Persoalan gizi buruk merupakan masalah klasik. Namun, layaknya bola salju, masalah ini semakin mengkhawatirkan saja. Agar anak-anak Indonesia terbebas dari masalah gizi buruk, penuhi nutrisinya dengan makanan bergizi!
Dengan kondisi yang cenderung serba sulit saat ini, apalagi semua harga semakin melambung, mulai dari minyak tanah, elpiji, bahan baku pangan, tarif listrik, dan sebagainya, membuat daya beli masyarakat semakin menurun, dan semakin sulit untuk mendapatkan kehidupan yang layak bagi keluarganya. Faktor ini jugalah yang sejak lama selalu menjadi kambing hitam atas terjadinya fenomena gizi buruk pada anak-anak Indonesia. Namun, benarkah hanya faktor kemiskinan saja yang sangat berpengaruh untuk menjadi penyebab nomor satu merebaknya kasus gizi buruk? Apakah masalah gizi buruk ini juga disebabkan oleh faktor kebanyakan orangtua yang tidak menyadari atau peka sepenuhnya terhadap pentingnya memberikan nutrisi atau makanan yang diolah secara higienis dan mengandung gizi yang memadai bagi anak-anaknya? Menurut dr. Rifan Fauzie, SpA, spesialis anak dari RS Ibu dan Anak Harapan Kita, Jakarta, masalah gizi buruk ini pada dasarnya disebabkan berbagai faktor, alias multifaktorial. Jadi, tidak hanya disebabkan satu atau dua faktor penyebab saja. Sebagian besar bahkan disebabkan oleh gabungan dari beberapa faktor sekaligus. "Beberapa diantaranya adalah faktor nutrisi yang kurang, tidak seimbang (yang sebagian besar berhubungan dengan faktor sosial ekonomi), higienisitas yang buruk, faktor kelainan pada sistem pencernaan, sistem neuromotorik (kemampuan beraktifitas), sistem daya tahan tubuh (seperti defisiensi imun), kelainan psikiatrik, adanya infeksi berat, neglected child (anak-anak terlantar), dan sebagainya.
SEBABKAN KEMATIAN Masalah gizi buruk ini, kata Rifan, dapat menimpa anak-anak dari segala tahapan usia, bahkan sejak bayi sekali pun, dengan ciri-ciri yang secara fisik maupun psikis dapat terlihat dengan jelas. Gambaran secara klinis, papar Rifan, anak-anak dengan gizi buruk akan tampak kurus kering, tubuhnya seperti tulang yang hanya dibungkus kulit, wajahnya seperti orangtua, kulitnya kering bersisik, tampak ada kelainan kulit yang secara medis disebut sebagai crazy pavement dermatosis. Namun, ada juga ciri-ciri lain pada anak dengan gizi buruk, seperti tubuhnya tampak membengkak, perut membuncit, rambut berwarna kemerahan seperti rambut jagung, tidak aktif, bahkan sulit bergerak karena tidak adanya energi di dalam tubuhnya. "Pada anak-anak yang mengalami gizi buruk, cirinya memang akan terlihat secara jelas. Dia terlihat tidak aktif, kehilangan daya konsentrasinya, badannya lemah sekali akibat kekurangan energi yang berlangsung dalam waktu yang sangat lama dan dalam jumlah besar, dan dia juga akan lebih sering sakit-sakitan," terangnya. Parahnya lagi, seorang anak dengan gizi buruk akan sangat mudah ditimpa panyakit lain yang lebih serius, bahkan hingga dapat mengakibatkan kematian. Menurut Rifan, hal ini disebabkan oleh daya tahan tubuhnya yang amat rentan diserang penyakit lain. Penyakit yang dapat terjadi pada anak dengan gizi buruk biasanya infeksi saluran cerna seperti diare, infeksi saluran nafas seperti pneumonia, infeksi jamur, bahkan bisa sampai pada infeksi sistemik yang berat seperti sepsis (sindroma klinik). Sebaliknya, Rifan menambahkan, anak-anak yang sering menderita penyakit-penyakit ini dalam jangka waktu yang lama juga pada akhirnya akan mengalami gizi buruk, bila penanganan terhadap penyakitnya tadi tidak optimal. Rifan juga mengatakan, jika seorang anak dengan gizi buruk tertimpa penyakit lain, gejala yang timbul pun akan jauh lebih berat dibandingkan bila penyakit yang sama diderita anak dengan gizi yang baik. Bahkan, penyakit lain yang menimpanya bisa mengakibatkan komplikasi yang berat, dan akhirnya dapat mengakibatkan kematian. "Anak dengan gizi buruk juga akan mengalami gangguan proses metabolisme yang berat dan kematian sel-sel, yang bila berlanjut terus menerus akan menyebabkan kematian. Bila penyakit maupun malnutrisi yang dideritanya tidak ditangani dengan baik, tentunya akan mengakibatkan hal yang sangat fatal bagi hidupnya," tuturnya. Lalu, bagaimana cara penyelesaian masalah gizi buruk ini? Menurut Rifan, penatalaksanaan terhadap gizi buruk memerlukan penanganan yang komprehensif, meliputi terapi untuk kegawatan yang mungkin ada, seperti adanya syok atau infeksi, lalu terapi nutrisi yang adekuat atau memadai, dan biasanya dilakukan secara bertahap sesuai toleransi si penderita. "Selain itu juga perlu diberi asupan vitamin dan mineral yang cukup, serta pengawasan yang ketat. Penanganan terhadap masalah gizi buruk ini akan memakan waktu yang cukup lama, dan memerlukan penanganan yang berkesinambungan, juga harus turut melibatkan peran serta orangtua secara aktif," tegasnya.
TAK HARUS MAHAL Rifan lalu menyarankan, agar masalah gizi buruk ini tidak menimpa anak-anak Indonesia, sejak bayi lahir, harus diberi perhatian lebih, terutama dalam hal nutrisi. Untuk bayi usia 0-6 bulan, jelasnya, makanan yang paling ideal adalah ASI. Sebab, ASI telah mengandung semua zat-zat yang dibutuhkan bayi, untuk mendukung tumbuh kembangnya yang optimal. ASI, Rifan menambahkan, mengandung karbohidrat, protein, lemak, dan zat protektif dalam jumlah yang memadai. Bayi yang mendapat ASI, akan tumbuh secara optimal, akan mengalami pertambahan berat badan yang ideal, dan jarang menderita sakit. "Tapi jika karena satu dan lain hal bayi tidak bisa mendapatkan ASI secara eksklusif, maka pada usia 0-6 bulan bayi dapat diberi tambahan susu formula yang sesuai." Kandungan zat gizi pada susu formula, imbuh Rifan, berusaha mengikuti atau menyamai kandungan yang terdapat pada ASI. Namun, ASI tetap memiliki keunggulan yang jauh lebih baik dibanding susu formula. Sebab, ASI mengandung zat-zat kekebalan yang berasal dari ibunya, yang bermanfaat melindungi bayi terhadap serangan penyakit, karena sistem kekebalan tubuh bayi masih belum sempurna. Di samping itu, "ASI juga sangat berpengaruh pada hubungan psikologis yang erat antara ibu dan bayinya. Bayi yang diberi ASI akan memiliki bonding atau ikatan batin yang optimal, sehingga bayi akan merasa lebih nyaman dan terlindungi oleh ibunya."
Selanjutnya, ketika anak sudah mulai bisa mengonsumsi makanan selain ASI, kata Rifan, berilah makanan bergizi yang diolah secara higienis hingga ia besar. Bahkan, menurut dokter lulusan Universitas Indonesia ini, untuk mendapatkan makanan bergizi tak perlu harus mengeluarkan banyak biaya. Makanan yang bergizi, terang Rifan, tak harus selalu mahal. Yang penting, perhatikan kandungan yang terdapat di dalam makanan itu. Pilihlah makanan yang mengandung karbohidrat, protein, lemak, vitamin, serat dan lainnya yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Berbagai sumber makanan yang murah pun banyak yang mengandung zat-zat tadi, misalnya beras, sagu, atau berbagai ketela yang mengandung cukup karbohidrat. Lalu, tahu, tempe, telur, ikan, susu, dan daging yang mengandung protein, juga lemak dari daging, susu, kacang-kacangan, serta sayuran dan buah-buahan yang mengandung vitamin dan serat, dan sebagainya. "Selama makanan-makanan tadi mengandung zat gizi yang baik, sehat, dan dalam jumlah yang cukup, meskipun murah tetapi diolah secara higienis dan benar, misalnya direbus, digoreng dengan minyak yang baik dan tidak dipakai ulang, atau dibuat kue-kue berselera lokal yang menarik, semua makanan yang mudah didapat dan murah ini juga cocok diberikan untuk anak-anak." Rifan juga menerangkan, kandungan protein pada makanan sangat berguna untuk membentuk sel-sel di tubuh anak, seperti sel-sel otot, sel-sel saraf atau otak, sel darah, sistem kekebalan tubuh, pembentukan hormon, enzim dalam tubuh, pembentukan tulang, dan sebagainya. Sementara karbohidrat, sangat diperlukan tubuh sebagai sumber energi utama untuk aktifitas sehari-hari, membantu metabolisme sel-sel tubuh, dan sebagainya. Jadi, sebelum terlambat, perhatikan selalu asupan nutrisi yang akan diberikan kepada anak-anak. Jika ternyata makanan bergizi tak harus mahal, biasakanlah anak-anak untuk mengonsumsi makanan lokal yang sangat cocok dengan lidahnya, dan tentunya diolah secara benar dan memenuhi gizi yang baik. Bukan sekadar diberi uang jajan lalu anak-anak dibebaskan membeli makanan yang sulit diketahui kandungan gizinya. INTAN Y. SEPTIANI