Anda ditangkap?
Ya. Saya lalu disel selama 16 hari dan dideportasi ke Indonesia. Pulang ke Wonosobo saya malu karena tidak punya uang. Akhirnya, pinjam sertifikat rumah bapak untuk mengajukan pinjaman KUR Rp5 juta untuk membuka konter pulsa.
Bagaimana akhirnya mendirikan Kampung Buruh Migran (KBM)?
Waktu itu, saya nyaris tergiur ajakan calo-calo yang mengajak saya jadi TKI lagi, tapi lalu ingat harus melakukan sesuatu yang pernah saya lakukan di Taiwan. Ketika bercerita ke teman-teman di kampung sesama mantan buruh migran, ternyata banyak yang punya masalah. Akhirnya kami membentuk Solidaritas Perempuan Migran Wonosobo (SPMW) dan saya jadi ketua. Dari 16 orang anggota, tersisa 6 orang karena kegiatannya hanya kumpul-kumpul saja.
Saya lalu mengadakan arisan dan mengajak semua anggota termasuk yang tak aktif. Awalnya setoran hanya Rp5.000. Makin lama, peminatnya makin banyak sehingga dibuat beberapa kelompok. Jumlah pesertanya 229 orang, semuanya mantan TKI yang bermasalah. Organisasi ini kemudian diberi nama Kampung Buruh Migran (KBM), yang diresmikan Kepala BNP2TKI, Pak Jumhur Hidayat. Saat itu, itulah satu-satunya KBM di Indonesia yang aktivitasnya dari mantan buruh migran untuk mantan buruh migran dan keluarganya.
Apa peran Anda di situ?
Saya memberikan pendampingan pada kelompok-kelompok ini. Semua anggotanya korban trafficking buruh migran dan 90 persennya perempuan. Awal bikin SPMW, kami belum tahu bagaimana mendampingi banyaknya kasus. Saya lalu belajar ke Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) pusat di Jakarta. Sepulang saya dari Jakarta, SPMW melebur dengan SBMI menjadi SBMI DPC Wonosobo. Saya dipilih jadi ketua. Tahun 2008, saya ikut kongres di NTB.
Pasca kongres, saya diminta bekerja di kantor pusat sebagai ketua divisi pengembangan ekonomi tingkat nasional untuk komunitas buruh migran. Belajar dari pengalaman sebagai perempuan tak berpendidikan dan tak punya keberanian, saya meneruskan sekolah di Kejar Paket C di Jakarta. Setelah lulus, saya kuliah di Universitas Bung Karno, Jakarta, Jurusan Hukum Perdata atas bantuan dana dari teman-teman, termasuk yang sekarang jadi suami. Sebab, di SBMI tidak ada gaji, murni kerja sosial. Oktober tahun lalu saya wisuda.
Awalnya, bagaimana mantan buruh migran di kampung Anda menanggapi hal ini?
Senang. Awalnya para suami melarang istrinya ikut kegiatan KBM. Sekarang, kalau istrinya tidak bisa hadir, suaminya malah mewakili. Yang tadinya hanya di rumah, terpuruk, dan jadi ibu rumah tangga, jadi berkegiatan, menghasilkan secara ekonomi, dan melupakan pengalaman pahit. Kampung saya memang kantong buruh migran karena banyak mantan TKI dari sana, dan kami ingin memunculkan ikon dari buruh migran dalam hal positif.
Bagaimana kiprah KBM sekarang?
Untuk kelompok korban traffic king, biasanya sebulan sekali diadakan diskusi atau sharing, misalnya program dari pemerintah, pelatihan, simpan pinjam, laporan keuangan dari usaha-usaha kelompok. Sekarang ada 31 kelompok, masing-masing 15-26 anggota, di 3 kecamatan di Wonosobo, dan semuanya sudah punya usaha sendiri. Ada yang berbisnis kambing, pisang Cavendish, toko sembako, dan sebagainya.
KBM sekarang dijadikan proyek percontohan komunitas buruh migran di berbagai daerah, termasuk yang dibentuk BNP2TKI, antara lain di Malang, Banyuwangi, Lampung, dan Sukabumi. Kami ingin mengaplikasikannya di beberapa daerah yang belum memiliki SBMI. O iya, tahun 2010, saya berinisiatif membuat PAUD bagi anak-anak TKI.
Saya berharap KBM bisa diaplikasikan di kantong-kantong buruh migran secara mandiri sebagai hal positif dan jadi inisiatif mantan buruh migran atau keluarganya, agar imej mereka tidak selalu buruk. KBM awalnya inisiatif dan dibiayai kami sendiri. Setelah mandiri, pemerintah kemudian membantu memberikan pelatihan keterampilan dan program yang bisa dikerjakan bersama.
KBM juga mendapat kunjungan dari berbagai negara, ya?
Ya. Kegiatan KBM, kan, banyak kami sebar lewat sosial media, termasuk blog, Twitter, dan Facebook, sehingga banyak orang yang akhirnya tahu. Saat ini, KBM jadi tujuan bagi orang-orang yang mengadakan riset atau skripsi, baik mahasiswa lokal maupun luar negeri, di antaranya, UGM, Unes, UNS, UIN, dan mahasiswa yang datang dari universitas di Prancis, Portugal, Amerika, dan sebagainya. Ada sekitar 20 negara yang sudah datang.
Kegiatan lain Anda sekarang apa?
Selain jadi Ketua SBMI DPC Wonosobo, saya aktif jadi pembicara di pelatihan di berbagai daerah. Dari 420 trainer yang dilatih ILO diambil 20 master trainer, salah satunya saya, dan di antara dosen dan lainnya, saya satu-satunya yang mantan buruh migran. Saya sekarang banyak mengajarkan pencegahan dan penanggulangan HIV AIDS, migrasi yang aman, dan pelatihan manajemen kewirausahaan.
Beberapa waktu lalu saya jadi salah satu pemenang Kartini Next Generation Award 2015 yang diadakan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk kategori Pemberdayaan Perempuan. Tahun 2012, saya mendapat penghargaan dari Universitas Indonesia, juga beberapa penghargaan lain. Belum lama, saya bersama beberapa LSM lain ikut workshop membuat draf untuk revisi UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI.
Bagaimana dukungan suami?
Dia sangat mendukung. Dia kan, dulu sama seperti saya, mantan buruh migran yang menjadi korban. Sekarang dia fotografer untuk perhotelan.
Apa harapan Anda terhadap buruh migran?
Sebelum berangkat, harus punya skill cukup dan siap mental. Ingat, suatu saat mereka akan kembali ke Indonesia, jadi jangan menghambur-hamburkan uang di sana. Mereka juga harus tahu betul hak dan kewajibannya.
Hasuna Daylailatu