Ibu Rieny yth,Saya mempunyai 2 orang anak, yang pertama putri usia 7 tahun kelas 2 SD dan yang kecil putra usia 5 tahun kelas TK besar. Karena pertimbangan kamar, kami masih tidur bersama-sama (berempat), meskipun sang kakak sudah mulai minta tidur di kamarnya sendiri, tetapi kami justu merasa kasihan. Jalan tengahnya, terpaksa dia memutuskan untuk tidur sendiri dengan kasur lipat di lantai karena dia tetap merasa ingin tidur sendiri. Masalah timbul pada waktu si kecil terbangun malam hari dan menemui kami sedang melakukan hubungan suami istri. Saat itu kami berdalih sedang kerokan dan sebagainya, dan hal itu terulang sampai tiga kali. Suatu ketika kedua anak saya bertengkar kecil, dan sang kakak mengancam akan melaporkan kelakuan adiknya. Anak bungsu saya marah-marah, sehingga membuat sang kakak takut dan mengurungkan niatnya. Ketika saya tanya apa yang akan dilaporkan, sang kakak menjawab tidak berani menyampaikan karena takut dimarahi adik. Saya jadi penasaran rahasia apakah yang mereka pendam. Sampai suatu saat saya memergoki sang adik memakai celana dalam saya dalam keadaan tengkurap dan menggoyang-goyangkan pinggulnya layaknya orang yang sedang melakukan hubungan suami istri di kamar. Lutut saya terasa lunglai dan dada saya berdegup kencang, ternyata hal inilah yang mereka sembunyikan dari saya. Saya ketuk pintu kamar ternyata dikunci dari dalam, ketika saya panggil sang adik menjawab sedang main, padahal saya melihat dari jendela dia sedang melakukan hal seperti saya ceritakan. Ketika saya desak pun dia tidak mau jujur! Sampai suatu pagi saya melihat hal tersebut terulang kembali, di ruang TV dan yang lebih konyol sang kakak berada di sampingnya sedang asyik nonton TV! Ibu Rieny, apakah yang harus saya lakukan? Mengapa dia tidak menghargai kakaknya? Apakah yang ada di dalam imaginasinya? Saya takut memisahkan sang kakak tidur di kamarnya sendiri, karena sang adik bisa saja memaksa sang kakak menjadi obyeknya. Suatu ketika saya duduk berdua dengan sang adik dan saya katakan padanya dia tidak boleh melakukan hal seperti itu lagi, tetapi dengan cepat dia mengalihkan pembicaraan. Bila saya desak dia hanya menunduk dan menganggukkan kepala tanpa berani menatap saya, meskipun hal itu terus saja terjadi. Kami berdua bekerja, dan siang hari anak-anak kami titipkan di rumah neneknya, dan saya mengira waktu-waktu itulah dia melakukan "kegiatannya" tersebut. Tolong saya dalam menghadapi sang adik dan juga sikap saya kepada sang kakak, mengingat usia mereka yang masih terlalu dini. Apa yang harus kami lakukan? Jawaban dan saran ibu sangatlah saya nantikan, apakah perlu sang adik diajak konsultasi ke Psikolog ? Terima kasih dan salam saya untuk Ibu Rieny. J - Smg
Ibu J Yth, Yang paling utama perlu Ibu lakukan adalah mencoba untuk membayangkan bagaimana anak usia 4 tahun berpikir, bertindak dan sekaligus menyadari apa yang melandasi tindakannya. Dalam hal ini, kesalahan terbesar yang akan terjadi adalah bila Anda memakai standar orang dewasa, artinya menjadikan diri Ibu sebagai acuannya. Menghargai kakak, bertindak jujur, semua ini adalah istilah-istilah yang tepat digunakan bila pelaku 'cerita' atau kasus Ibu J adalah orang dewasa.Tetapi, di usianya yang 4 tahun, pemahaman si bungsu ini jelas berbeda, Bu . Kenyamanan yang diperoleh dengan memanipulasi tubuh telah teramati dilakukan anak sejak amat dini.Tidak jarang kita jumpai bayi atau anak 1-2 tahun yang senang menggosok-gosokan bantal-guling atau 'selimut bau'nya ke pahanya dan terlihat nyaman karena rasa nikmat yang ia peroleh saat melakukan itu. Tentu saja, di saat itu ia tak menyertai kenikmatan tadi dengan imajinasi erotis sebagaimana bila seorang dewasa melakukannya. Karena, bila perkembangan seseorang berlangsung normal, tanpa "karbit" berupa rangsang-rangsang yang ia lihat-dengar dan rasakan sebelum waktunya, sebetulnya hingga usia menjelang prapubernya, ia 'aman' terhadap hal-hal yang berorientasi seksual. Dalam era telekomunikasi yang diwarnai oleh program TV sepanjang hari seperti kini, memang terasa berat sekali melakukannya, tetapi dengan kecermatan serta kesediaan untuk memantau aktivitas anak secara benar, saya yakin para ibu bisa kok mencegah agar anaknya tidak melihat adegan-adegan syur di TV, ataupun mencuri baca majalah orang dewasa milik ayah atau ibunya. Dan yang paling parah sebenarnya ( terjadi pula di Anda), adalah melihat dengan mata kepala sendiri aktivitas seksual kedua orang tuanya. Mana dia tahu bahwa itu boleh dan halal Bu? Yang ia lihat, ada gerakan tertentu yang sepertinya kok membuat bapak dan ibu 'merem-melek' ya, dan ia pun mencoba melakukannya. Setelah ia mendapati bahwa memang benar enak, ya diulangi lagi, kan, Bu? Otak manusia itu berkembang paling pesat di usia 0 - 3 tahun Bu, bahkan 80 persen dari kapasitas otak berkembang di usia tadi. Jangan heran bila di usia ini anak jadi amat cepat meniru apa yang ia lihat. Proses imitasi, dalam bahasa psikologinya, dan menjadikannya sebagai perilaku menetap, alias kebiasaan, bila ia mendapati bahwa melakukan hal tadi ternyata menyenangkan, lo. Justru karena itu pulalah, para Ibu harus makin waspada terhadap interaksi anak-anaknya di usia dini dengan orang dewasa di sekitar yang punya hobi memanipulasi anak kecil untuk kepuasan seksnya, karena anak-anak memang rentan terhadap ini. Sudah tidak mengerti apa itu perilaku seksual, diancam akan disakiti pula kalau berontak saat dicabuli, celaka dua kali, bukan? Pada kasus Anda, si kecil sebetulnya secara naluriah sudah mengerti bahwa yang dia lakukan adalah sesuatu yang tak patut untuk dilakukan, buktinya mungkin saja kakaknya pernah menegur. Tetapi karena enak, dan pula sesuatu yang dilarang itu pasti lebih 'menegangkan' lagi kalau tetap dikerjakan, membuat si kakak jadi punya 'senjata' untuk mengancam adiknya, untuk bercerita pada Anda tentang kebiasaan adiknya ini. Jangan dimarahi apalagi dinasehati tentang ketidaksenonohannya, Bu, karena alam berpikirnya belum sampai pada penghayatan norma dan nilai seperti orang dewasa. Cukup ketika ia melakukannya, dengan manis dan santai, ajak ia untuk melakukan aktifitas lain yang memaksanya untuk bangkit berdiri, berjalan ataupun duduk di sebelah ibu. Tetapi jangan cuma diam ya Bu! Menonton teve manis-manis misalnya, akan meningkatkan frustrasinya, beda dengan kalau Ibu mengambil buku dan mendongeng atau ajak dia ikut membuat pisang goreng, atau apa sajalah, pokoknya ia pindah dan konsentrasinya dibuyarkan oleh aktifitas lain. Ketika Ibu marah, dan mencecar dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan, ia akan mulai berpikir :"what's wrong ya?" Apa yang tidak benar? Ini bisa memuat ia kelak punya konsep yang salah tentang kehidupan seks. Kasihan sekali, kan, kalau kemudian yang tumbuh di dirinya adalah sebuah pemahaman ( dan akhirnya keyakinan) bahwa seks itu dosa, seks itu salah? Yang kedua, jangan besarkan anak dengan emosi yang didominasi oleh rasa cemas dan waswas, karena ini hanya akan menumbuhkan sosok yang tak punya rasa percaya diri, selalu takut salah, tak berani berinisiatif dan amat tergantung pada bagaimana reaksi orang lain terhadap dirinya. Emosi itu menular lo Bu, bukan cuma flu burung yang menular. Keceriaan, kehangatan akan muncul dan mendominasi bila Ibu membiasakan diri untuk benar-benar berkonsentarsi pada bagaimana mendekatkan hati ibu dengan hati anak. Gali perasaannya, dengarkan ceritanya tentang aktifitasnya ketika Anda bekerja, dengarkan keluhannya dan jangan nafikan dengan mengatakan, :"Ah, nenek enggak galak, Adik saja yang nakal." Pemahaman dan pengertian si ibu, tanpa disertai pemihakkan pada dirinya maupun sosok lain yang sedang disebalinya, akan membuat anak nyaman dan makin terbuka pada Anda. Selain cinta melimpah yang Allah beri secara tak terbatas pada para ibu untuk menyayangi anaknya, lengkapi diri dengan pemahaman yang benar tentang ilmu yang terkait dengan perkembangan fisik, psikologis dan hal yang terkait dengan pengasuhan anak. Buku sekarang banyak sekali yang topiknya tentang perkembangan anak, yang harganya relatif murah tetapi kaya informasi tentang anak. Makin paham, makin tak mudah senewen kita sebagai Ibu, Bu J. Jangan takut untuk membicarakan hal ini dengan ibunda, sebagai tempat penitipan anak-anak. Bisa saja karena nenek masa kini juga arisan dan pengajiannya tersebar dimana-mana, kesibukannya membuat anak-anak tak terpantau oleh beliau. Mengatasinya, didik pengasuh yang juga mau peduli pada kesehatan mental anak Anda. Paling kasihan bila di rumah neneknya memang tak ada sarana yang memadai bagi anak untuk mengisi waktu luangnya yang sedemikian panjang sampai mama menjemput di sore atau malah hari, dengan aktifitas yang bermakna positip bagi perkembangan anak. Bukan hal bohong kalau saya ceritakan pada Anda bahwa mertua saya pernah saya dapati sedang "berebut" saluran TV dengan anak saya yang ngotot ingin menonton film kartun, sementara sang nenek juga ngotot ingin menamatkan film India yang sedang ditontonnya. Kalau ada banyak TV di rumah sih enak, tapi kalau cuma satu? Nah, ini cuma contoh kecil saja, yang bisa diikuti oleh contoh lain yang menceritakan bahwa tak selalu menitipkan anak di rumah neneknya itu ideal. Tenang dan santai ya Bu J, tetapi ini memang harus diatasi secara serius. Jangan lupa pula untuk mencari tempat yang aman dari mata anak-anak, walau mereka sudah tidur sekalipun, ketika Anda akan 'bertempur' dengan suami. Salam sayang.