"Saya berangkat dari anak kampung yang tidak punya apa-apa," kata remaja bertinggi badan 183 cm itu, saat ditemui, Rabu (2/10) di Sidoarjo.Anak pasangan Heri Supriyanto (48) dan Murminah (48) ini merintis belajar sepakbola di kampung halamannya, Grobongan, sejak ia masih duduk di kelas 4 SD.
"Waktu itu saya ikut SSB kampung, ditambah aktif ikut memperkuat tim sepakbola kampung dan bertanding di berbagai turnamen," kata Ravi yang sudah mulai menekuni sebagai penjaga gawang sejak kelas 5 SD.Lantaran menginginkan kemampuan yang lebih bagus, ia mencoba masuk SSB Tugu Muda Semarang.
Saat itulah kesulitan mulai menghadang, sebagai anak orang tidak mampu, ia mengalami kesulitan dalam hal transportasi dari Grobogan ke Semarang, yang berjarak puluhan kilometer. "Bapak saya waktu itu bekerja sebagai pemungut botol dari kampung ke kampung, jadi kami terkendala biaya untuk pergi dan pulang latihan," cerita Ravi.
Ia masih ingat, bagaimana perjuangannya sepulang sekolah menuju tempat latihan di Semarang, sementara ia hanya dibekali uang Rp8.000 untuk ongkos angkutan kota pergi dan pulang. "Jadi, di tempat latihan tidak bisa beli makan atau minum. Kecuali pas ada teman yang baik yang traktir, baru bisa makan," kenang Ravi yang meski menghadapi tantangan sedemikian rupa, sama sekali tak menyurutkan semangatnya untuk berlatih.Bahkan bungsu dari tiga bersaudara ini punya cerita mengharukan. Suatu ketika, seusai sesi latihan ia harus agak kemalaman, padahal angkutan umum dari Semarang menuju Grobogan sudah tak ada. Akibatnya, ia harus jalan kaki bahkan diselingi berlari untuk sampai ke rumahnya. "Selesai latihan jam 17.00 sore, sampai rumah pukul 21.00 malam," kenangnya lagi.
Kalau pun ayahnya bisa mengantar dengan motor, biasanya ia dinaikkan di antara tumpukan botol bekas yang diletakkan di dalam karung sebelah kiri dan kanan jok motor sang ayah. "Dulu, banyak orang mencibir saya dengan mengatai, 'Itu, lho, kiper bola yang diantar bapaknya naik motor di atas karung'," kisah Ravi, yang akibat ledekan itu justru menjadi penyemangatnya untuk berprestasi.Nasib Ravi agak sedikit berubah, ketika menjelang kelas 3 SMP ia diterima ikut tes dan diterima di Pusat Pendidikan Pelatihan Pelajar (PPLP) di Salatiga.
Di pemusatan latihan olahraga itu ia harus masuk mess sekaligus dicukupi kebutuhan hidupnya. "Dari sana awalnya saya benar-benar fokus olahraga. Selain itu, PPLP tak memerlukan biaya," papar Ravi yang mengidolakan penjaga gawang Italia, Luigi Buffon, dan pemain Real Madrid Iker Casillas, dan pemain lokal Feri Rotinsulu.Setelah memasuki tahun 2012, ia kemudian diterima di Diklat Ragunan Jakarta. Sejak itu ia mulai terpilih menjadi penjaga gawang masuk U-16, U-17, hingga U-19. Namun kondisi Ravi langsung berubah ketika timnya berhasil meraih juara. Ravi yang dulu bukan siapa-siapa, kini disanjung bak pahlawan yang pulang dari medan perang. Tak terhitung berapa tamu yang datang ke rumahnya untuk menyampaikan ucapan selamat. "Setelah menang kemarin, saya diberi kesempatan pulang tiga hari. Bahagia kami tak terkira, dari masyarakat umum sampai pejabat semua datang ke rumah," cerita Ravi yang punya tips khusus untuk mengurangi ketegangan menjelang laga, yakni selain menelpon kedua orangtua untuk minta doa restu juga mendengarkan musik.
Kendati sudah memiliki nama, Ravi tetaplah Ravi yang dulu. Meski sudah menjadi bintang, ia tetap rendah hati. Tiap pulang ke rumah, ia tetap belanja ke pasar, termasuk mencuci gelas dan piring pembeli di warung kecil milik ibunya. "Apa yang saya raih saat ini tak akan mengubah kebiasaan saya di kampung," tuturnya.
Gandhi, foto: Gandhi Wasono M./nova