Sama seperti Bang Halilintar, menjelang lulus SMA saya juga meraih Scholastic Award Caltex di mana semua biaya kuliah dibiayai Caltex hingga lulus, dan mendapat undangan kuliah di UI lewat PMDK. Hanya saja saya masuk fakultas Ekonomi. Setelah kuliah di sana, saya bertemu lagi dengan Abang Halilintar. Pertemuan kedua ini lebih berkesan bagi masing-masing. Saya merasa kalimat-kalimat yang diucapkan Bang Halilintar tentang mahalnya sebuah kebenaran cukup mengena di hati.
Meski banyak kajian di kampus yang saya ikuti, pemikiran Bang Halilintar termasuk global, modern, tidak eksklusif, dan cara menyampaikannya juga sangat bagus. Ditambah lagi, Bang Halilintar memang cerdas. Saya langsung merasa bertemu dengan idola dan merasa dia bisa jadi pembimbing hidup. Namun, waktu itu saya belum terpikir dia akan jadi suami. Hanya saja, saya memang jadi pelanggan salon, minimarket, dan klinik giginya.
Rupanya, Bang Halilintar juga terkesan pada saya ketika kami mengobrol di kantinnya. Tiga bulan kemudian, sepulang Bang Halilintar dari Malaysia untuk berdagang dan berwisata ke Uzbekistan, dia melamar saya. Bagai mendapat durian runtuh, saya langsung mengiyakan. Saya tak menyangka, orang yang selama ini jadi idola tiba-tiba melamar saya untuk jadi pendamping hidupnya. n>