rumah tangga kita utuh, silakan tinggalkan A. Suami menangis saat saya mengancam akan meninggalkan dia dan membawa anak-anak. Saya tak mengerti apakah itu memang tangisan tak kuat berpisah dengan anak-anak atau hanya sekadar untuk meluluhkan hati saya supaya saya mengalah dan menerimanya. Sejak pengakuannya sepertinya suami berusaha menjauhi A dan sudah mulai banyak waktu di rumah. Yang membingungkan, saya tidak sanggup melakukan hubungan suami-istri dengan suami saya karena terbayang dia dan A berbuat itu. Saya mohon saran dari Ibu, karena saat ini saya sudah tak ada harapan lagi untuk suami. Kalau seandainya berpisah, bagaimana dengan kasih sayang anak-anak bila tanpa kedua orangtuanya. Saya juga khawatir pada suami, jangan-jangan dia kembali ke A (saya pesimis, ya, Bu). Apa yang harus saya lakukan? Jujur saja saya masih menyayangi dan tak mau kehilangannya.Tapi masalah kok makin banyak dan sudah lelah rasanya memikirkan semua ini. Terima kasih.MS - somewhere
MS sayang, Terkadang saya juga heran, mengapa masih saja emosional bila membaca surat senada dengan surat Anda, atau menghadapi kasus seperti ini. Yang segera muncul di benak saya adalah sebuah pertanyaan: "Apakah kalau perempuan itu berumur 65 tahun, bau minyak angin, beruban dan mulai lamur matanya, para lelaki akan berbaik hati, iba dan menyayanginya karena ia punya masalah serupa dengan A?" Jadi, bualan suami itu hanya pembenaran saja, Bu, atas apa yang ia lakukan. Model dan variasinya boleh beragam, tetapi ujung-ujungnya tetap sama, selingkuh, bukan? Yang terjadi pada Anda sebenarnya klasik sekali. Ada perempuan yang merana, seakan-akan tak berdaya hidup sendirian dan jadilah suami sebagai pahlawan yang ...ikut ngelaba! Buktinya, ia juga tidur kok dengan perempuan itu! Bila niatnya menolong, yang akan dilakukan suami adalah memperkenalkan A pada Anda dan minta Anda memberinya pendampingan agar ia kuat menghadapi cobaan hidup. Mengajak lebih tawakal, mulai memakai jilbab agar tampil lebih Islami sekaligus menjiwai bagaimana seharusnya perempuan Islam itu berpikir, bertutur kata dan bertindak. Saya paham benar kalau Anda mengalami krisis kepercayaan pada suami karena ia memang sudah mengkhianati komitmen perkawinannya.Tetapi, masalah sekarang terpulang pada Anda. Mau hidup seperti ini terus, atau ada pilihan yang Anda ambil untuk melanjutkan hidup dengan lebih nyaman dan berkepastian? Dikatakan nyaman bila tak ada lagi konflik internal yang terjadi dalam diri akibat adanya benturan keinginan dan perasaan. Bila kita punya perasaan benci (karena diselingkuhi) tetapi pada saat yang sama juga takut kehilangan suami (masih cinta, takut kalau menjadi janda, atau pun merasa tak punya kemampuan untuk mencari uang) maka perasaan yang silih berganti antara masih sayang, sebal, benci, atau malah mual, saat kita berdekatan dengan saumi akan bermuara pada keresahan di pihaknya. Karena yang akan terasakan padanya adalah :"Aku ini sebenarnya dimaafkan atau tidak sih ?" Percayalah, jika pada saat bersama Anda ia tak merasa nyaman, suami punya alternatif yang lain, lo, Bu. Ya pacarnya itu. Maka, sebenarnya titik rawan keruntuhan perkawinan sebenarnya tidak terjadi pada saat perselingkuhan diketahui, melainkan justru pada upaya rekonsiliasi. Saat keduanya sedang berupaya untuk mempertautkan hati kembali. Sayang sebenarnya, karena para suami yang sadar dan ingin kembali, lalu tidak mulus jalannya dan akhirnya, memilih melajutkan hubungan dengan pacarnya saja. Ada memang perselingkuhan yang benar diniati untuk meningglkan istri dan hidup dengan selingkuhan. Tetapi yang lebih banyak terjadi adalah yang menyesal, ingin meninggalkan pacar tetapi istri kok tak kunjung memberi rasa nyaman, sehingga makin berlarut makin banyak pengalaman kebersamaan dengan sang pacar. Akhinya, yang tadinya gamang, terus atau tidak, terus atau tidak, jadi diteruskan karena setelah dibandingkan, besama pacar ternyata makin lama makin nyaman. Berpacu dengan waktu adalah kalau kita bepegang pada pepatah "waktu akan menyembuhkan". Tetapi kenyataannya waktu tidak menunggu kita, dia bergulir terus. Dan tidak ada jaminan bahwa bila telah lama berlalu, ingatan pengkhianatan suami akan melemah dan akhirnya hilang. Tidak! Selama rasa marah, dendam dan sakit hati tak kita lepaskan dari diri, ingatan itu akan kita pelihara terus dan tidak terlupakan. Maka, apakah perkawinan ini bisa diselamatkan atau tidak, sebagian besar jawabannya ada pada ikhtiar Anda, lo, Bu. Ditambah dengan dukungan suami, tentu saja.Tetapi bagian terbesarnya tetap di Anda. Bagaimana melupakannya? Tak perlu dilupakan! Yang harus dilakukan adalah mencoa melepaskan perasaan marah dan memupuk kembali rasa percaya diri bahwa kita memang berharga dan punya nilai tinggi di mata suami. Bila rasa pede sudah kembali, cara kita berinteraksi juga akan makin mantap dan tidak memancing perasaan ketidakpastian pada suami. Pada masa penyembuhan, kebersamaan justru harus ditingkatkan, agar ia memang tak punya waktu untuk dihabiskan berdua dengan pacarnya. Jadi, buatlah pengalaman-pengalaman baru yang bisa memberi keyakinan baru pada suami bahwa ia memang masih dikehendaki. Mula-mula rasa keterpaksaannya besar ya Bu, tetapi bila makin sering dilakukan dan ada respons positip dari suami, pastilah kita akan makin nyaman pula melakukannya. Selaraskan niat di hati, dengan ucapan kata-kata serta perbuatan Anda. Semakin cepat Anda bisa melakukannya, semakin besar peluang untuk nyaman lagi dengan suami. Dan kiat paling ampuh adalah dengan selalu membayangkan, di ujung sana, entah berapa tahun lagi, saat anak-anak sudah mandiri dan Anda tinggal berdua, hidup pasti lebih memberi kegembiraan karena Anda sudah terbukti tahan banting dan bisa melewati cobaan sehingga punya kesempatan utnuk menikmati punya menantu, punya cucu, berdua. Tidak sendiri saja tanpa suami. Artinya, kalau di masa depan adalah harapan dan mimpi besar yang bakal bisa kita raih kalau kita tabah dan sabar melampaui cobaan yang ini, Anda pasti akan punya tekad dan kekuatan besar untuk menggulirkan kebersamaan di saat ini melewati kerikil-kerikil berupa ingatan akan penyelewengan suami yang lalu. Percaya deh, Bu, cita-cita yang mulia pasti bisa mengalahkan nafsu-nafsu sesaaat untuk benci, balas dendam, atau pun pergi saja dari suami. Selamat berjuang ya Bu.Ingat terus ya Bu, kekuatan dasyat di dalam diri untuk bisa keluar dari masalah penghianatan suami adalah keyakinan bahwa Allah masih memberi kesempatan untuk membina lagi cinta kita, melanjutkan rumah tangga, membesarkan anak-anak dan kemudian menikmati hari tua berdua dengannya. Salam sayang.