Begitulah kisah di panggung Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, yang berlangsung Jumat - Sabtu (23-24 September) lalu. Ini sebuah kisah bertajuk Kutukan Kudungga (Raja Salah Raja Disembah) yang dimainkan oleh Teater Gandrik Yogyakarta berkolaborasi dengan para seniman Kalimantan dan Dik Doank bersama anak asuhnya.
Kutukan Kudungga merupakan pentas kelima dari program Indonesia Kita dengan tim kreatif antara lain Butet Kartaredjasa, Agus Noor, dan Djaduk Ferianto. Sebelumnya, Indonesia Kita telah memanggungkan pergelaran bekerja sama dengan seniman berbagai daerah. Dalam Laskar Dagelan, Indonesia Kita menggandeng seniman Jogja, Beta Maluku dengan seniman dari Tanah Ambon, Kartolo Mbalelo dengan seniman Jawa Timur, dan kali ini bekerja sama dengan para penggiat seni di Kalimantan.
Lakon Kutukan Kudungga, sebagaimana ditulis Agus Noor dalam buletin Indonesia Kita, merupakan dongeng populer di Kalimantan. Raja Kudungga adalah raja bijaksana. Raja Kudungga mengeluarkan kutukan, "Barang siapa yang mengambil dan membawa pergi kekayaan alam di pulau ini untuk kepentingannya sendiri, maka hidupnya akan sengsara dan celaka."
Dongeng ini merupakan kearifan lokal untuk menjaga dan memanfaatkan kekayaan alam termasuk hutan dengan bijaksana. Oleh tim kreatif Indonesia Kita, legenda ini diangkat kembali untuk merespons kejadian di Kalimantan dan juga daerah-daerah lainnya, ketika begitu banyak pengusaha yang menguras hutan dan mengabaikan kelestarian lingkungan.
Kisah legenda Kutukan Kudungga dipadukan dengan lakon Demit yang naskahnya ditulis oleh Heru Kesawa Murti dan telah dipentaskan Teater Gandrik beberapa tahun silam. Semula, lakon Kutukan Kudungga akan ditulis oleh Heru, tapi beberapa waktu lalu, salah satu pendiri Teater Gandrik ini meninggal dunia karena serangan jantung. Jadilah, Agus Noor melanjutkannya dengan bersandar pada naskah Demit.
Kisah yang sarat kritik sosial itu dipanggungkan dalam kemasan yang segar penuh canda lewat dialog-dialog antara lain oleh dua komedian Marwoto Kawer dan Susilo Nugroho yang tenar dengan nama Den Baguse Ngarso. Pentas dimeriahkan penampilan para seniman tari dari Samarinda, Kandang Jurang Doank, perkusi Kalenk Rombenk, juga kelompok musik metal Band Kapital dari Kalimantan Timur.
Paduan ini menghasilkan tontonan yang menyegarkan. Selama dua hari, gedung pertunjukan disesaki penonton. Tak ada tempat duduk yang tersisa. Para penonton tertawa sambil merenungi problem lingkungan dan sosial yang ada di sekitar.
Henry