"Tak ada kegiatan yang bisa saya lakukan dilokasi pengungsian. Secara berkala memang ada relawan yang datang untukberaktivitas bersama anak-anak. Tapi, untuk ibu-ibu sama sekali tak ada."
Jasmitamengaku baru dua minggu mengungsi, meski sudah empat bulan Gunung Sinabung. Sebelumnya, ia masih bertahan di rumahnya dikawasan Simpang Empat.
"Sebenarnya ngeri juga saya tinggal di rumah. Soalnya,setiap hari Gunung Sinabung terus mengeluarkan asap tebal bercampur debu.Kawasan sekitar rumah kotor sekali. Kalau di luar rumah, wajah kita jadiseperti monyet," ujar Jasmita yang rumahnya sekitar 5 km dari Sinabung.
Tanamandi lahan miliknya pun sudah rusak.
"Sekarang semua tanaman jadi layu. Daunnyakering kayak kena api," kata Jasmita.
Ia melanjutkan, "Erupsi Sinabung makinbesar. Lalu, pemerintah menyatakan keadaan bahaya. Kami pun mengungsi di sini.Warga yang mengungsi di sini rata-rata baru dua minggu. Selain karena areabahaya makin luas, ada juga sih warga yang semula bandel enggak mau pindah."
Jasmitamengaku punya ternak ayam dan kambing yang tentu saja tak ikut mengungsi. Itusebabnya, saat keadaan aman, ia atau suaminya pulang ke kampung untuk memberimakan ternak.
"Tapi, sekarang susah mencari rumput. Terpaksa cari rumput dikawasan lain yang enggak terkena imbas Sinabung."
Namanyasaja tinggal di pengungsian, Jasmita terkadang merasa bosan. Untukmenghilangkan kejenuhan, iangobrol-ngobrol dengan teman pengungsi.
"Kami orang Karo, kan, masih suka makansirih, termasuk perempuan-perempuan muda. Nah, sambil makan sirih, saya ngobrolsama teman. Di saat lain, saya mengajak anak untuk sekadar jalan-jalandi luarpos pengungsian.
Henry