Perang Malam di Pergelaran Cipta Budaya

By nova.id, Kamis, 28 November 2013 | 09:14 WIB
Perang Malam di Pergelaran Cipta Budaya (nova.id)

Perang Malam di Pergelaran Cipta Budaya (nova.id)

"Foto: Henry "

Belakangan ini, seni tradisi terpinggirkan. Sebagian masih bisa bertahan, namun tak sedikit hidup segan mati tak mau. Berangkat dari kerisauan inilah tanggal 24-28/11 diselenggarakan Pergelaran Cipta Budaya di Pelataran Planetarium, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.  

Dalam pergelaran selama lima hari tiap malam itu,  digelar beragam seni tradisi yang beberapa di antaranya sudah sulit ditemukan. Antara lain Topeng Blantek dari Jakarta, Wayang Garing dari Banten, Ronggeng Gunung Sunda, Mop Mop atau biola Aceh, Randai dari Sumatera Barat, dan Tarling dari Cirebon-Indramayu.

Tampil pula Wayang Urban yang digagas dalang muda Nanang Hape. Berbeda dengan penampil lainnya, Wayang Urban adalah tradisi yang dikemas dengan media ungkap baru untuk menemukan kesegaran.

Menurut Nanang yang dijumpai sebelum pentas mengatakan, "Wayang urban saya buat dengan tetap bernapaskan tradisi wayang, namun saya buat dengan kemasan baru. Saya menggunakan bahasa Indonesia, musiknya tidak hanya gamelan tapi juga dengan iringan band.  Gamelannya pun minimalis, hanya beberapa instrumen. Berbeda dengan wayang kulit, wayang urban lebih ringkas," kata Nanang yang format pertunjukannya 1,5 - 2 jam.

Kemasan baru ini untuk mendekatkan wayang dengan anak-anak muda atau orang-orang yang ingin menikmati wayang tapi terkendala bahasa. "Wayang urban ternyata memang disukai anak-anak muda.  Mereka tidak lagi berjarak dengan wayang. Apalagi, ceritanya saya sesuaikan dengan keadaan sekarang, tapi tetap tidak merusak pakem."

Malam itu, Nanang membawakan lakon Perang Malam, yaitu lakon tentang Karna dan Gatotkaca. Sebuah lakon yang dipetik dari kisah Mahabharata ketika Gatotkaca di pihak Pandawa mesti bertarung dengan Karna, sang paman yang berpihak kepada Kurawa. Nanang mengungkapkan kedua tokoh ini memang menarik. "Kalau diibaratkan sekarang, Gatotkaca itu anak sekolahan, sedangkan Karna tumbuh dari sekolah jalanan," papar Nanang yang juga menciptakan lagu untuk memperkuat lakon yang dibuatnya.

Apa yang dilakukan Nanang sekaligus menjawab tantangan bahwa pelestarian seni tradisi hendakanya jangan berkutat pada sakralisasi bentuk. Nanang pun berharap, lewat wayang urban, seni tradisi akan mampu beradaptasi dengan zaman.

Arie Batubara saat membuka pergelaran mengatakan terpinggirnya seni tradisi tentu saja membuat kita semua pantas untuk risau. "Banyak usaha untuk menjaga dan menyelamatkan kesenian tradisi kita. Salah satunya lewat acara Pergelaran Cipta Budaya ini."

Henry