Bagaimana ceritanya bisa terjun ke dunia teh?
Ceritanya cukup panjang, kebetulan saya dari keluarga yang memang cinta teh dan selalu punya kebiasaan menikmati teh bersama. Mama yang mengajarkan minum teh sejak kami tinggal di Cirebon (Jabar). Walaupun beliau bukan ahli teh, tapi sajiannya selalu enak. Kemudian kegiatan minum teh bersama menjadi kebiasaan.
Seiring berjalannya waktu, tepatnya 9 tahun yang lalu, saya merasa dilanda kejenuhan dengan pekerjaan dan ingin melakukan kegiatan baru. Akhirnya saya ke Sydney, Australia mengambil kelas pastry di Le Cordon Bleu. Tak sengaja mampir di salah satu kafe namanya Tea Centre yang menyediakan 500 teh, yang tak ada di Indonesia. Dari sini saya jadi semakin tertarik mempelajari teh lebih jauh lagi.
Lalu?
Pulang ke Indonesia, kok, pas ada juga teman yang mengajak saya buka bisnis kafe khusus minum teh. Untuk membekali diri, saya kemudian ambil kursus tentang teh di Purple Cane, Kuala Lumpur. Walaupun ternyata kafe yang saya dan teman dirikan tak bertahan lama lantaran sahamnya kemudian saya jual, tapi kecintaan saya terhadap teh semakin hari semakin bertambah.
Saya bahkan sengaja memilih berlibur di negara-negara penghasil teh seperti Cina, Jepang, Korea untuk sekaligus mempelajari dan menikmati tehnya. Semakin serius mendalami teh ketika saya kemudian mendirikan komunitas pencinta teh pertama di Indonesia pada 2007. sejak itulah saya sering didaulat sebagai pembicara soal teh. Saya juga sharing mengenai teh lewat buku Kisah dan Khasiat Teh hingga dipercaya menjabat sebagai Ketua Dewan Teh pada periode yang sekarang ini.
Kenapa memilih teh?
Semakin saya mempelajari soal teh khususnya semua teh yang ada di Indonesia, saya menemukan banyak fakta bahwa teh Indonesia sangat kaya dan nikmat, tetapi komoditas ini belum terangkat maksimal. Imej teh di Indonesia juga masih dianggap minuman yang tak bisa menaikkan gengsi. Padahal di Eropa, acara jamuan teh hanya dilakukan oleh kaum bangsawan.
Saya semakin gemas, karena banyak yang belum memperlakukan teh dengan benar layaknya minum kopi yang kini bahkan sudah menjadi bagian dari lifestyle. Saya lihat di nagara kita, daun teh yang dihasilkan sudah oke, tapi penyajiannya belum tepat dan penyimpanannya masih salah, sehingga hasil akhir tehnya menjadi kurang nikmat.
Sayang sekali, kan? Terlebih sebenarnya Indonesia adalah negara terbesar penghasil teh terbaik di dunia, tetapi ternyata industrinya tak "seseksi" industri kopi. Ini menjadi tantangan buat saya untuk bisa berbagi pengetahuan dan mendorong banyak pihak agar teh Indonesia makin dikenal dunia, terutama lewat tea bloger dunia untuk di-review.
Bagaimana caranya?
Setiap menjadi pembicara, saya selalu menyelipkan informasi tentang teh dari Indonesia, baik di ajang kuliner, jamuan teh di hotel berbintang, atau acara bincang-bincang di televisi dan radio. Saya berikan info tentang cara menikmati teh tanpa menggunakan gula, menyajikan teh dengan cara yang benar, dan disimpan dengan tepat agar menjadi sangat enak saat dinikmati.
Lewat buku yang saya tulis juga saya membagikan berbagai khasiat teh yang baik bagi tubuh. Salah satu cara yang saya lakukan adalah dengan bergabung di Dewan Teh. Dengan begitu, saya berharap bisa semakin banyak peluang untuk bekerja sama dengan berbagai pihak untuk semakin mempromosikan teh Indonesia. Termasuk mengedukasi agar teh semakin bisa diterima semua kalangan dan bisa menjadi bagian dari gaya hidup.
Lihat saja sekarang, industri teh siap minum dengan berbagai kemasan, kan, semakin banyak. Hal ini tentu menjadi peluang bagi industri teh di Indonesia, untuk dapat semakin maju dan berkembang. Oh ya, mungkin banyak yang belum tahu, salah satu jenis teh yakni Oolong tea yang dihasilkan dari kaki Gunung Halimun Jawa Barat itu sudah diekspor dan sangat disukai oleh pencinta teh di seluruh dunia, lo.
Apa tantangan dalam menggeluti bidang ini?
Kebetulan bidang ini memang masih lebih banyak digeluti kaum pria, dari pemilik kebun teh, para pejabat yang berwenang mengurusi komoditi ini, pelaku industri teh, semua didominasi kaum pria. Bukan berarti perempuan tak diberi kesempatan, tapi memang masih jarang yang menggeluti. Itu tantangan juga buat saya untuk bisa membuktikan, bila memiliki kemampuan, baik tua ataupun muda, perempuan ataupun pria, tetap memiliki kesempatan yang sama.
Tak heran jika baru-baru ini saya dipercaya sebagai ketua Dewan Teh Indonesia. Sehingga satu lagi tanggung jawab yang harus saya emban. Ini seperti penyegaran, yang menandakan hal positif. Perhatian untuk teh sudah semakin baik dan kebetulan saya juga tidak memiliki bisnis teh, jadi tentu bisa lebih obyektif dan tak terpaku pada kepentingan pribadi.
Ada yang menyebut Anda Tea Master, tapi tak suka sebutan itu. Kenapa?
Iya, saya bukan Tea Master. Jika merujuk kepada World Tea Academy, ada beberapa kategori dalam bidang teh, yaitu Tea Master, Tea Specialist, dan Tea Sommelier. Nah, Tea Sommelier adalah pencicip teh, ia tahu cara menyeduh teh dan dapat mencocokkan teh jenis apa digabungkan dengan teh apa, sehingga bisa menghasilkan perpaduan teh yang enak.
Sama halnya dengan Tea Specialist, pekerjaanya seperti quality control, tahu mana teh yang bagus dan mampu memilih serta menyajikannya. Sedangkan Tea Master adalah orang yang bisa semuanya, serta mampu memproduksi teh. Makanya, saya bukan master teh, tapi lebih suka disebut Tea Specialist dan Tea Sommelier. Soalnya jika diterjemahkan, semua merujuk ke kata yang sama yaitu ahli teh
Seperti apa, sih, perkembangan profesi yang Anda geluti?
Hampir tak ada yang menggeluti profesi sebagai Tea Specialist atau Tea Sommelier di Indonesia. Yang ada adalah yang bekerja di pabrik teh, biasanya sebagai Tea Tester atau pencicip teh yang juga tahu cara meracik teh. Masalahnya, profesi ini juga tak pernah terpublikasikan atau dikomunikasikan, sehingga harus dilatih terlebih dahulu karena tak ada sekolahnya.
Bidang ini sebenarnya menjadi peluang bisnis yang besar bagi saya, apalagi terlihat sekali potensi ke depan industri teh tak kalah dari industri kopi. Pasarnya juga sudah ada, lihat saja teh kemasan siap minum yang semakin banyak bermunculan.
Bagaimana cara mengenali berbagai jenis teh?
Untuk bisa tahu berbagai rasa teh, selain punya pengetahuan mengenai proses teh dan jenis tehnya, yang juga penting adalah memiliki perbendaharaan rasa yang banyak. Sayangnya, orang Indonesia punya kebiasaan makan yang pedas dan berbumbu, sehingga kurang peka saat merasakan minuman teh. Apalagi jika sudah dimanjakan berbagai rasa olahan yang bukan original, seperti sirup, dan lainnya.
Saat mencicipi rasa teh, saya biasanya mencoba membuat persamaan rasa. Misalnya, ada teh hijau dari Cina yang dalam satu tegukan rasanya seperti chestnut. Oleh karena di Indonesia tak ada chestnut, saya tentu akan bilang seperti kacang Bogor. Untuk tahu rasa kacang Bogor, kan, harus memiliki perbendaharaan rasa yang juga banyak.
Dan perlu tahu juga, rasa air putih saja sudah berbeda, lo, karena kadar mineral air juga berbeda. Jadi, jika bicara soal teh secara mendalam sekaligus ingin mengenal dan tahu membedakan rasanya, banyak unsur yang harus dibicarakan, sangat kompleks.
Apa kiat sukses di bidang ini?
Saya pernah baca, ada pepatah dari Cina atau Jepang, saya agak lupa, tapi kata-katanya membuat saya bersemangat: "Belajar soal teh akan seumur hidup." Benar saja, sampai hari ini rasanya saya selalu merasa mendapatkan ilmu baru mengenai teh. Bayangkan saja, teh sudah ada sejak 5.000 tahun lalu, sangat terkenal di Asia, dan berbagai jenis teh pun dihasilkan.
Pernah dengar teh gurih dari Jepang? Namanya Gyokuro, cara untuk memanen daun tehnya pun unik. Kebun teh akan ditutupi kain kasa atau tirai bambu untuk memaksa klorofil dalam daun bekerja maksimal, sehingga pucuk daun warnanya sangat hijau. Hasilnya, daun teh ini rasanya seperti kaldu yang gurih. Sama halnya di Indonesia, sebenarnya banyak teh yang enak.
Keluarga mendukung?
Keluarga saya sangat mendukung kegiatan saya, begitu juga suami. Namun sama seperti pasangan lain, tentu suami tak ingin istrinya melupakan tugas utama mengurus rumah tangga. Soalnya, kegiatan saya ini bukan murni bisnis, tapi lebih banyak sosialisasi, yang bukan untuk mendapatkan sumber uang.
Teh ibarat seni bagi saya, tak bisa diukur dengan kepuasan mendapatkan materi. Ketika saya banyak pekerjaan sebagai pembicara teh, hasilnya juga pasti saya belikan lagi teh dan peralatannya, ha ha ha...
Ada obsesi lain yang ingin dicapai?
Selain ingin industri teh di Indonesia semakin "seksi", saya ingin terus mempromosikan agar pasar teh Indonesia semakin dilirik mata dunia. Saya juga punya keinginan, maskapai penerbangan besar di Indonesia, kantor-kantor BUMN, serta perusahaan besar di Indonesia mendukung gerakan teh lokal dengan memberi jamuan teh asli Indonesia, bukan teh impor.
Tahun 2014 ini, saya bersama teman sudah berniat untuk mewujudkan Tea Institute. Jadi akan ada kelas untuk masyarakat awam yang ingin belajar mengenal teh. Kelas yang tersedia juga diperuntukan bagi pelaku industri teh, untuk menunjang pekerjaannya. Rencananya kelas ini akan digilir di beberapa kafe atau lokasi yang nyaman. Nantinya, jika berhasil, ingin punya gedung sendiri dan bisa berdiri seperti sekolah perhotelan, yang memang mengajarkan soal teh. Semoga semua segera terwujud.
Swita A. Hapsari, Foto: Ety Oktaviani / Dok NOVA, Dok Pri