Bidang ini sebenarnya menjadi peluang bisnis yang besar bagi saya, apalagi terlihat sekali potensi ke depan industri teh tak kalah dari industri kopi. Pasarnya juga sudah ada, lihat saja teh kemasan siap minum yang semakin banyak bermunculan.
Bagaimana cara mengenali berbagai jenis teh?
Untuk bisa tahu berbagai rasa teh, selain punya pengetahuan mengenai proses teh dan jenis tehnya, yang juga penting adalah memiliki perbendaharaan rasa yang banyak. Sayangnya, orang Indonesia punya kebiasaan makan yang pedas dan berbumbu, sehingga kurang peka saat merasakan minuman teh. Apalagi jika sudah dimanjakan berbagai rasa olahan yang bukan original, seperti sirup, dan lainnya.
Saat mencicipi rasa teh, saya biasanya mencoba membuat persamaan rasa. Misalnya, ada teh hijau dari Cina yang dalam satu tegukan rasanya seperti chestnut. Oleh karena di Indonesia tak ada chestnut, saya tentu akan bilang seperti kacang Bogor. Untuk tahu rasa kacang Bogor, kan, harus memiliki perbendaharaan rasa yang juga banyak.
Dan perlu tahu juga, rasa air putih saja sudah berbeda, lo, karena kadar mineral air juga berbeda. Jadi, jika bicara soal teh secara mendalam sekaligus ingin mengenal dan tahu membedakan rasanya, banyak unsur yang harus dibicarakan, sangat kompleks.
Apa kiat sukses di bidang ini?
Saya pernah baca, ada pepatah dari Cina atau Jepang, saya agak lupa, tapi kata-katanya membuat saya bersemangat: "Belajar soal teh akan seumur hidup." Benar saja, sampai hari ini rasanya saya selalu merasa mendapatkan ilmu baru mengenai teh. Bayangkan saja, teh sudah ada sejak 5.000 tahun lalu, sangat terkenal di Asia, dan berbagai jenis teh pun dihasilkan.
Pernah dengar teh gurih dari Jepang? Namanya Gyokuro, cara untuk memanen daun tehnya pun unik. Kebun teh akan ditutupi kain kasa atau tirai bambu untuk memaksa klorofil dalam daun bekerja maksimal, sehingga pucuk daun warnanya sangat hijau. Hasilnya, daun teh ini rasanya seperti kaldu yang gurih. Sama halnya di Indonesia, sebenarnya banyak teh yang enak.
Keluarga mendukung?
Keluarga saya sangat mendukung kegiatan saya, begitu juga suami. Namun sama seperti pasangan lain, tentu suami tak ingin istrinya melupakan tugas utama mengurus rumah tangga. Soalnya, kegiatan saya ini bukan murni bisnis, tapi lebih banyak sosialisasi, yang bukan untuk mendapatkan sumber uang.
Teh ibarat seni bagi saya, tak bisa diukur dengan kepuasan mendapatkan materi. Ketika saya banyak pekerjaan sebagai pembicara teh, hasilnya juga pasti saya belikan lagi teh dan peralatannya, ha ha ha...
Ada obsesi lain yang ingin dicapai?
Selain ingin industri teh di Indonesia semakin "seksi", saya ingin terus mempromosikan agar pasar teh Indonesia semakin dilirik mata dunia. Saya juga punya keinginan, maskapai penerbangan besar di Indonesia, kantor-kantor BUMN, serta perusahaan besar di Indonesia mendukung gerakan teh lokal dengan memberi jamuan teh asli Indonesia, bukan teh impor.
Tahun 2014 ini, saya bersama teman sudah berniat untuk mewujudkan Tea Institute. Jadi akan ada kelas untuk masyarakat awam yang ingin belajar mengenal teh. Kelas yang tersedia juga diperuntukan bagi pelaku industri teh, untuk menunjang pekerjaannya. Rencananya kelas ini akan digilir di beberapa kafe atau lokasi yang nyaman. Nantinya, jika berhasil, ingin punya gedung sendiri dan bisa berdiri seperti sekolah perhotelan, yang memang mengajarkan soal teh. Semoga semua segera terwujud.
Swita A. Hapsari, Foto: Ety Oktaviani / Dok NOVA, Dok Pri